Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MAHKOTA DARI API
Kantor Pak Arka di lantai tiga gedung fakultas terasa seperti tempat perlindungan dari kegemilangan palsu Gala yang masih berlangsung di bawah. Udara di dalamnya tebal oleh aroma kopi pahit dan buku-buku tua.
Aku meletakkan tablet mahal Bapak Surya di atas meja kerjanya, di samping tumpukan esai Sosiologi Kritis yang belum dikoreksi.
Pak Arka, yang tadi terdengar panik di telepon, kini kembali tenang, namun matanya memancarkan ketegangan yang dalam. Ia duduk di kursinya, menyandarkan dagu di tangan, menatap layar tablet itu seolah itu adalah bom waktu.
“Jelaskan, Amara,” pintanya, suaranya rendah dan terkontrol.
“Apa yang baru saja terjadi di parkiran? Dan kenapa Rendra ada di sana?”
Aku menarik napas panjang. Kejadian itu terasa seperti lompatan kuantum dalam plot cerita ini.
“Rendra datang sebagai sekutu, Pak. Sekutu yang terpaksa. Serena mencoba mengambil tablet ini secara fisik, menggunakan dua preman suruhan. Rendra melihat itu bukan sebagai persaingan politik, melainkan pengkhianatan terhadap integritas kampus.”
Pak Arka mengangkat alisnya. “Rendra? Ketua BEM yang otoriter itu? Apakah dia tiba-tiba mengalami pencerahan moral?”
“Lebih seperti pencerahan politik, Pak. Saya menantangnya. Saya mengatakan padanya bahwa apa yang Serena lakukan menghancurkan saya dari dalam dengan manipulasi data dan fisik adalah pengecut. Sementara pertarungan kami di debat, meskipun keras, masih jujur. Dia tidak ingin kekuasaan BEM-nya ternoda oleh metode kotor Serena.”
“Itu adalah analisis yang cerdas. Jadi, Serena kehilangan pengikut terkuatnya di kalangan mahasiswa elit. Ironis. Kekuatan yang ia puja kesempurnaan dan kepatuhan justru membuatnya kehilangan dukungan moral,” komentar Pak Arka, menggeser tablet itu sedikit lebih dekat.
“Bukan hanya dukungan, Pak. Dia kehilangan data ini. Ini adalah file yang saya temukan di arsip Surya, sebelum dia sempat memblokirnya. Judulnya: ‘Proyek Seleksi Generasi: Penghancuran Variabel Fana A/S’.”
Pak Arka segera mengaktifkan tablet itu dan mulai membaca dengan cepat. Ekspresinya berubah, dari ketegangan menjadi kemarahan yang dingin.
“Astaga. Ini... ini bukan sekadar skema korporat. Ini adalah eugenika sosial yang disamarkan sebagai sistem akademik,” desisnya, menunjuk pada baris yang menjelaskan algoritma penilaian.
“Mereka tidak hanya menilai kinerja, Amara. Mereka menilai potensi kepatuhan.”
Aku mengangguk. “Variabel Fana A/S, Amara/Serena. Saya yakin A/S merujuk pada saya dan Serena. Amara adalah variabel yang harus dihancurkan karena tidak patuh. Serena adalah variabel yang harus dipertahankan karena patuh secara absolut. Sistem ini didesain untuk memastikan bahwa hanya orang-orang yang mau menjadi ‘budak berharga’ bagi Bapak Surya yang lulus dengan predikat terbaik.”
“Tetapi kenapa Serena harus menghancurkan Amara secara total? Kenapa tidak membiarkan Amara gagal secara alami?” tanya Pak Arka, meneliti koneksi antara Mastermind dan Serena.
“Karena Amara yang lama, meskipun berantakan, memiliki potensi intelektual yang mengancam. Dia tidak bisa dibeli, Pak. Serena cemburu. Kecemburuan itu digunakan oleh Mastermind untuk menciptakan ‘Antagonis Terbuang’ yang sempurna, sehingga publik akan melihat Amara sebagai kegagalan murni, bukan korban sistem.”
