NovelToon NovelToon
Satu Atap Dua Rumah

Satu Atap Dua Rumah

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan rahasia / Wanita Karir / Keluarga / Poligami / CEO / Selingkuh
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: zenun smith

Zara adalah gambaran istri idaman. Ia menghadapi keseharian dengan sikap tenang, mengurus rumah, dan menunggu kepulangan suaminya, Erick, yang dikenal sibuk dan sangat jarang berada di rumah.

Orang-orang di sekitar Zara kasihan dan menghujat Erick sebagai suami buruk yang tidak berperasaan karena perlakuannya terhadap Zara. Mereka heran mengapa Zara tidak pernah marah atau menuntut perhatian, seakan-akan ia menikmati ketidakpedulian suaminya.

Bahkan, Zara hanya tersenyum menanggapi gosip jika suaminya selingkuh. Ia tetap baik, tenang, dan tidak terusik. Karena dibalik itu, sesungguhnya...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dua Pesakitan

Kecemasan bak kabut dingin yang membekap Zara. Ia terus kelimpungan, bolak-balik antara sofa ruang tamu dan pintu kamar mandi, otaknya berputar mengingat-ingat moment buang air kecilnya barusan. Seandainya saja ia menyadari keanehan ini sejak awal, tepat sebelum tangannya hendak menekan tombol siram, mungkin akan lain cerita. Kenapa baru sekarang sadarnya?

Melihat itu, Mila yang melihatnya pun langsung bertanya.

"Ra, kamu ngapain dari tadi bolak-balik ke toilet, terus ke sini, terus ke toilet lagi?"

"La, anak aku hilang."

Mila terkejut.

"Kok bisa? Maksud kamu apa? Pendarahan kah?" Mila panik seketika. Ia langsung menghampiri Zara, meneliti seluruh tubuh sahabatnya. Tapi, tidak ada setetes pun darah yang terlihat. Keadaan Zara terlihat normal, kecuali raut wajahnya yang pucat.

"Ini La,”/" Zara menunjuk celana hamilnya.

"Celana ini biasanya gak sekendor ini. Padahal tadi masih pas. Perut aku kempes La," Perut Zara memang belum terlalu besar, tapi sudah agak membuncit.

Mila mengernyit. Ia memandangi celana yang dikenakan Zara. Benar saja, celana itu tampak melorot dan kendor, bahkan jika tidak dipegangi, celana itu pasti sudah meluncur ke bawah. Apakah benar perut Zara mengempes? Mila memegang perut Zara dengan ragu. Masih terasa agak buncit, dan sedikit keras. Namun kelonggaran celana itu memang mencurigakan.

Rasa penasaran Mila mendorongnya mengitari tubuh Zara, mencari tahu gerangan apa yang sedang terjadi.

Selama proses pemeriksaan mendadak itu, Zara tak henti-hentinya bergumam, mengungkapkan ketakutannya akan kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan Erick, suaminya, jika tahu anak mereka tiba-tiba hilang. Mila yang keheranan, lantas bergumam sesuatu yang berbau mistis.

"Selama ini apa ada yang pegang-pegang perut kamu, Ra? Bisa jadi pas dipegang, janinnya berpindah. Begitu kata mamak aku, Ra. Tetangga ada yang ngalamin, entah benar atau tidak. Aku gak mastiin soalnya."

"Gak ada yang pegang selain aku, Mas Erick, dan kamu barusan."

"Nah!"

Mila tiba-tiba memekik keras, menemukan titik terang dari masalah yang terasa begitu berat di awal. Matanya tertuju pada bagian belakang celana Zara.

Ternyata, celana hamil Zara ini memiliki bagian karet elastis di pinggang belakang. Karet yang seharusnya meregang dan menahan celana agar pas, kini terlihat putus di salah satu sisi, membuat celana itu seketika kehilangan daya topang dan menjadi kendur.

"Karet kolor celana kamu putus ini, Ra. Nih lihat ke belakang!" seru Mila, menahan tawa.

Dan benar saja. Sesaat, Zara tercengang, lalu seketika itu juga tawa malu sekaligus merasa lega meledak dari belah bibirnya. Ia sudah berpikir yang tidak-tidak, membayangkan keguguran tanpa rasa sakit, padahal masalahnya karena karet kolor yang putus.

Mila tak kalah terpingkal. Ia merasa oon karena sempat ikut-ikutan heran dan panik, bahkan ikut memikirkan hal mistis. Seumpama keguguran pun, pasti Zara sudah merasakan sakit yang luar biasa.

Keduanya larut dalam tawa yang renyah. Zara menertawakan dirinya sendiri, bagaimana bisa ia menghubungkan celana kendor dengan hilangnya janin. Ia juga bertanya-tanya mengapa karet kolor yang terlihat kokoh dan lumayan besar itu bisa putus begitu saja.

