NovelToon NovelToon
Belenggu Ratu Mafia

Belenggu Ratu Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Romansa Fantasi / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia / Fantasi Wanita / Dark Romance
Popularitas:381
Nilai: 5
Nama Author: Mr. Nanas

Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.

"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.

"Ya, Bos?"

Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.

"Lupakan steaknya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.

"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kebenaran Mutlak

"Malam ini, sepertinya kaulah yang akan menjadi hidangan utama."

Kata-kata Leo yang diucapkan dengan tenang itu jatuh ke dalam keheningan Dapur Alkemis seperti sebilah es, membekukan setiap orang di tempatnya. Di lantai, sang Ustad terbatuk dan mulai duduk, hidup dan bingung, keajaiban dari "keracunan" yang ternyata hanyalah sebuah sandiwara. Di tengah ruangan, Dr. Alistair Finch—atau The Sandman, sang seniman kematian—berdiri terperangkap, wajahnya yang ramah dan kebapakan kini luntur, menampakkan topeng dingin dari seorang predator yang baru saja menyadari bahwa ia telah masuk ke dalam jebakan yang jauh lebih superior. Para jurnalis internasional dan pengacara HAM yang menjadi saksi mata menatap dari satu wajah ke wajah lain, rahang mereka ternganga, mencoba memproses realitas yang baru saja terbalik di depan mata mereka. Misi kemanusiaan mereka ternyata adalah sebuah panggung untuk percobaan pembunuhan.

Keheningan itu pecah oleh suara tawa. Tawa yang dingin, terkendali, dan penuh dengan apresiasi profesional yang bengkok. Tawa itu datang dari The Sandman.

"Brilian," katanya, sambil perlahan mengangkat tangannya ke udara, sebuah gestur menyerah yang teatrikal. "Benar-benar brilian, Chef. Aku telah meremehkanmu. Aku datang untuk menilai sebuah hidangan, ternyata aku sendiri yang menjadi bahannya. Sebuah ironi yang puitis."

"Tidak ada yang puitis tentang mencoba membunuh seorang pemuka agama yang tidak bersalah di depan mata dunia," balas Isabella, melangkah maju dari bayang-bayang, pistolnya kini terarah dengan mantap ke dada si pembunuh.

"Hanya bisnis, Ratu-ku," kata The Sandman dengan enteng.

Marco dan anggota Legiun yang menyamar sebagai pelayan kini bergerak, melucuti senjata para penjaga keamanan tim investigasi yang sama-sama terkejut dan mengamankan seluruh ruangan. Permainan telah berakhir.

Tapi Leo tahu, babak terpenting baru saja akan dimulai. "Kita tidak punya banyak waktu," katanya pada Isabella. "Soeharto pasti punya rencana darurat. Saat pionnya ini tidak melapor, dia akan tahu ada yang tidak beres." Ia kemudian menoleh pada para saksi mata internasional yang masih pucat. "Dan Anda sekalian," katanya, suaranya tenang namun menuntut perhatian. "Selamat datang di pertunjukan yang sesungguhnya."

Leo dan Isabella tidak menyeret The Sandman ke ruang interogasi bawah tanah. Mereka melakukan sesuatu yang jauh lebih efektif. Mereka mengubah ruang makan Dapur Alkemis yang elegan itu menjadi sebuah ruang pengadilan dadakan, dengan para jurnalis dan pengacara HAM sebagai hakim dan juri, dan seluruh dunia sebagai calon penontonnya.

Mereka mendudukkan The Sandman di sebuah kursi di tengah ruangan, dengan kamera-kamera yang telah disembunyikan oleh Bianca kini diaktifkan dan merekam dari tiga sudut berbeda.

"Aku punya hak untuk diam. Aku punya kekebalan diplomatik dari PBB," kata The Sandman, mencoba untuk mempertahankan sisa-sisa arogansinya.

"Kekebalanmu berakhir saat kau mencoba melakukan pembunuhan di wilayahku," balas Isabella dingin. "Dan kami tidak tertarik pada pengadilan formal." Ia menoleh pada Leo.