Pak Arka menutup tablet itu dengan bunyi pelan yang tegas. “Kinara... tidak, Amara. Kau telah mengungkap monster yang bersembunyi di balik sistem pendidikan ini. Kita tidak bisa diamkan ini. Tapi jika kita membocorkannya sekarang, kita akan hancur sebelum sempat reformasi. Bapak Surya akan menyangkal, dan Mastermind akan mengaktifkan segala macam jebakan untuk mendiskreditkanmu.”
“Itulah sebabnya saya datang ke Bapak. Kita harus memverifikasi setiap angka di sini, setiap koneksi. Kita harus menggunakan data ini untuk mendapatkan lebih banyak kekuasaan, bukan sekadar untuk menuntut,” kataku, merasakan beban strategis di pundakku.
Pak Arka menyandarkan punggungnya, matanya menatap langit-langit, seolah mencari solusi di sana.
“Kekuatan. Kau benar. Kita membutuhkan panggung yang tidak bisa mereka sangkal. Panggung yang membuat administrasi kampus terikat untuk mendukungmu.”
“Panggung apa, Pak?”
Pak Arka tersenyum tipis, senyum yang sarat ironi. “Tepat sebelum kau datang, aku mendapat email dari Dekan. Mereka panik, Amara. Debat internalmu dengan Rendra, meskipun kontroversial, membuat nama Amara (dan secara aneh, nama universitas kita) menjadi pembicaraan nasional. Mereka melihatmu bukan lagi sebagai ‘residu sosial’ yang harus dibuang, tetapi sebagai ‘aset yang menguntungkan’.”
“Aset yang menguntungkan?” Aku tertawa sinis. “Mereka ingin memanfaatkan saya?”
“Tepat sekali. Mereka ingin menjilat ludah mereka sendiri. Amara, universitas kita mendapat undangan untuk berpartisipasi dalam Debat Nasional Mahasiswa bulan depan. Mereka telah memilih delegasi. Dan, secara resmi, nama Amara yang baru adalah salah satu dari tiga delegasi utama.”
Aku terdiam. Misi yang tertera di Seri 3 langsung terpampang di depan mata: Undangan Debat Nasional. Ironi ini sungguh pahit. Mereka memaksaku menjadi antagonis, dan kini mereka memaksaku menjadi pahlawan.
“Ini jebakan, Pak. Mereka ingin menempatkan saya di bawah pengawasan ketat, memastikan saya tidak berbicara kritis di panggung nasional. Mereka ingin saya menjadi boneka yang memenangkan piala, bukan reformator,” ujarku, merasakan adrenalin bercampur jijik.
“Tentu saja itu jebakan. Tetapi di setiap jebakan ada peluang,” balas Pak Arka, nadanya kini beralih menjadi mentor strategis.
“Kau tahu pepatah kuno: Musuhmu memberikanmu pisau, gunakan pisau itu untuk menusuk punggungnya. Mereka memberimu panggung nasional, Amara. Panggung di mana jutaan pasang mata akan melihatmu. Panggung di mana kritikmu akan memiliki resonansi yang jauh lebih besar daripada sekadar di ruang kelas Sosiologi Kritis.”
“Saya tidak pandai dalam retorika formal seperti Rendra, Pak. Kekuatan saya adalah data dan analisis sosiologis, yang jarang dihargai dalam kompetisi debat yang biasanya berfokus pada legalisme dan retorika kosong.”
“Itu adalah keunggulanmu, bukan kelemahanmu,” Pak Arka bersikeras, mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Debat nasional biasanya dimenangkan oleh orator yang terdengar paling meyakinkan. Tapi kau, kau bisa memenangkan hati publik dengan menunjukkan kebenaran. Kita akan menggunakan data ‘Proyek Seleksi Generasi’ ini sebagai senjata. Kita tidak akan mengungkapkannya secara langsung, tetapi kita akan menggunakannya untuk membentuk argumenmu, untuk menembus struktur sistematis yang korup.”
“Jadi, Bapak akan menjadi mentor saya?” tanyaku. Misi Seri 3 menyebutkan "Pelatihan Intensif oleh Pak Arka."
“Aku harus. Jika kau memenangkan Debat Nasional, itu akan memberimu status yang tak terbantahkan. Administrasi kampus tidak akan berani menyentuhmu setidaknya, sampai mereka tidak punya pilihan lain. Kemenangan ini adalah pelindung pertamamu dari Serena dan Bapak Surya.”
