Menikahi Pria terpopuler dan Pewaris DW Entertainment adalah hal paling tidak masuk akal yang pernah terjadi di hidupnya. Hanya karena sebuah pertolongan yang memang hampir merenggut nyawanya yang tak berharga ini.
Namun kesalahpahaman terus terjadi di antara mereka, sehingga seminggu setelah pernikahannya, Annalia Selvana di ceraikan oleh Suaminya yang ia sangat cintai, Lucian Elscant Dewata. Bukan hanya di benci Lucian, ia bahkan di tuduh melakukan percobaan pembunuhan terhadap kekasih masa lalunya oleh keluarga Dewata yang membenci dirinya.
Ia pikir penderitaannya sudah cukup sampai disitu, namun takdir berkata lain. Saat dirinya berada diambang keputusasaan, sebuah janin hadir di dalam perutnya.
Cedric Luciano, Putranya dari lelaki yang ia cintai sekaligus lelaki yang menorehkan luka yang mendalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Quenni Lisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23 - Penyesalan Lucian
TOLONG BANTU LIKE DAN KOMENTAR....
AKHIR-AKHIR INI AKU KURANG SEMANGAT, KARENA LIKE YANG SEMAKIN MENURUN DAN TIDAK ADA KOMENTAR😭😮💨
Setidaknya, sempatkan like saat membaca ya😭🫶
Makasih semua...
...****************...
Hening....
Anna mengerjabkan matanya pelan. Merasakan cahaya menusuk matanya. Ia menatap langit-langit, mencium aroma obat yang begitu kuat.
'Ternyata aku di rumah sakit,' batin Anna, kepalanya terasa berat sekali.
Nyut!
Anna dengan spontan memegang bahu kanannya. Merasakan sakit di lengan kanannya.
"Anna! Kamu udah sadar!" Raven menghampiri Anna dengan senyum bahagia.
Anna tersenyum, ia menatap lengan kanannya yang di balut dengan rapi. Ia dapat merasakan perihnya.
Anna seketika teringat sesuatu. "Lucian! Ba-bagaimana keadaan Tuan Lucian?" tanya Anna, ia berusaha mendudukkan tubuhnya.
"Argh!" Anna menjerit, karena ternyata tangannya sangat sakit bahkan tanpa ia sadari tubuhnya sangatlah lemas.
"Anna... Sebaiknya kau khawatirkan dirimu sendiri. Kau sudah menyelamatkan Lucian, dia hanya pingsan tapi kamu... " Raven menghentikan perkataannya. Ia merasa kesal dan sedih, bahkan disaat seperti ini ia menyadari ternyata ia tak bisa di bandingkan sedikitpun dengan Lucian.
"Betul yang dikatakan, Raven! Kau pikirkan dirimu sendiri Anna. Anak kurang ajar itu sudah bangun dari pingsannya dan mengira bahwa Mona adalah penyelamatnya," jelas Edward, ia berjalan menuju ranjang Anna dengan tongkatnya.
"Apa!" Anna terkejut, ia tak menyangka bahwa Lucian menganggap Mona yang menyelamatkannya.
"Kek, ini semua ulah Mona! Aku melihat sendiri dia berdiri disamping gudang, dengan ekspresi ketakutan!" teriak Anna, merasa tak terima.
"Anna! Tenanglah, aku tahu kau tidak bersalah. Tapi, kita harus membuktikannya. Karena pihak sekolah pasti akan menyelidiki kasus ini," jelas Raven, ia memeluk Anna mencoba menenangkan gadis itu yang terlihat syok.
Brak!
Pintu ruangan itu terbuka lebar, menampilkan sosok jangkung Lucian, dengan ekspresi marah dan kecewa di matanya.
"Anna! Jadi... Selama ini kau mendekatiku hanya untuk kepentinganmu sendiri! Karena kau adalah gadis murahan yang mendekati siapapun pria kaya raya!" bentak Lucian, emosinya tak terkontrol.
Deg!
Jantung Anna seolah berhenti berdetak mendengar pernyataan Lucian. Ia tak menyangka Lucian akan mengatakan hal itu.
Bugh!
Sebelum Edward bergerak, Raven dengan lebih melayangkan pukulan pada wajah tampan Lucian. Hingga pria itu tersungkur.
"Jaga omonganmu, Lucian!" bentak Raven.
Lucian berusaha bangkit, wajahnya memperlihatkan rasa jijik dan senyum smirk. "Ah, kenapa kau membelanya? Kau sudah terhasut oleh jal*Ng ini! Dia bahkan berniat mencelakaiku, dan menuduh Mona yang menyelamatkanku sebagai pelaku!" bentak Lucian. Wajahnya merah padam, dengan tangan yang terkepal erat.
"Lucian!"
