PERINGATAN!!!! SELURUH ISI CERITA NOVEL INI HANYA FIKTIF DAN TIDAK RAMAH ANAK ANAK. PERINGATAN KERAS, SEMUA ADEGAN TAK BOLEH DITIRU APAPUN ALASANNYA.
Setelah membantu suaminya dalam perang saudara, dan mengotori tangannya dengan darah dari saudara-saudara suaminya, Fiona di bunuh oleh suaminya sendiri, dengan alasan sudah tak dibutuhkan. Fiona bangkit kembali, ke lima tahun sebelum kejadian itu, dengan tekad kuat untuk membalas Dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16: Rencana Penculikan
Setelah Tristan kembali, Vergil duduk santai di kursinya sambil menyilangkan kakinya. "Nah, bagaimana, apa yang kau lakukan di sana? Apa tanggapan para bangsawan?" tanyanya sambil memiringkan kepalanya. Senyumnya menyiratkan rasa puas dan penuh perhitungan.
Tristan menghela napas, kemudian duduk di kursi di hadapannya. "Seperti yang kau katakan. Mereka percaya padaku, dan sekarang mereka ragu pada Felix dan Ratu Eleanor." Ia tidak tahu apa yang ia rasakan. Ia merasa seperti seorang penjahat yang baru saja menghancurkan kehormatan seseorang. Namun, di sisi lain, ia merasa puas karena berhasil memprovokasi Felix.
Vergil tersenyum miring, ekspresinya dipenuhi ejekan. "Itu sudah kuduga. Kau terlalu meremehkan dirimu sendiri, Pangeran Tristan. Popularitasmu adalah senjata yang mematikan, kau tahu? Kau bisa menghancurkan apa pun yang kau inginkan. Bahkan jika kau hanya menggunakan kata-kata, kau bisa membuat orang percaya padamu."
Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Tristan dengan mata yang penuh dengan ambisi. "Sekarang, dengan ini, hutangmu padaku berkurang setengah, bukan? Aku sudah membantumu, jadi kau harus membantuku, 'kan?"
Vergil bangkit dari kursinya, meninggalkan Tristan yang masih terdiam. Otaknya memproses setiap kata yang diucapkan. Ia berjalan menyusuri koridor yang dingin, langkahnya santai dan tenang. Sesampainya di depan pintu kamar tempat Fiona dirawat, ia mengetuknya, kemudian masuk.
Seorang tabib tua sedang memeriksa denyut nadi Fiona. Ia menoleh ke arah Vergil dengan ekspresi prihatin. "Bagaimana keadaannya?" tanya Vergil, suaranya terdengar lembut, tapi matanya menyiput, mengisyaratkan ketidaksabaran.
Tabib itu bangkit, membungkuk hormat. "Nona... ia hanya kelelahan, Tuan. Tubuhnya tidak kuat menahan rasa sakit dan ketakutan yang ia rasakan. Ia akan baik-baik saja setelah beristirahat."
Vergil melangkah mendekat, matanya menatap Fiona yang masih terbaring lemah. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan, tapi melihatnya terbaring tak berdaya membuatnya merasa aneh. Ia tidak menyangka bahwa Fiona, yang cerdas dan licik, bisa pingsan hanya karena kelelahan.
Vergil mengusir sang tabib, memintanya untuk memberinya waktu berdua dengan Fiona. Setelah tabib itu membungkuk dan pergi, Vergil menutup pintu, kemudian duduk di kursi di samping ranjang Fiona. Ia melihat wajah Fiona yang terlihat begitu pucat dan lelah, matanya terpejam, dan ia tampak seperti... ia tampak seperti seorang wanita yang hancur.
Vergil tidak bisa menahan dirinya, ia mendekat, mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Fiona dengan lembut. "Apa yang kau cemaskan? Apa yang kau takutkan, Fiona?" bisiknya. "Kenapa kau takut, sementara aku ada di sisimu? Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu selama kau bersamaku."
Fiona perlahan membuka matanya. Tatapannya kosong, tidak ada perlawanan di sana. Ia hanya menatap langit-langit, seolah-olah ia sudah pasrah dengan takdir. Ia tidak bergerak, hanya bibirnya yang bergerak, suaranya terdengar seperti bisikan, bahkan lebih kecil dari bisikan. "Jangan katakan itu, Pangeran," bisiknya. "Aku tak ingin mempercayai siapapun."
Vergil merasa sedikit senang karena Fiona sudah sadar, meskipun suaranya masih terdengar seperti bisikan. Namun, ia bisa mendengarnya, dan itu sudah cukup. Vergil tersenyum, senyumnya tidak menyiratkan kebahagiaan, tapi sebuah keangkuhan. "Sudah kubilang, kau tak perlu percaya, gadis bodoh. Kau hanya perlu mengikutiku, dan aku akan membantumu mendapatkan apa yang kau inginkan."
Vergil melihat apel di atas meja kecil di samping ranjang. Ia mengambilnya, mengeluarkan pisau kecil dari balik jubahnya, dan mulai mengupas apel itu dengan gerakan yang cekatan. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, ia memotong apel yang telah dikupas itu menjadi beberapa bagian kecil, kemudian mengulurkan salah satu potongan apel ke dekat mulut Fiona. "Makanlah, kau butuh energi," ia memerintahkannya dengan nada lembut.
Fiona hanya menatapnya, matanya kosong, tetapi setelah beberapa detik, ia membuka mulutnya dan memakan potongan apel itu. Vergil tersenyum tipis, ia terus menyuapinya sampai potongan terakhir.