Leo melangkah maju, tidak dengan ancaman, tetapi dengan sebuah tablet di tangannya. "Kami tahu siapa Anda, Elias Vance," kata Leo, menggunakan nama asli The Sandman yang mereka dapatkan dari buku besar Jäger. "Kami tahu tentang misi Anda di Bogota pada tahun '98, serangan jantung 'alami' yang menimpa seorang jaksa penuntut. Kami tahu tentang 'kecelakaan' gas di kediaman seorang jurnalis Rusia di London pada tahun 2011. Kami tahu tentang setiap mahakaryamu. Jäger adalah kolega yang sangat teliti dalam mencatat."

Leo menampilkan file-file dari buku besar itu di layar besar yang tersembunyi di balik sebuah lukisan. Wajah The Sandman akhirnya kehilangan ketenangannya saat ia melihat rahasia-rahasia tergelapnya terpampang di depan mata para saksi.

"Tapi kami tidak tertarik pada masa lalumu," lanjut Leo. "Kami tertarik pada masa kini. Siapa yang memberimu perintah untuk membunuh Ustad Salim? Siapa atasanmu di The Synod?"

The Sandman tertawa getir. "Kau pikir aku akan mengkhianati mereka? Mereka akan memburuku sampai ke ujung dunia."

"Mereka akan melakukan itu terlepas dari apa yang kau katakan," kata Leo. "Kau telah gagal. Kau telah terekspos. Bagimu, kau sudah mati. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kau akan mati sebagai pion tak bernama yang gagal, atau sebagai pria yang memicu perang yang akan meruntuhkan majikanmu? Pilihan yang sama yang kami tawarkan pada Jäger."

Tekanan dari bukti yang tak terbantahkan, ditambah dengan tatapan para jurnalis yang kini melihatnya sebagai monster, mulai meruntuhkan pertahanan The Sandman. Ia adalah seorang seniman, seorang perfeksionis. Kegagalan ini, ketidakkompetenannya yang terekspos, lebih menyakitkan baginya daripada ancaman kematian manapun.

"Bukan Soeharto secara langsung," desisnya akhirnya, sebuah pengakuan pertama. "Perintah datang melalui saluran terenkripsi dari The Synod pusat. Soeharto hanyalah pelaksana regional. Misiku adalah untuk membingkai kalian, untuk menciptakan justifikasi bagi Soeharto untuk melakukan pembersihan total di mata dunia. Untuk mengubah kalian dari pahlawan rakyat menjadi tiran yang membunuh sekutu mereka sendiri."

Pengakuan itu direkam. Bukti itu tak terbantahkan. Mereka kini memiliki sebuah bom nuklir informasi di tangan mereka.

Leo kemudian menoleh pada para jurnalis yang gemetar, mata mereka berkilat karena adrenalin dan ketakutan akan sebuah cerita terbesar dalam hidup mereka. "Jenderal Soeharto ingin menggunakan Anda sekalian sebagai pion untuk melegitimasi kebohongannya," kata Leo. "Malam ini, aku akan memberi kalian kesempatan untuk menjadi ratu dalam permainan catur ini."

Ia memaparkan rencananya. Rencana yang berisiko, gila, dan brilian. Mereka tidak akan mencoba menyelundupkan rekaman ini keluar secara diam-diam. Mereka akan menyiarkannya ke seluruh dunia secara serempak.

Selama satu jam berikutnya, Dapur Alkemis berubah menjadi sebuah newsroom gerilya. Para jurnalis, yang kini sepenuhnya bersekutu dengan mereka karena amarah profesional dan insting jurnalistik, bekerja bahu-membahu dengan Bianca. Mereka menghubungi editor-editor mereka di New York, London, dan Doha melalui saluran terenkripsi yang disediakan Bianca. Mereka menyiapkan sebuah "bom data" global.

Bianca, dengan kejeniusannya, mengenkripsi seluruh paket bukti—rekaman pengakuan The Sandman, kutipan-kutipan paling memberatkan dari buku besar Jäger yang berkaitan dengan The Synod, testimoni para warga Sarang Tawon, dan rekaman standoff damai di tembok karantina—dan mengirimkannya ke server-server dari puluhan organisasi berita dan hak asasi manusia terkemuka di seluruh dunia. Semuanya dilindungi oleh satu kunci enkripsi utama yang hanya akan ia lepaskan pada waktu yang ditentukan.

"Pukul tujuh pagi waktu Jakarta," kata Leo. "Saat dunia Barat baru memulai hari beritanya. Kita akan memukul mereka dengan badai ini secara serempak."

Saat fajar mulai menyingsing di atas penjara raksasa mereka, di dalam Dapur Alkemis, sebuah revolusi digital sedang disiapkan.

