Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Jarak di Antara Dua Kursi
Pukul lima pagi, langit Jakarta masih berwarna abu-abu basah sisa hujan semalam. Di lobi Adhitama Tower, Kaluna berdiri memeluk tote bag-nya erat-erat, menggigil pelan diterpa angin pagi.
Ia menatap koper kecil di samping kakinya dengan tatapan kosong. Perjalanan dinas ke Yogyakarta. Tiga hari. Bersama Bara.
Jika ini terjadi seminggu yang lalu, mungkin jantung Kaluna akan berdebar karena gugup atau sedikit antusias. Tapi setelah kejadian "Emas dan Marun" kemarin, yang tersisa di hati Kaluna hanyalah bongkahan es rasa kecewa.
Sebuah SUV hitam besar—Range Rover yang terlihat garang—berhenti tepat di depan lobi. Kaca jendelanya gelap, tidak memperlihatkan siapa di dalamnya.
Kaluna celingukan mencari mobil dinas kantor jenis Alphard atau Innova yang biasanya dipakai untuk perjalanan jauh lengkap dengan sopir. Tapi tidak ada mobil lain.
Pintu pengemudi SUV itu terbuka. Bara turun.
Ia mengenakan kaos polos hitam yang dibalut jaket denim gelap dan celana chino. Tampilan kasual yang membuat dadanya terlihat lebih bidang dan bahunya lebih lebar. Rambutnya sedikit berantakan, belum terkena pomade kaku khas CEO. Sekilas, ia terlihat seperti Bara yang dulu—Bara si mahasiswa pemberontak yang suka mengajak Kaluna touring motor ke Puncak.
Tapi tatapan matanya tetap dingin.
Bara berjalan memutari mobil, membuka bagasi belakang tanpa menyapa Kaluna.
"Masuk," perintahnya singkat sambil mengangkat koper Kaluna dengan satu tangan seolah koper itu seringan kapas, lalu melemparkannya ke bagasi di sebelah koper miliknya.
Kaluna mengerutkan kening. "Mana Pak Udin? Bukannya kita pakai sopir kantor?"
"Pak Udin diare jam tiga pagi tadi. Masuk UGD," jawab Bara datar, menutup pintu bagasi dengan bunyi bum yang solid. "Saya yang nyetir."
Kaluna ternganga. "Bapak nyetir sendiri ke Yogyakarta? Itu delapan jam perjalanan, Pak. Lebih baik kita naik kereta atau pesawat—"
"Tiket pesawat full booked karena long weekend. Kereta jadwalnya tidak cocok dengan janji temu pengrajin di Bantul," potong Bara cepat. Ia berjalan ke pintu pengemudi. "Berhenti membuang waktu. Masuk."
Kaluna menghela napas kasar. Nasib, batinnya.
Ia membuka pintu penumpang belakang. Ia tidak sudi duduk di samping Bara. Ia akan memperlakukan Bara selayaknya sopir taksi online yang menyebalkan.
Baru saja Kaluna hendak menaruh tasnya, suara Bara terdengar tajam dari seberang mobil.
"Pindah ke depan."
Kaluna membeku. "Saya mau tidur di belakang, Pak."
"Saya bukan sopir pribadimu, Kaluna," ujar Bara, menatapnya tajam lewat atap mobil. "Duduk di depan. Saya butuh teman bicara supaya tidak ngantuk. Kalau saya ngantuk dan kita kecelakaan di Tol Cipali, kamu juga yang rugi."
Kaluna mendengus, membanting pintu belakang dengan keras—tanda protes—lalu berjalan gontai menuju kursi penumpang depan.
Ia masuk, duduk, dan langsung memasang seatbelt dengan gerakan kasar. Ia memutar tubuhnya menghadap jendela, memunggungi Bara sepenuhnya.
