Dia tertawa bersama teman-temannya yang kaya raya… berani memperlakukanku seperti mainan.
Tapi sekarang giliran dia yang jadi bahan tertawaan.
Ketika aku dipermalukan oleh gadis yang kucintai, takdir tidak memberiku kesempatan kedua, melainkan memberiku sebuah Sistem.
[Ding! Tugas: Rayu dan Kendalikan Ibunya – Hadiah: $100.000 + Peningkatan Keterampilan]
Ibunya? Seorang CEO yang dominan. Dewasa. Memikat. Dingin hati.
Dan sekarang… dia terobsesi denganku.
Satu tugas demi satu, aku akan menerobos masuk ke mansion mereka, ruang rapat mereka, dunia elit mereka yang menyimpang, dan membuat mereka berlutut.
Mantan pacar? Penyesalan akan menjadi emosi teringan baginya.
[Ding! Tugas Baru: Hancurkan Keluarga Pacar Barunya. Target: Ibunya]
Uang. Kekuasaan. Wanita. Pengendalian.
Mereka pikir aku tak berarti apa-apa.
Kini aku adalah pria yang tak bisa mereka hindari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZHRCY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LANJUT LAGI
Max masih terengah-engah ketika dia mengangkat kepalanya dari pahanya, ekspresinya lembut oleh kepuasan. Dia mengusap pipinya, masih tak percaya betapa lembutnya wajah itu terlihat dari dekat, bahkan setelah semua yang terjadi.
Dia menggigit bibir dengan ragu-ragu. “Jadi... kau sudah siap?”
Dia mengangkat alis, separuh tersenyum. “Sudah?”
Dia mencondongkan tubuh, menempelkan ciuman perlahan di atas pinggulnya. “Aku tidak tahu kapan aku bisa merasakan ini lagi,” ucapnya pelan, “Dan sekarang... di sinilah satu-satunya tempat yang ingin aku berada.”
Dada Max mengencang. “Kau yakin tidak terlalu lelah?”
Dia menatapnya, kali ini dengan berani. “Tidak. Aku ingin melakukan ini.” Dia merangkak naik ke tubuhnya, duduk di pangkuannya, perlahan mengangkanginya. “Hanya... miliki aku lagi. Jangan berhenti kali ini. Jangan menahan diri.”
“Kuasai aku dengan cara yang selalu pura-pura tidak aku butuhkan.” Ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar.
Dia menggenggam pinggulnya dengan terengah-engah saat merasakannya masuk.
“Oh Tuhan...” dia merintih. “Di situ... ya, di situ...”
“Katakan lagi,” bisiknya di antara bibir yang masih bersentuhan.
Mata perempuan itu terbuka, “Tolong... miliki aku seperti yang selalu aku butuhkan. Seperti yang selalu aku bayangkan saat aku tak seharusnya melakukannya.”
“Tak ada lagi yang disembunyikan,” gumamnya, “Kau tak akan bisa lari lagi.”
Dia menekan tubuhnya dengan lebih kuat, kedua tangannya menahan pinggul perempuan itu.
Dia berteriak kecil, tangannya mencengkram punggung Max. “Ya!... Max... teruskan... aku ingin merasakannya di seluruh tubuhku...!”
“Katakan,” desisnya lagi.
“Kau milikku,” dia terengah, lalu membetulkan ucapannya di antara napas. “Maksudku... aku milikmu. Aku milikmu, Max.”
Sebelum dia sempat bereaksi, Max membalik tubuhnya, mengangkat pinggulnya dan menempatkan lututnya di tepi ranjang.
Dia berdiri di belakangnya, tangannya menelusuri pinggul perempuan itu. “Kau baik-baik saja?”
Dia mengangguk cepat, terengah. “Ya... tolong. Aku ingin merasakanmu... seluruhnya.”
Max kembali menembusnya dari belakang, dan dia terengah, tubuhnya melengkung ke arah Max. Genggamannya kuat, satu tangan di pinggul, satu lagi menyelinap ke rambutnya, menarik lembut hingga dia mengerang lagi.
“Sial...” dia terengah. “Ini... ini yang tak pernah aku dapat sebelumnya. Bukan seperti ini. Bukan seseorang yang benar-benar melihatku.”
“Aku melihatmu,” desis Max di telinganya. “Setiap bagian darimu.”
Gerakannya semakin keras, wanita mencengkram seprai, tubuhnya bergetar, teriakan makin dalam di setiap dorongan.
“Tandai aku seperti yang kau maksudkan...,” isaknya. “Kuasai aku seperti yang suamiku tak pernah lakukan.”
Kata-kata itu membuat Max kehilangan kendali.
“Aku suamimu sekarang,” geramnya, mencengkeram pinggulnya lebih kuat. “Katakan.”
Dia menjerit saat kenikmatan. “Kau milikku... Max... kau segalanya... jangan berhenti... tolong... jangan pernah berhenti.”
Max terus bergerak hingga tubuhnya bergetar hebat dalam klimaks, isakannya bercampur dengan napas yang tersengal.
Dia pun mencapai puncaknya, mengerang keras saat dia melepas semuanya di dalam dirinya.
Ketika semuanya usai, Max tidak melepaskannya. Dia menariknya kembali ke pangkuannya.
Kepalanya jatuh di bahu Max. “Hanya di sini aku merasa seperti diriku sendiri,” bisiknya.
Max mencium pelipisnya, berbisik, “Kalau begitu tetaplah. Selama kau mau.”
“Aku harus pergi,” ucapnya sambil mengusap rambutnya.
Elena menegang sedikit, dia tidak ingin melepaskannya. Tapi dia juga tak bisa menahannya di sini itu adalah kesepakatan awal.
Dia duduk, menatap ketika Max meraih kemeja dan jam tangannya di kursi dekat ranjang.
Tangannya terulur, menghentikan Max sebelum dia mengenakan jamnya. “Kapan aku bisa melihatmu lagi?”
“Saat kita memiliki kesempatan,” jawab Max dengan tenang.
Elena mengangguk, melepaskan tangannya.