Jodoh dicari ✖️
Jodoh dijebak ✔️
Demi membatalkan perjodohan yang diatur Ayahnya, Ivy menjebak laki-laki di sebuah club malam untuk tidur dengannya. Apapun caranya, meski bagi orang lain di luar nalar, tetap ia lakukan karena tak ingin seperti kakaknya, yang menjadi korban perjodohan dan sekarang mengalami KDRT.
Saat acara penentuan tanggal pernikahan, dia letakkan testpack garis dua di atas meja yang langsung membuat semua orang syok. ivy berhasil membatalkan pernikahan tersebut sekaligus membuat Ayahnya malu. Namun rencana yang ia fikir berhasil tersebut, ternyata tak seratus persen berhasil, ia dipaksa menikah dengan ayah janin dalam kandungan yang ternyata anak konglomerat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21
Yasa dan keluarga beserta Ivy, menunggu di dekat ruangan dokter Dahlan. Beliau adalah dokter forensik kenalan Papa Yusuf. Sebenarnya tes seperti ini bisa dilakukan ke lab swasta, bahkan di beberapa klinik juga ada. Namun Yusuf tak mau mengambil resiko, ia memilih melakukan tes tersebut di bawah pengawasan orang yang bisa dipercaya dan dipastikan hasilnya akurat.
Sebelumnya, tadi malam juga sudah konsul ke dokter kandungan, takut ada resiko. Menurutnya, ada unsur hukum disini, jadi tak bisa asal-asalan, apalagi kalau ingat lawannya adalah Agung, yang mungkin saja melakukan kecurangan.
Dari kejauhan, Ivy melihat Papanya berjalan cepat ke arah mereka. Laki-laki itu sedikit terlambat, namun tak apa, karena dokter juga belum datang.
"Selamat pagi Pak Yusuf," dengan senyum mengembang, Agung mengulurkan tangan ke arah Yusuf. Sayangnya, tangannya tak disambut, calon besannya itu malah melengos, pun dengan istrinya yang juga ogah melihatnya. "Yas, Ivy belum datang?" ia bertanya pada Yasa, karena dia satu-satunya orang yang tidak membuang muka padanya.
Ivy yang ada di samping Mama Sani, langsung nyengir. "Aku disini, Pah," ucapnya malas sambil memutar kedua bola matanya. Ia sedikit maju, agar Papanya bisa melihat dengan jelas keberadaannya.
Agung bengong, mulutnya menganga lebar, menatap Ivy dari atas hingga bawah. Sumpah, ia sama sekali tak mengira jika wanita berhijab di samping istri Yusuf, adalah Ivy.
Yusuf berdecak pelan, "Sama anaknya sendiri aja sampai gak mengenali," menggumam pelan.
Agung menarik tangan Ivy, membawanya sedikit menjauh dari keluarga Yasa untuk bicara empat mata. "Luar biasa!" Ia berdecak kagum melihat penampilan Ivy. "Pinter kamu, tahu caranya untuk mengambil hati keluarganya mereka," senyumnya mengembang, mengira Ivy sengaja memakai hijab untuk mengambil hati keluarga Yasa.
Ivy hanya nyengir sambil bersedekap. Bisa-bisanya Papanya mikir dia seperti itu, seolah-olah ia adalah orang munafik yang menjadikan pakaian untuk berlindung atau menarik simpati.
"Kamu yakin seratus persenkan, ini anak Yasa?" Agung kembali memastikan meski kemarin Ivy sudah menjelaskan.
Malas menjawab, Ivy hanya mengangguk.
"Bagus," Agung menepuk-nepuk bahu Ivy. "Ingat, kamu harus dapat mahar banyak, mereka orang kaya raya."
"Kenapa sih, Papa sibuk banget ngurusin mahar untuk aku? Kalau pun dapat mahar banyak, itu uangku, bukan uang Papa."
Agung mendengus kesal. "Iya, uang kamu, tapi apa kamu gak mau nyipratin Papa. Kamu bisa segede ini, bisa makan enak dan tinggal di rumah bagus, karena siapa kalau bukan karena Papa. Gak tahu diri!"
Ivy tersenyum getir, "Itu tanggung jawab Papa sebagai ayah, kenapa jadi diungkit. Ya kalau gak mau keluar uang buat besarin anak, ya jangan punya anak."
Agung menoleh ke arah keluarga Yasa, takut mereka mendengar ucapan Ivy karena lumayan kencang. "Jangan keras-keras kalau ngomong!" memelototi Ivy. "Ingat Vy, selain mahar, pesta juga harus besar. Semua kolega Papa harus masuk list undangan." Ia ingin semua orang tahu, jika Yusuf adalah besannya, agar dirinya semakin dipandang dan disegani.
Melihat dokter datang, Ivy menghela lega. Ia lalu melenggang begitu saja, kembali kumpul dengan keluarga Yasa.