Mesin mobil menderu halus. Bara melirik sekilas ke arah Kaluna yang merajuk, ada sedikit kedutan di sudut bibirnya yang ingin tersenyum, tapi ia tahan. Ia memasukkan persneling, dan mobil mahal itu meluncur membelah jalanan Jakarta yang masih lengang.
Tiga jam berlalu.
Tidak ada satu kata pun yang terucap. Keheningan di dalam mobil itu begitu padat hingga terasa menyesakkan. Hanya suara ban bergesekan dengan aspal tol dan dengkuran halus mesin yang terdengar.
Kaluna pura-pura tidur, meski matanya terjaga di balik kacamata hitamnya. Pikirannya berkecamuk. Ia masih marah soal desain, tapi ia tidak bisa menyangkal bahwa aroma mobil Bara—campuran kulit jok mahal, mint, dan sandalwood—membuatnya merasa nyaman secara aneh.
Tiba-tiba, musik mengalun dari speaker premium mobil.
Piano intro yang sangat familiar.
Lagu: "Fix You" - Coldplay.
Tubuh Kaluna menegang. Ini lagu mereka. Lagu yang diputar Bara saat Kaluna menangis karena revisi skripsi dicoret dosen pembimbing lima tahun lalu. Lagu yang Bara nyanyikan dengan gitar fals di balkon kosan Kaluna.
"When you try your best, but you don't succeed..."
Chris Martin mulai bernyanyi.
Kaluna melirik Bara lewat sudut matanya. Pria itu menyetir dengan satu tangan di setir, pandangannya lurus ke jalan. Wajahnya tenang, tapi jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir mengikuti irama lagu.
Apakah dia sengaja? Atau ini cuma shuffle acak dari Spotify?
"When you get what you want, but not what you need..."
Lirik itu terasa menyindir situasi mereka sekarang. Bara mendapatkan apa yang dia mau (proyek, uang Siska), tapi jelas bukan apa yang dia butuhkan.
Kaluna tidak tahan. Ia mengulurkan tangan dan menekan tombol Next di layar dashboard dengan kasar.
Lagu berganti menjadi lagu rock berisik.
Bara menoleh, alisnya terangkat. "Kenapa diganti? Itu lagu bagus."
"Saya lagi pusing. Nggak mau dengar lagu cengeng," jawab Kaluna ketus, masih melihat ke luar jendela.
"Dulu itu lagu favoritmu," gumam Bara pelan, hampir tak terdengar.
"Itu dulu. Selera orang berubah, Pak. Sama seperti selera Bapak yang tiba-tiba suka warna Emas dan Marun," sindir Kaluna tajam.
Rahang Bara mengetat. Topik itu lagi.
"Kita ke Yogyakarta untuk membereskan itu, Kaluna," ujar Bara akhirnya, memecah kebisuan panjang tentang masalah desain.
Kaluna menoleh, menatap profil samping wajah Bara. "Maksud Bapak?"
"Saya setuju warna Emas dan Marun itu norak kalau kita pakai cat tembok biasa atau kain murah," jelas Bara, matanya tetap fokus ke jalan. "Makanya kita ke Yogyakarta. Saya mau cari pengrajin di Kotagede yang bisa bikin ornamen tembaga sepuh emas dengan teknik ukir kuno. Dan di Bantul ada pengrajin kain tenun lurik yang warnanya marun alami dari akar pohon."
Kaluna terdiam. Otak arsiteknya langsung bekerja. Tembaga sepuh emas kuno... Tenun lurik marun...
Itu bukan "norak". Itu etnik dan berkelas.
Jika warna Emas dan Marun diaplikasikan dengan material handmade dan tekstur alami seperti itu, hasilnya akan sangat elegan dan vintage. Siska akan mendapatkan warnanya, tapi Kaluna akan tetap mendapatkan estetikanya.
Bara mencari jalan tengah. Bara mencoba menyelamatkan idealismenya.
"Kenapa Bapak nggak bilang dari kemarin di ruang rapat?" tanya Kaluna pelan, kemarahannya sedikit surut tergantikan rasa bingung.