Dan kemudian, tepat pukul tujuh pagi, Bianca menekan tombol 'enter'. "Bom telah diluncurkan," bisiknya.

Selama beberapa menit, tidak terjadi apa-apa. Lalu, seolah sebuah bendungan raksasa pecah, dunia meledak.

Di ruang komando darurat mereka, mereka menyaksikan semuanya melalui siaran-siaran satelit yang diretas oleh Bianca. CNN adalah yang pertama. Program sarapan pagi mereka yang biasa tiba-tiba diinterupsi oleh sebuah "Breaking News" berlabel merah menyala. "Krisis Jakarta: Pembunuh Internasional Tertangkap, Konspirasi Tingkat Tinggi Terungkap."

Lalu BBC. Lalu Al Jazeera. Reuters merilis transkrip lengkap pengakuan The Sandman. The Guardian mempublikasikan analisis mendalam tentang buku besar Jäger dan The Synod. Di media sosial, klip-klip video dari pengakuan itu menjadi viral dengan tagar #JakartaConspiracy. Telepon mulai berdering di kantor-kantor kementerian luar negeri di seluruh dunia. Para duta besar dipanggil untuk rapat darurat.

Badai media yang mereka lepaskan jauh lebih dahsyat dari yang pernah mereka bayangkan. Mereka tidak hanya membuat retakan di tembok propaganda Soeharto; mereka telah meruntuhkannya dengan sebuah buldoser. Dunia kini tidak lagi melihat Sarang Tawon sebagai sarang teroris. Mereka melihatnya sebagai Ground Zero dari sebuah skandal politik global yang mengerikan.

Di ruang perang, di tengah puluhan layar yang menampilkan kekacauan yang telah mereka ciptakan, tim inti berdiri dalam keheningan yang penuh kekaguman. Mereka telah melakukannya. Mereka telah melawan sebuah gunung, dan mereka telah membuatnya longsor.

Perasaan di ruangan itu begitu elektrik hingga nyaris bisa disentuh. Itu adalah puncak dari semua perjuangan mereka, semua rasa sakit, semua pertaruhan. Itu adalah kemenangan total yang diraih bukan dengan peluru, melainkan dengan kebenaran.

Isabella menoleh pada Leo, matanya yang gelap berkilauan dengan air mata kemenangan dan kekaguman yang tak terhingga. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menariknya, membawanya pergi dari ruang perang yang riuh, menuju keheningan penthouse mereka.

Malam itu, mereka kembali merebut takhta mereka. Bukan secara fisik, tetapi secara spiritual. Berdiri di depan jendela raksasa yang sama di mana mereka pernah merasakan keputusasaan, mereka kini menatap kota mereka dengan perasaan sebagai pemenang sejati.

Gairah di antara mereka adalah sebuah perayaan. Sebuah ledakan dari semua kelegaan, semua kebanggaan, dan semua kekuatan yang mereka rasakan. Adegan cinta mereka adalah sebuah tarian kemenangan, sebuah ritual dari dua raja dan ratu yang baru saja menaklukkan dunia. Itu penuh tawa, penuh dengan bisikan-bisikan kemenangan, dan penuh dengan hasrat yang murni dan tanpa beban. Itu adalah cinta yang percaya diri, kuat, dan tak terkalahkan. "Panas" dari adegan itu adalah panas dari dua bintang yang bersinar paling terang, sebuah pengakuan akan kemitraan mereka yang luar biasa, baik di ranjang maupun di medan perang. Mereka bukan lagi hanya pejuang yang bertahan hidup; mereka adalah arsitek dari sebuah tatanan dunia baru, dan malam itu, mereka merayakan fondasi pertama yang telah mereka letakkan.

Namun, di dunia mereka, kemenangan selalu datang dengan harga. Dan seekor binatang buas yang terluka adalah yang paling berbahaya.

Di dalam bunkernya yang tersembunyi, Jenderal Soeharto menyaksikan kerajaannya terbakar di layar televisi global. Wajahnya tetap tenang, tetapi matanya yang tua menyala dengan api neraka yang dingin. Ia telah diremehkan. Ia telah dipermalukan di panggung dunia oleh seorang koki dan seorang ratu gangster. Para pemimpin The Synod lainnya dari seluruh dunia meneleponnya, menuntutnya untuk membereskan kekacauan ini.