Di ruangan dokter yang tak begitu besar itu, semua berkumpul. Setelah dijelaskan sedikit tentang prosedurnya, suster langsung mengambil sample darah Ivy dan Yasa. Prosesnya tidak lama, namun menunggu hasilnya yang lama, sekitar 3 sampai 7 hari.
"Pak Yusuf, sebaiknya mulai sekarang, udah nyicil persiapan pesta," ujar Agung saat mereka bersama-sama berjalan menuju parkiran rumah sakit. "Gak mungkinkan, pengusaha sebesar Bapak, hanya mengadakan resepsi sederhana untuk pernikahan anaknya?"
"Kami berdua anak menikah di KUA," ucap Ivy yang muak mendengar ucapan Papanya.
"KUA!" langkah Agung seketika terhenti. "Jangan ngawur kamu Vy," ia kembali jalan, karena yang lainnya tak ada yang berhenti. "Pak Yusuf ini pengusaha besar, jangan bikin malu dia, seperti gak kuat aja bikinin pesta."
"Gak usah dibahas dulu," ujar Sani yang sebenarnya gatal mulutnya sejak tadi. "Lagian hasilnya juga belum keluar, masih belum pasti mereka akan menikah."
"Anak itu cucu ibu, sudah pasti seratus persen," ujar Agung yang berjalan di belakang Sani dan Yusuf.
"Terserah kamu mau ngomong apa, tapi kami tak akan membahas pernikahan sebelum hasil tes DNA keluar," Yusuf menimpali.
Agung mendengus kesal, lalu tak lagi bicara. Mereka berpisah di parkiran, Ivy kembali ikut bersama keluarga Yasa, karena mobilnya ada di rumah mereka.
Dengan persaan kesal, Agung masuk ke dalam mobilnya. Di dalam, ada Inara yang sedang menunggu.
"Kenapa kesel gitu mukanya?" Inara memasukkan ponselnya ke dalam tas. "Ada masalah?"
"Aku kesal sekali pada Ivy, sulit sekali anak itu diajak kerjasama. Bisa-bisanya dia bilang cuma mau nikah di KUA, padahalkan kan aku ingin pesta yang mewah, biar semua orang tahu jika aku dan Yusuf berbesanan."
"Udahlah, Sayang," Inara mengusap lengan Agung, menenangkannya. "Poin utamanya, yang penting mereka nikah. Gak ada pesta, kita bisa share pernikahan mereka di sosial media biar semua orang tahu."
Agung menyeringai tipis, "Kamu benar juga."
Di mobil yang dikendarai Yasa, Ivy duduk dengan gelisah. Tak ada obrolan sama sekali, tapi dia masih kepikiran ucapan ayahnya. Orang tua Yasa pasti muak. "Em... Om, Tante, saya minta maaf atas nama Papa saya."
"Sudahlah, jangan bahas lagi. Muak!" ucap Yusuf geram.
Sesampainya di rumah, Ivy langsung pamit. Sebelum pulang, ia dan Yasa bertukar nomor ponsel.
"Jangan di hapus lagi kali ini," ujar Yasa yang tahu jika nomornya dulu, di hapus oleh Ivy.
"Semoga aja kali ini gak ketekan delete lagi."
Yasa tersenyum kecut, "Ketekan? Sengaja ditekan yang bener."
Ivy terkekeh pelan melihat ekspresi Yasa.
"Vy, beneran lo mau nikah cuma di KUA?" tanya Yasa.
"Jangan dibahas dulu, hasil tes belum keluar."
"Kata lo udah pasti."
Ivy tersenyum tipis. "Makasih, udah percaya sama gue."
"Terpaksa."
Ivy kembali terkekeh.
"Ya elah, sekarang udah bisa ketawa, tadi pagi aja... "
"Gak usah dibahas," potong Ivy cepat. "Ya udah, gue pulang dulu."
"Kalau perut lo sakit, atau ada masalah, hubungi gue."
Mata Ivy langsung berkaca-kaca, mewek, menutup wajahnya dengan telapak tangan.
"Dih, malah mewek."
"Lo kenapa baik banget sih, Yas," Ivy terisak. "Gue udah pernah bohongin lo, tapi lo masih bisa percaya sama gue. Harusnya lo laporin gue ke polisi, bukan malah nikahin gue. Gue jahat Yas, please, jangan dibalas dengan kebaikan. Gue gak pantas dapat itu. Lo bikin gue merasa makin malu dan bersalah."
"Harus. Lo harus dan wajib merasa bersalah, karena emang lo salah. Udah, pulang sana, jangan mewek disini. Entar dikira gue apa-apain elo lagi."
"Kan elo emang ngapa-ngapain gue malam itu," Ivy menahan tawa disaat pipinya basah karena air mata.
"Kebalik, lo yang ngapa-ngapain gue."
yg jahat bapaknya ivy
sakit hati nya sampai kesini lo el