Bara mengangkat bahu. "Karena di ruang rapat kamu sibuk meneriaki saya soal menjual jiwa."
Wajah Kaluna memanas. "Ya... karena Bapak menyebalkan! Bapak tiba-tiba membatalkan desain saya tanpa penjelasan!"
"Saya CEO, Kaluna. Kadang saya harus ambil keputusan cepat yang tidak populer untuk menyelamatkan kapal," jawab Bara diplomatis. Ia menoleh sekilas pada Kaluna. "Kamu pikir saya senang lihat desain emas berkilau? Saya lebih suka Sage Green kamu. Itu... menenangkan. Seperti kamu."
Kaluna tersentak. Kata-kata terakhir itu diucapkan dengan nada rendah yang intim.
"Seperti saya?" ulang Kaluna bodoh.
Bara berdeham, sadar ia kelepasan bicara. "Maksud saya... warnanya. Kalem. Sudah, lupakan. Kita mampir Rest Area KM 207. Saya lapar."
Bara membelokkan mobil ke jalur kiri, masuk ke area istirahat Cirebon. Kaluna masih tertegun di kursinya, mencerna pujian terselubung itu.
Udara Cirebon panas menyengat. Mereka duduk di sebuah meja kayu di restoran Empal Gentong yang ramai.
Bara memesan dua porsi Empal Gentong daging, nasi, dan dua es jeruk.
"Makan," perintah Bara, mendorong mangkuk panas itu ke hadapan Kaluna.
"Saya nggak lapar," tolak Kaluna gengsi, meski perutnya berbunyi nyaring.
Bara menatapnya datar. "Perutmu punya pendapat lain. Makan, Kaluna. Jangan bikin saya harus menyuapimu lagi di depan umum kayak kemarin. Orang-orang bisa salah paham lagi."
Kaluna mendelik, tapi akhirnya mengambil sendok. Kuah santan yang gurih dan daging yang empuk langsung memanjakan lidahnya. Tanpa sadar, ia makan dengan lahap.
Bara memperhatikan Kaluna makan dalam diam. Ada sedikit senyum di matanya yang tidak terlihat oleh Kaluna. Melihat Kaluna makan dengan lahap selalu menjadi pemandangan favorit Bara. Dulu, salah satu cita-cita sederhananya adalah bisa membelikan makanan enak setiap hari untuk gadis ini.
Sekarang dia punya uang untuk membeli seisi restoran ini, tapi gadis di depannya terasa begitu jauh.
"Habiskan krupuknya," ujar Bara, menyodorkan toples krupuk kulit. "Itu favoritmu kan?"
Kaluna berhenti mengunyah. Ia menatap Bara. Pria ini masih ingat detail kecil itu. Kaluna suka merendam krupuk kulit di kuah empal.
"Bar..." panggil Kaluna pelan, meletakkan sendoknya.
"Hm?" Bara menyeruput es jeruknya.
"Tentang Siska..."
Bara tersedak sedikit, lalu batuk pelan. Ia meletakkan gelasnya. Wajahnya berubah serius.
"Kenapa dengan dia?"
"Dia... dia bilang kalian akan bertunangan saat Grand Opening hotel," kata Kaluna hati-hati, matanya mencari kejujuran di wajah Bara. "Apa itu benar?"
Bara terdiam lama. Ia memandang mangkuknya yang sudah kosong.
"Itu rencana Ibu dan orang tua Siska," jawab Bara diplomatis.
"Aku tanya rencanamu, Bara. Bukan rencana Ibumu," desak Kaluna.
Bara mengangkat wajah, menatap mata Kaluna lekat-lekat. Di tengah kebisingan rest area, di antara suara pengamen dan teriakan pedagang tahu bulat, tatapan mereka terkunci.
"Rencanaku..." Bara memulai, suaranya berat. "Rencanaku hancur lima tahun lalu, Kaluna. Saat wanita yang mau kulamar pergi meninggalkan cincin di meja nakas."