Mila menyahut dengan nada asal nyeletuk,

"Kalau tiba-tiba begitu dan sebelumnya gak biasa, itu bisa jadi pertanda, Ra. Ini pertanda rumah tangga kamu sama Erick bakal ketahuan sama Emily kali, Ra."

Mila hanya asal bicara, tak ada niat jahat untuk membocorkan. Celetukan itu hanya spontan, mengingat pepatah lama bahwa bangkai akan tercium juga.

Seketika tawa Zara terhenti, namun senyumnya tidak luntur. Ia memandang Mila.

"Diketahui oleh Mbak Emily pun, ya tak apa," ujar Zara lembut, menatap melanglang buana. "Aku akan berusaha menghadapinya bersama Mas Erick. Memang seharusnya hal ini cepat terkuak, tapi tidak dengan aku yang memberitahunya secara langsung, karena ini sudah jadi keputusan Mas Erick. Aku percaya dia bisa mengakhiri semua ini."

Mila terdiam, lantas bertanya, "Kenapa kamu percaya sekali dengan laki-laki, Ra? Bahkan dalam situasi begini?"

"Karena dia suamiku. Ketika hati sudah memilih, tidak ada alasan untuk aku tidak mempercayainya, meskipun rasanya terdengar seperti mustahil. Saling percaya membuat kami semakin kuat dan juga tentram."

"Laki-laki kan suka bohong, Ra. Buktinya dia bisa nikahi kamu tanpa sepengetahuan istrinya kan?Nih ya, logikanya begini. Kamu sekarang posisinya yang kedua, mungkin enak karena kamu tahu dia punya istri pertama. Tapi kan istri pertamanya gak tahu kalau suaminya punya istri lagi. Sudah pasti dia bohong terus-terusan ke istrinya. Coba kalau posisi dibalik, kamu yang ternyata dibohongi sama Erick, pasti kamu akan ngerasain sakit, Ra."

Zara hanya tersenyum tipis. Untuk menjawab pertanyaan itu dengan tuntas, perdebatan pasti akan panjang.

"Soal bohong, itu jadi urusan suamiku dengan Sang Pencipta. Tugas aku sebagai istri, hanya percaya pada suami."

"Itu dodol namanya, Ra. Masa tahu dibohongi masih percaya saja."

"Iya La, aku memang Dodol," jawab Zara, tersenyum tulus.

Mila seketika sekak. Adu argumen paling menyebalkan adalah ketika lawan bicara tidak lagi melawan, melainkan pasrah dan mengiyakan dengan senyum tulus. Kalau sudah begini, Mila tidak bisa adu argumen lagi. enaknya itu kalau adu argumen, lawan tetap menjawab terus tanpa ada kalimat pasrah. Enak sekali menimpalinya, jadi semangat berkeras-keras pendapat. Tapi Kalau sudah begini rasanya sekak, malah bikin keki.

Malah bikin mules.

Malah jadi pengen BAB.

Mila pun pamit ke toilet.

Tepat saat pintu toilet tertutup, Erick pun datang menghampiri Zara. Baru kemarin laki-laki itu menginap, dan sekarang datang lagi. Zara menyambutnya dengan senyum lebar.

"Mas, kenapa ke sini lagi? Mbak Emily tidak pulang ke rumah?" tanya Zara.

Erick menjawab bahwa Emily memang sudah pulang ke rumah, dan ia sengaja pergi untuk menghindar. Selain itu, Erick memang punya masalah serius yang ingin didiskusikan dengan Zara, persoalan pendapatannya yang dialihkan, sehingga tidak ada uang masuk ke rekeningnya.

Zara menanggapi kabar itu dengan santai dan terlihat tegar sekali di mata Erick. "Kita bisa putar tabungan besar yang aku punya, Mas. Untuk modal kecil-kecilan dulu."

Ketegaran Zara juga terlihat jelas di mata Mila, yang ternyata sudah keluar dari toilet tanpa disadari oleh Zara dan Erick. Posisi sofa tempat mereka duduk memunggungi pintu toilet. Mila diam membeku di balik pintu yang sedikit terbuka, memperhatikan interaksi pasangan itu.

"Mas Erick sudah makan belum? Kalau belum, aku hangatkan makanan dulu," tawar Zara, beranjak dari sofa.

"Aku sudah makan, Ra. Aku tidak berani telat makan." Erick menarik lembut tangan Zara, menyuruhnya duduk kembali. "Kamu di sini saja dulu sejenak, duduk di sisiku. Aku pengen peluk kamu."

"Iya Mas." Zara menurut. Ia duduk di samping Erick, dan laki-laki itu memeluknya erat. Mereka saling memejamkan mata.

Dalam moment begitu, tiba-tiba Erick berseru. "Cieee, yang takut aku marah, sedih, kecewa, karena anakku hilang dari perut. Eh, ternyata celananya yang somplak."

Seketika bibir Zara berkedut, kemudian tawanya pecah.