Ia tahu bahwa permainan catur yang elegan telah berakhir. Ia tidak bisa lagi memenangkan perang opini. Jadi, ia memutuskan untuk melakukan apa yang selalu dilakukan oleh para tiran saat mereka terpojok: ia akan mengubah papan permainannya. Jika ia tidak bisa memenangkan permainan catur, maka ia akan menendang meja caturnya dan mulai bermain dengan pisau.

Ia membuat satu panggilan telepon ke Kolonel Santoso, komandan dari unit hantu intelijennya. Perintahnya singkat, brutal, dan tak dapat ditarik kembali.

Beberapa jam kemudian, saat dunia masih terhuyung-huyung oleh pengungkapan skandal Jakarta, sebuah tragedi baru terjadi. Sebuah bom raksasa meledak di lobi Hotel Grand Indonesia, salah satu hotel termewah dan paling ikonik di Jakarta, di tengah jam makan siang yang ramai. Ledakan itu merobek fasad bangunan, menewaskan puluhan warga sipil tak berdosa—turis, pebisnis, keluarga—dalam sekejap.

Di ruang perang Empress Tower, suasana perayaan langsung lenyap, digantikan oleh kengerian total saat mereka menyaksikan berita tentang pemboman itu.

"Tidak..." bisik Bianca. "Ini bukan kita. Ini bukan..."

Leo tahu seketika apa yang telah terjadi. Ini adalah langkah terakhir dari seorang tiran yang putus asa. Sebuah serangan bendera palsu. Sebuah pengorbanan mengerikan untuk merebut kembali narasi.

Dan benar saja, kurang dari satu jam setelah ledakan, juru bicara Satuan Tugas Khusus muncul di televisi. Wajahnya penuh dengan kesedihan dan kemarahan yang dipalsukan. "Hari ini, bangsa kita telah diserang," katanya. "Intelijen kami telah mengkonfirmasi bahwa serangan teroris pengecut ini dilakukan oleh sel radikal yang beroperasi di bawah komando langsung dari para pemimpin sindikat di Jakarta Utara. Isabella Rosales dan rekannya, yang dikenal sebagai 'Alkemis', setelah terungkap ke dunia, kini telah menyatakan perang terbuka terhadap rakyat Indonesia."

Bukti-bukti palsu—sebuah panggilan telepon yang direkayasa, seorang "saksi mata" bayaran—disajikan kepada publik yang sedang berduka dan marah.

Jebakan itu sempurna. Cemerlang dalam kekejamannya. Soeharto telah menciptakan krisis yang lebih besar untuk menutupi skandalnya. Kemarahan dunia terhadapnya kini akan dialihkan menjadi kemarahan terhadap "teroris" di Sarang Tawon. Ia tidak lagi perlu justifikasi untuk bertindak. Ia kini memiliki mandat moral.

Telepon terenkripsi mereka berdering. Itu Hartono, suaranya adalah bisikan yang panik dan putus asa. Ia telah mempertaruhkan segalanya untuk membantu mereka, dan kini ia terjebak dalam mimpi buruk yang baru.

"Leo! Ini jebakan terakhirnya! Dia yang melakukannya! Dia mengebom kotanya sendiri untuk menjebak kalian! Intelku di militer bilang... Kolonel Santoso... komandan unit hantu itu... dia dan pasukannya tidak lagi membentuk blokade. Mereka sedang berkumpul di pangkalan udara Halim. Mereka sedang mempersiapkan... aku ulangi, mereka sedang mempersiapkan... serangan fajar berskala penuh."

Leo menutup telepon. Ia berjalan ke peta holografik Sarang Tawon. Seluruh kemenangan mereka, seluruh kecerdasan mereka, kini terasa tidak berarti. Mereka telah memenangkan pertempuran opini, tetapi mereka akan kalah dalam perang yang sesungguhnya.

Ia menatap Isabella, yang berdiri di sampingnya, wajahnya pucat namun matanya membara dengan kebencian.

"Dia tidak lagi peduli dengan opini publik," kata Leo, suaranya adalah gema suram dari kekalahan yang akan datang.

"Dia akan membakar seluruh sarang ini... untuk membunuh dua tawon di dalamnya."

1
Letitia
Jangan berhenti menulis, ceritamu bagus banget!
thalexy
Dialognya seperti bicara dengan teman sejati.
Alphonse Elric
Mesti dibaca ulang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!