"Anna jelas mengatakan, ini semua ulah Mona! Kenapa kau mempercayai gadis itu dibandingkan Anna yang lebih baik!" bentak Edward tak habis pikir, dengan pola pikir Cucunya.
Lucian berdecih. "Cih, untuk apa aku mengharapkan kau akan membelaku. Pada akhirnya kau akan tetap membela gadis jal*ng ini," ujar Lucian, merasakan Kekecewaan.
"Aku melihat sendiri bah---."
"Cukup!" Anna memotong perkataan Raven, lalu menatap Raven, ia tak mau melanjutkan ini.
"Jika kau merasa bahwa akulah pelakunya. Terserah kau saja. Yang jelas, aku tahu, aku bukan pelakunya. Jadi, aku mohon. Pergi dari sini!" bentak Anna di akhir kalimatnya.
Lucian nampak tertegun, tak percaya. Ini adalah pertama kalinya, bagi Lucian melihat sorot kemarahan di wajah dan bibir Anna. Gadis itu selalu bersikap lembut padanya.
'Hah. Setelah ketahuan, dia tak lagi berpura-pura,' batin Lucian, ia meninggalkan ruangan itu dengan kecewa.
"Kenapa, Anna? Bukankah kau yang menyelamatkan Lucian! Laki-laki bodoh itu, bisa-bisanya ia mempercayai tipu daya Mona!"
Anna terdiam.
Tes!
Tes!
Airnya mulai menetes, lalu mengalir deras. Ia merasa sakit. Dadanya sesak, karena pikirannya terus memutar ulang semua kalimat hinaan yang di lontarkan Lucian.
"Hiks... Hiks... Huaaaa!" Anna memegang dadanya sesak. Ia memukul-mukulnya pelan, berusaha menghilangkan sesak di dadanya.
"Anna!" teriak Raven dan Edward, terkejut.
Greb!
"Anna, jangan sakiti dirimu lagi! Lucian akan membayar semua rasa sakitmu ini!" Edward memeluk Anna dengan erat, mencoba memberikan kenyamanan bagi cucunya itu.
"Ak-Aku... Bukan aku, Kek. Ke-kenapa... Kenapa dia lebih percaya Mona. Hiks... A-apa aku salah mencintainya," ungkap Anna, tanpa sadar.
Raven yang melihat itu, merasa sangat marah. Padahal ada gadis yang sangat mencintainya, namun Lucian malah menyia-nyiakan semua itu. Dan, lebih memilih mempercayai gadis jahat seperti Mona. Revan pikir, hubungan Anna dan Lucian sudah sangatlah dekat. Namun, ternyata ia salah.
Revan melangkahkan kakinya. Dadanya bergemuruh. Ia ingin sekali memberi pelajaran Mona. Saat tiba di sana, ia malah menghentikan langkah kakinya, menatap pemandangan di cela pintu ruangan.
"Lucian... Kau jangan salah, Anna. Mungkin dia hanya iri padaku. Lagi pula, luka ini aku lakukan sendiri untuk melindungimu," jelas Mona dengan tipu muslihatnya.
Lucian yang berdiri di sisi ranjang tampak diam tak bergeming. Ia merasa sangat ragu. Ia merasa bahwa ia salah. Namun, ia merasa bingung dimana letak kesalahannya.
"Sudahlah. Kau rawat saja lukamu. Aku berterimakasih karena kau telah menyelamatkanku, dan maaf karena aku, kau jad seperti ini," jelas Lucian, matanya menatap lengan kanan Mona yang di balut.
Mona nampak sedikit gugup. Namun, ia berusaha terlihat senatural mungkin. "Tentu saja. Itu tidak masalah."
'Hah... Untuk apa aku menyadarkan lelaki bodoh itu. Ini adalah kesempatan untukku mendekati Anna.'
FLASHBACK OFF.
Prang!
Lucian membanting vas bunga di sampingnya dengan marah. Ia mengacak-acak rambutnya dengan penuh penyesalan.
CEKLEK!
Juan masuk dengan tergesa-gesa karena kaget mendengar suara pecahan kaca. Ia melihat kondisi Bosnya yang sangat kacau.
"Tu-Tuan!"
"Ap-apa... Apa yang sudah kulakukan pada Anna..." Lucian menatap tangannya dengan perasaan menyesal.
"Argh! Dasar bajing*n!" Lucian memaki dirinya.
"Ca-cari keberadaan Anna!" ujar Lucian, ia makin merasakan sakit kepalanya terus menyerangnya.
"Y-ya, Tuan?" Juan tampak tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"CARI ANNA! SEKARANG!" bentak Lucian. Namun, tiba-tiba matanya memburam dan tubuhnya sangat lemas.
Bruk!
"Tuan!"