"Ciyee, yang harus beliin aku celana lagi." balas Zara, Erick pun ikutan tertawa.

"Mas, jual mobilku aja ya, kebagusan itu." celetuk Zara, tiba-tiba.

"Di dompet aku masih ada uang untuk beli celana hamil. Atau kamu mau daster-daster? Biar aku cek out-in." Erick kemudian sibuk berselancar, memeriksa model daster dan pakaian hamil untuk Zara.

Zara menggeleng pelan. "Aku gak maksud ke sana, Mas. Tapi emang mobilnya terlalu bagus untukku. Nanti aku pakai mobil biasa saja, sisa uangnya bisa kita tabung."

Zara panjang lebar mengatur siasat perekonomian mereka, rencana penabungan, dan ide-ide modal kecil, setelah mendengar cerita suaminya tentang masalah pendapatan. Erick menatap istrinya dengan takjub dan rasa terima kasih yang mendalam. Ia merasa Zara itu seperti istrinya IP Man, penurut, baik hati, dan pendukung yang kuat. Tentram sekali memiliki tipe istri seperti ini.

Begitulah percakapan mereka mengalir, penuh tawa dan strategi yang dipikirkan berdua. Hingga pada suatu momen, Zara meringis sedikit, menahan sakit. Tangannya refleks mengusap-usap pinggangnya.

"Zara, sayang, kamu sakit ya? Tuh kan, kamu sakit." Muka Erick langsung tegang, panik melihat Zara kesakitan.

"Nggak kok, Mas. Nggak ada yang sakit."

Namun badannya tidak bisa diajak kompromi. Rasa kram yang menusuk datang lagi, membuat Zara meringis, menggeliatkan badan berharap rasa sakit itu mereda.

Erick kalap. Seketika paniknya berubah menjadi ketakutan. Ia bahkan hendak menggendong Zara ke rumah sakit. Air mata Erick sudah membanjiri pelupuk mata.

Detik kemudian, rasa kram itu hilang. Zara kembali normal, ia membuktikannya dengan pergerakan tubuhnya yang luas. Erick menarik Zara ke dalam pelukan yang lebih erat, dan ia menangis sejadi-jadinya. Suara isak tangisnya terdengar pilu. Erick benar-benar takut jika Zara sakit.

Zara berusaha menenangkan, membelai punggung suaminya, meyakinkan bahwa ia sudah baik-baik saja.

Melihat itu, Mila yang sedari tadi memperhatikan, merasa Zara dan Erick adalah dua pesakitan yang saling menguatkan. Meskipun ia tidak memahami sepenuhnya apa yang keduanya perjuangkan, ia melihat adanya ikatan yang kuat. Seketika jiwa ingin memisahkan jarak kebersamaan di antara mereka perlahan terkikis.

Mila diam-diam tanpa suara, keluar dari sana menuju kamar sebelah, membiarkan pasangan itu menikmati moment intim mereka.

Besok nanya ah, Zara itu bisa ketemu sama Erick tuh di mana? Dan gimana ceritanya? batin Mila.

.

.

Bersambung.

1
🔵 Muliana
Wah, baiknya pak hartono.
🔵 Muliana
org diam, kalo marah. ternyata parah ya
🔵 Muliana
Kenapa gak suruh anak mu ataupun dirimu bercermin lebih dulu? apakah org kaya gak punya cermin di rumah?
nowitsrain
Kalaupun Zara nggak sama Erick, yang pasti nggak boleh sama kau juga sih Rayhan 😌😌
nowitsrain
Idih idihh
nowitsrain
Kostumnya mana Milaaaaa
〈⎳ FT. Zira
pacar apaan oiii/Curse/
〈⎳ FT. Zira
mila bisa diandalkan disegala situasi ya ternyata
🔵 Muliana
ini pasti akibat stress
🔵 Muliana
apa ini perintah ayah emily?
🔵 Muliana
sesuatu apa? kagum? anda telat
🔵 Muliana
dalam keadaan genting gini aja, kamu masih melindunginya
Dewi Payang
Semiga saja kandunganbya baik² aja...
nowitsrain
Ekhem... permisiiii, mbaknya juga selingkuh tapii
nowitsrain: Tapi aku nggak membenarkan tindakan Erick ya. No no ☝️☝️
total 1 replies
nowitsrain
Kan yang mulai duluan your bos yh..

Yaaa tapi kan hukum di negeri enih bisa dibeli 😌
nowitsrain
Ihhh beraninya keroyokan
nowitsrain
Tumbukkkkk Millll. Hajarrrrr
nowitsrain
Fun fact, makin sebel sama orangnya, akan makin sering dipertemukan.
tinie
hamil muda, punya madu kaya setan
jelas bikin perut keram
aku gak punya madu aja sering keram, gara dongkol hati ini 😁😁😁

jadi curhat nih
🔵 Muliana
dia lupa, kalo dia sendiri aja selingkuh /Facepalm/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!