Fiona memalingkan wajahnya, menghindari pandangan Vergil. "Ada apa denganmu? Kau... Kau seperti orang lain," tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar. Alis Vergil sedikit terangkat. Ia terkekeh, suara tawanya terdengar seperti derit pintu tua yang berkarat.
Ia merasa sedikit senang karena Fiona akhirnya bertanya, karena itu berarti Fiona sudah kembali, Fiona yang licik dan penuh perhitungan, bukan Fiona yang hancur seperti sebelumnya. "Oh, Fiona. Aku tidak seperti orang lain," jawab Vergil sambil menyentuh pipi Fiona dengan jari telunjuknya. "Aku hanya menunjukkan sisi lain dari diriku, sisi yang tidak kau ketahui."
Vergil menjatuhkan tangannya ke samping dan menatapnya dengan pandangan dingin. "Diamlah, bodoh. Kau terlalu banyak bicara."
Fiona menggerakkan tubuhnya dengan susah payah, mencoba menghindar dari tangan Vergil yang kembali mengulurkan potongan apel. "Hentikan, aku bisa gemuk," ia memprotes. Vergil mengabaikan protesnya, justru menyuapinya potongan apel yang lain. "Tak masalah, selama kau hidup," jawab Vergil santai, matanya menyipit saat menatapnya, seolah sedang menilai sesuatu. "Yang kubutuhkan itu otakmu, bukan tubuhmu."
Fiona menghela napas panjang, menunjukkan kekesalannya yang semakin meningkat. Ia mencoba duduk, lalu meraih kerah bajunya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain mencoba membuka kancingnya. "Ahhh, aku gerah," keluhnya sambil mulai membuka bajunya.
Vergil segera menghentikan tangannya, matanya terbelalak karena terkejut, namun dengan cepat kembali tenang. "Baiklah, baiklah," ia menyerah. "Aku tidak akan lagi menyuapimu. Lagipula, tubuhmu sudah bagus."
Fiona akhirnya menyerah, bersandar di ranjang dengan lemas. Ia menatap Vergil, matanya menyiput dengan curiga. "Jadi, bagaimana dengan rencana kita?" tanyanya, suaranya kini terdengar lebih jelas.
Vergil menyeringai, senyumnya menunjukkan kepuasan yang mendalam. Ia berjalan mendekat ke arahnya, membungkukkan tubuhnya sedikit dan menatap Fiona dengan tatapan tajam. "Berjalan dengan baik, lebih baik dari yang kita duga," bisiknya. "Setelah ini, giliranmu. Kaulah yang akan mengambil alih."
Di tempat lain di dalam kastil, Felix memasuki kamar ibunya, Ratu Eleanor, dengan langkah cepat dan mata yang memerah karena marah. Ia membanting pintu hingga menimbulkan suara yang keras. Ibunya, yang sedang meminum teh, mengangkat pandangannya dengan ekspresi tenang, tidak terganggu sedikit pun dengan kedatangan putranya. "Ada apa, Felix? Kau tampak seperti anjing yang dikejar," ucapnya, nadanya datar dan dingin. "Kau tahu, aku tidak suka melihatmu seperti ini."
"Apa yang ibu lakukan di luar sana?" teriak Felix. Ia melangkah maju, tangannya mengepal erat, wajahnya memerah karena marah. "Mengapa ibu membiarkan Tristan mempermalukanku di depan para bangsawan? Mengapa ibu membiarkan dia menuduhku sebagai boneka?"
Ratu Eleanor tersenyum tipis, ia meletakkan cangkir tehnya di atas meja dengan perlahan, lalu bangkit dari kursinya. "Felix, Felix," panggilnya, ia berjalan mendekat ke arah putranya dan menyentuh pipi Felix dengan lembut. "Bukankah sudah kubilang, kau terlalu mudah terprovokasi. Kau seharusnya tidak membiarkan kata-kata menyedihkan Tristan memengaruhimu."
Setelah Felix pergi, Vergil kembali ke kamar Fiona. Ia duduk di kursi di samping ranjang dan mengamati Fiona yang sedang termenung. Setelah beberapa saat, Fiona akhirnya memecah keheningan. "Jadi, kau menyuruh Tristan untuk mengadu domba Felix dengan Eleanor?" tanyanya, suaranya datar.
Vergil menyeringai, ia menganggukkan kepalanya. "Yaa... Apa itu salah?" tanyanya balik, nada suaranya dipenuhi tantangan. Fiona tertawa kecil, suara tawanya terdengar seperti nada yang dipenuhi ejekan. "Itu tak akan berhasil," jawabnya, ia memalingkan wajahnya dan menatap Vergil dengan pandangan dingin. "Eleanor tak bodoh seperti Felix."
Vergil menghela napas, ia menyilangkan tangannya di dadanya, pandangannya tidak beranjak dari wajah Fiona. "Kalau begitu, apa rencanamu?" tanyanya, suaranya terdengar lembut, tapi ada nada ketidaksabaran di sana.
Fiona tidak menjawab dengan segera. Ia memejamkan matanya, menghela napas panjang, kemudian membukanya kembali. "Tak ada rencana," jawabnya. Vergil mengerutkan keningnya, ekspresinya dipenuhi kebingungan. "Kita akan menghabisi Eleanor," lanjut Fiona. "Kau akan menculiknya, Vergil."