Demi harta Dirja rela melakukan pesugihan, pesugihan yang katanya aman. Tak perlu menumbalkan nyawa, hanya perlu menikah lagi saja. Semakin Dirja menikah dengan banyak wanita, maka harta yang dia dapatkan juga akan melimpah.
"Ingat, Dirja! Kamu harus menikah dengan wanita yang memiliki hari spesial, seperti wanita yang lahir pada malam satu suro. Atau, wanita yang lahir pada hari Selasa Kliwon."
"Siap, Ki! Apa pun akan saya lakukan, yang terpenting kehidupan saya akan jadi lebih baik."
Akan seperti apa kehidupan Dirja setelah melakukan pesugihan?
Benarkah pesugihan itu aman tanpa tumbal?
Gas baca, jangan sampai ketinggalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gelang Pemikat
Dirja merasakan kesakitan yang luar biasa, kedua tangannya dililit oleh ular dengan begitu kencang sampai menimbulkan bunyi 'kretek' pada tulangnya. Mata Dirja melotot menahan sakit, badannya gemetar dan juga rasanya dia mau mati saat ini juga.
Pria itu berteriak-teriak minta tolong, tetapi herannya tidak ada yang menolong dirinya. Dia sampai bertanya-tanya, ke mana perginya Ki Gundul? Kenapa orang itu tidak mau membantu dirinya? Apakah ini akhir dari hidupnya?
Dirja menjerit dengan sekuat tenaga, suaranya terpecah oleh sakit saat ular sanca itu meremas kedua lengannya semakin erat. Tubuhnya terhempas ke samping batu besar, napasnya tercekat, dia berusaha sekuat tenaga memberontak.
Dirja berharap lilitan kuat itu akan terlepas. Ular sepanjang dua meter dan seukuran tangannya itu terasa seperti jebakan hidup yang tak terhindarkan. Dirja mulai ragu dengan apa yang dia lakukan dan apa yang sudah dia mulai.
"Apakah semua kekayaan ini cuma jebakan supaya aku jadi pemuja?” batinnya dengan putus asa.
Pandangannya menangkap bayangan pedang panjang di dekat batu. Dengan sisa tenaga, Dirja menggulingkan badannya, mengabaikan rasa pada tubuhnya yang begitu perih karena bergesekan dengan tanah dan juga batu-batu kecil yang ada di sana.
Rasa nyeri merayap, tapi ia menahan diri. Dia terus menatap pedang dengan harap. Dia berharap kalau pedang itu bisa menjadi penyelamatnya, bisa membuat dia menuju jalan kekayaan.
"Semoga pedang itu bisa menyelamatkanku,” ucapnya pelan.
Ia merangkak pelan ke arah pedang panjang itu, napasnya terengah. Saat tangan yang terbelit ular berhasil menyentuh bilah pedang, ia menggoreskan dengan sekuat tenaga. Tiba-tiba darah segar mengalir dari luka di tubuh ular itu, menguatkan semangat Dirja untuk terus berjuang.
"Akhirnya," ujar Dirja merasa begitu tenang karena ular itu langsung mati dan tergeletak lemas di atas tanah.
Dirja langsung duduk dan dengan sekuat tenaga mengambil air yang tidak jauh dari sana, dia mengguyur tubuhnya yang kotor dan juga penuh luka.
"Argh!"
Dirja berteriak dengan begitu keras karena tubuhnya terasa disiram oleh air garam, tetapi herannya luka-luka di tubuhnya langsung hilang. Bahkan, dia merasa heran ketika tubuh ular yang tadinya mati itu berubah menjadi sebuah gelang.
"Apa maksudnya ini?" tanya Dirja.
Dirja mengambil gelang yang tergeletak di atas tanah, tak lama kemudian Ki Gundul datang dengan tawa yang begitu menggema.
"Hahahaha! Kamu sudah berhasil, Dirja. Pakailah gelang itu, gelang itu memiliki daya tarik yang luar biasa. Jika kamu memakainya, maka semua wanita akan tunduk terhadap kamu."
"Benarkah, Ki?"
"Ya, segera pakai gelang itu. Pakai baju kamu dan pergilah," ujar Ki Gundul.
"Loh! Katanya aku akan mendapatkan uang lagi setelah melakukan ritual ini, mana?" tanya Dirja.
Dia sudah melewati malam ini dengan penuh rintangan, Dirja tentu saja tidak mau kalau pergi dengan tangan kosong. Walaupun memang dia sudah memiliki uang dari modal awal, tetapi tetap saja untuk perjuangannya kali ini dia tidak mau kalau tidak mendapat apa-apa.
Ki Gundul tertawa dengan begitu kencang mendengar apa yang dikatakan oleh Dirja, karena pria itu kini sudah menjadi pria yang mata duitan. Sangat dia suka.
"Tentu saja ada uang yang akan aku berikan untuk kamu, upah karena kamu mau menjadi pemuja hutan larangan."