Kaluna merasa seperti ditampar. Rasa bersalah itu kembali menusuk.
"Jadi... Siska itu penggantinya?" tanya Kaluna lirih.
"Siska adalah konsekuensi," ralat Bara tajam. "Konsekuensi dari aku yang berhenti percaya pada cinta dan memilih fokus membesarkan bisnis. Dia partner yang logis. Dia menguntungkan. Dan dia tidak akan meninggalkanku karena dia butuh status sosialku sama besarnya dengan aku butuh uangnya."
"Itu terdengar menyedihkan, Bar," bisik Kaluna. "Menikah tanpa cinta?"
Bara tertawa sinis. "Cinta? Cinta cuma bikin sakit, Kal. Lihat kita sekarang. Saling menyakiti di pinggir jalan tol Cirebon. Kalau aku sama Siska, setidaknya kami jujur bahwa ini cuma transaksi. Tidak ada hati yang patah karena memang tidak ada hati yang dipakai."
Bara berdiri, mengambil kunci mobil di meja.
"Habiskan makanannya. Kita berangkat lima menit lagi," ucapnya dingin, lalu berjalan keluar restoran meninggalkan Kaluna yang termangu.
Kaluna menatap punggung lebar itu menjauh. Punggung yang memikul beban kesepian yang luar biasa. Bara berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia bahagia dengan "transaksi" itu, tapi Kaluna tahu itu bohong.
Dan Kaluna sadar, dialah yang membuat Bara menjadi seperti ini.
Sisa perjalanan menuju Yogyakarta dilalui dengan keheningan yang berbeda. Bukan keheningan marah, tapi keheningan kontemplatif.
Langit sudah gelap sempurna saat mereka memasuki ring road Yogyakarta. Hujan gerimis menyambut kedatangan mereka.
"Kita langsung ke hotel," kata Bara, suaranya serak karena lelah menyetir 8 jam non-stop.
"Kita menginap di mana?" tanya Kaluna.
"Villa keluarga di Kaliurang. Hotel penuh semua," jawab Bara.
Kaluna membelalak. "Villa keluarga? Maksudmu villa Eyangmu yang dulu?"
"Ya."
Jantung Kaluna berdegup kencang. Villa Kaliurang. Tempat itu menyimpan memori yang sangat manis sekaligus berbahaya. Dulu, saat liburan semester, Bara pernah membawanya ke sana. Di sanalah mereka menghabiskan waktu seminggu penuh hanya berdua, memasak, membaca buku di depan perapian, dan...
Dan kali ini, mereka akan menginap di sana lagi. Berdua. Di tengah udara dingin kaki Gunung Merapi.
"Apa tidak ada homestay atau losmen kecil?" tanya Kaluna panik. "Aku bisa cari sendiri—"
"Jangan konyol," potong Bara lelah, membelokkan mobil ke arah jalanan menanjak Kaliurang. "Ini sudah jam sepuluh malam. Hujan. Kamu mau keluyuran cari losmen? Villa itu ada lima kamar tidur. Kamu bisa kunci pintumu rangkap tiga kalau kamu takut aku macam-macam."
Bara menoleh, menatap Kaluna dengan tatapan lelah namun tajam.
"Lagipula, Kaluna... kalau aku mau melakukan sesuatu padamu, aku sudah melakukannya di dalam mobil ini sejak tadi."
Kaluna menelan ludah. Wajahnya memanas mendengar kalimat ambigu itu.
Mobil terus melaju menembus kabut tipis Kaliurang. Lampu-lampu kota Yogyakarta terlihat berkerlap-kerlip jauh di bawah sana, sementara pepohonan besar di kanan kiri jalan seolah membentuk lorong waktu yang membawa mereka kembali ke masa lalu.
Ke tempat di mana cinta mereka pernah tumbuh subur, dan mungkin... tempat di mana cinta itu akan diuji sekali lagi.
BERSAMBUNG....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️