Pak Arka mengambil pena merahnya, mengetuk-ngetuk tablet itu.
“Kita harus mengubah fokus debat. Kita tidak akan berbicara tentang kebijakan permukaan. Kita akan berbicara tentang keadilan struktural, tentang kesenjangan pendidikan, tentang bagaimana sistem ranking telah menjadi alat penindasan korporat.”
“Dan bagaimana dengan Serena? Dia pasti akan mencoba menggagalkan saya dari internal. Saya yakin dia akan menggunakan jaringan SPU untuk menjebak saya dalam kasus plagiarisme, seperti yang kulihat di ringkasan misi yang akan datang.”
“Maka kita akan bersiap untuk itu. Aku akan memastikan setiap esai, setiap argumenmu, memiliki sumber yang tak terbantahkan. Dan kita sekarang punya Rendra, bukan? Rendra mengendalikan jaringan informasi mahasiswa. Kita akan menggunakan dia untuk memblokade serangan digital dari internal,” kata Pak Arka, sudah mulai menyusun strategi aliansi.
Aku merasakan getaran di tanganku. Itu bukan karena cemas, melainkan karena energi yang mengalir dari Sistem. Aku menyadari bahwa penerimaan undangan ini adalah kunci untuk membuka Gold Finger System Upgrade yang dijanjikan.
“Baik, Pak Arka. Saya terima undangan itu. Saya akan menjadi wakil universitas yang mereka benci, dan saya akan memenangkan Debat Nasional ini,” kataku, suara Amara terdengar lebih tegas dari sebelumnya.
“Kita akan menggunakan panggung mereka untuk membongkar fondasi sistem mereka.”
Pak Arka tersenyum. Senyum itu tidak mengandung humor, tetapi kepuasan intelektual.
“Bagus. Mulai besok, kita akan melatihmu, bukan sebagai orator, tetapi sebagai kritikus yang dipersenjatai data. Kita akan mengubah Debat Nasional menjadi kuliah Sosiologi Kritis tingkat tinggi.”
Saat aku hendak bangkit, tiba-tiba notifikasi Sistem berkedip di pandanganku, bersinar biru terang.
[Misi Baru Diterima: Raih Kemenangan Absolut di Debat Nasional. Kemenangan ini akan membuka kunci 'Gold Finger: Penguasaan Data Real-Time'.]
[Peringatan Sistem: Misi ini memiliki risiko tinggi. Kemenangan Anda akan menarik perhatian Target 4 (Bapak Surya) secara langsung dan memicu 'Keraguan Sistem' terhadap Target 1 (Pak Arka) sebagai Variabel Tak Terkendali.]
Aku menatap notifikasi itu, lalu menatap Pak Arka. Sistem memperingatkan bahwa aliansi kami akan menjadi terlalu kuat, terlalu tidak terduga, dan karenanya berbahaya bagi misi utamaku. Tapi aku tidak peduli. Pak Arka adalah sekutu yang aku butuhkan, meskipun ia adalah ‘Variabel Tak Terkendali’.
“Pak Arka,” ujarku, mengambil tas. “Saya butuh kopi yang lebih kuat. Pelatihan kita harus dimulai sekarang. Saya ingin Bapak menjelaskan kaitan antara sistem ranking di negara berkembang dan mentalitas feodal korporat. Saya harus memiliki argumen yang tak terkalahkan.”
Pak Arka mengangguk, mengambil jasnya. “Kita akan mulai dengan membaca Paulo Freire dan kritik terhadap ‘pendidikan gaya bank’. Dan setelah itu, kita akan membedah data Bapak Surya yang ada di tablet itu. Bersiaplah, Amara. Setelah Debat Nasional, kau tidak akan bisa kembali menjadi Amara yang lama. Kau akan menjadi simbol. Dan simbol selalu menjadi target utama.”
Saat kami melangkah keluar dari kantor, aku merasakan tatapan mata yang mengawasi, bukan dari Serena, tetapi dari jaringan digital yang tak terlihat. Mereka telah memberiku panggung. Sekarang, aku akan menari di atas panggung itu dengan api kritik.