Ki Gundul memberikan satu kantong plastik hitam, Dirja dengan cepat menerimanya. Wajah pria itu berbinar ketika melihat uang yang begitu banyak di dalam kantong itu.
"Terima kasih banyak, Ki."
"Ya, jangan lupa, nanti setelah kamu punya rumah baru, kamu harus memiliki tempat khusus untuk pemujaan. Setiap malam Jumat kamu harus memakan bunga kantil, lalu menyiapkan sesajen untuk penghuni hutan larangan."
"Siap, Ki. Saya pasti tidak akan lupa," jawab Dirja.
Pria itu tersenyum senang, dia segera memakai baju dan langsung pergi dari sana. Hal yang pertama dia lakukan setelah kembali adalah menjual rumah lamanya kepada juragan yang ada di kampungnya.
Walaupun dibeli dengan harga yang tidak seberapa, tetapi dia merasa senang karena rumah yang penuh kenangan buruk itu akhirnya terjual. Setelah itu, Dirja membeli rumah sederhana yang ada di perbatasan desa.
Sengaja dia membeli rumah yang jauh dari rumah lurah Sukarta, karena dia tidak ingin kalau pria itu mencampuri urusan rumah tangganya dengan istrinya nanti.
"Kini saatnya aku pergi ke rumah pak lurah," ujar Dirja.
***
Lurah Sukarta mengerutkan dahinya sambil melirik jam dinding. Waktu yang ditentukan sudah tiba, tetapi calon pengantin pria belum juga datang. Dia mulai resah dan juga gelisah, takut dipermainkan oleh pria yang tidak punya jabatan sama sekali di desanya itu.
"Nduk, kok Dirja belum juga muncul? Apa dia akan ingkar janji buat menikahi kamu?"
Suaranya sedikit gemetar, menandakan kekhawatiran yang makin membesar. Di ruang keluarga, suasana terasa tegang. Pak ustadz sudah duduk dengan rapi mengenakan sarung dan peci, menunggu acara dimulai.
Keluarga inti Lurah Sukarta berkumpul saling berpandangan, napas mereka beradu dengan sunyi yang menekan. Bahkan Darmi, meski hanya terbaring lemah di atas kasur, tetap ditempatkan di sana.
Matanya yang sayu menatap lurus ke depan, dia sedang berusaha mencuri momen pernikahan suaminya yang kedua. Susi menggigit bibir bawah, menahan gelisah.
"Belum tahu, Pak. Tapi dia bilang, dia nggak akan mangkir dari pernikahan ini," jawabnya pelan, suara bergetar tapi penuh harap.
Dea yang sejak tadi diam akhirnya bangun, lalu dia menghampiri Susi dengan bibirnya yang mencebik. Dia memperhatikan penampilan kakak sulungnya, walaupun hanya memakai kebaya putih yang sederhana, tetapi wanita itu memang terlihat cantik.
Namun, tetap saja dia merasa kesal karena kalau Susi tidak jadi menikah, itu artinya dia juga akan kesulitan untuk menikah dengan Damar.
"Udah nikahkan saja Mbak Susi dengan pelayan lain di rumah ini, takutnya nanti malah kecewa kalau menunggu terlalu lama. Dia belum tentu datang," ujar Dea.
"Apa maksud kamu berbicara seperti itu, Dea?" tanya Srini kesal terhadap putri keduanya itu.
"Bu, kalau menurut aku ya, Mbak Susi itu memang anak pembawa sial. Hari lahirnya aja menandakan kesialan, udah sih nikahin aja secara sembarang. Kang Dirja itu masih muda, walaupun miskin tapi dia ganteng. Dia bisa memilih wanita lain untuk dinikahi," jawab Dea.
"Cukup, Dea! Jaga bicara kamu, semakin lama kamu itu ngomongin semakin ngelantur saja. Mending kamu diem, atau nanti Bapak nggak bakal nikahin kamu sama Damar!" macam Sukarta.
"Ck! Ngomong bener aja marah," ujar Dea yang langsung pergi dari sana.
Melihat kepergian kekasihnya, Damar yang sejak tadi diam langsung berdiri di hadapan lurah Sukarta. Dia merasa tidak terima karena kekasihnya itu dirasa sudah dipermalukan oleh bapaknya sendiri.
"Tenang aja sih, Pak. Walaupun katanya dia ganteng, tetapi tetap saja dia itu pria miskin. Pria miskin seperti itu pasti bakalan tahu diri, dia butuh banyak duit banyak dari keluarga Bapak. Dia pasti datang, karena ingin terus morotin duit Bapak untuk kesembuhan istrinya," ujar Damar.
"Siapa yang ingin morotin duit?"
punya pikiran tidak sih Dea ini.
Egois, judes dan emosian
iblis kalau di turuti semakin menjadi membawamu makin dalam terperosok dalam kehinaan .
Dirja ,ringkih banget hatimu ,baru di katain begitu kau masukkan ke dalam hati terlalu jauh ,hingga punya pikiran melenyapkan kehidupan insan tidak bersalah yang baru berkembang.
semangat teh Ucu