NovelToon NovelToon
SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / Cinta setelah menikah / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:560
Nilai: 5
Nama Author: Efi Lutfiah

Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.

Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sandiwara

Pukul lima sore...

Pasien Arkana sudah mulai berkurang. Ia melepas jas dokternya, bahunya sedikit merosot karena kelelahan. Seharian ini ia bekerja tanpa henti.

Kreekkk...

Pintu ruangannya terbuka, menampilkan sosok perempuan dengan jas dokter dan name tag bertuliskan KHAIRANI FITRIANI.

“Dok, udah beres?” tanya dokter Aira sambil menatapnya dengan senyum kecil.

Arkana mengangguk lelah. “Kenapa?”

“Emm… bisa kita makan bareng? Soalnya saya bawa bekal lumayan banyak. Sayang banget kalau nggak habis.”

Arkana menatap jam di dinding. “Gimana ya… kayaknya saya buru-buru.”

“Sebentar aja, Dok. Sayang banget kalau kebuang,” mohon Aira lembut.

Arkana akhirnya menghela napas dan mengangguk. “Ya sudah, sebentar aja.”

Senyum lega merekah di wajah Aira. Ia segera duduk di kursi seberang, membuka bekal dengan gerakan hati-hati.

Aroma masakan rumahan perlahan memenuhi ruangan kecil itu. Mereka makan bersama dalam senyap; hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan wadah plastik.

Namun, bukan suasana tenang seperti ini yang Aira inginkan. Ia ingin percakapan. Ia ingin mengenal lebih jauh sosok dokter Arkana yang selama ini terlihat begitu tenang dan berwibawa. Tapi entah kenapa, setiap kali berhadapan dengannya, lidahnya justru kelu.

“Terima kasih, Dok, makanannya,” ucap Arkana setelah menghabiskan suapan terakhirnya. Ia menegakkan tubuh, lalu merapikan barang-barangnya.

“Saya nggak bisa lama-lama, soalnya masih ada kepentingan lain,” lanjutnya datar.

Dokter Aira bangkit dari duduk, mencoba menyembunyikan kekecewaannya di balik senyum tipis.

“Iyah, Dok. Nggak apa-apa, saya tahu dokter orang yang sibuk,” jawabnya pelan.

Arkana hanya mengangguk singkat sebelum melangkah keluar dari ruangan.

Begitu pintu tertutup, senyum di wajah Aira perlahan menghilang. Hening.

Ia menatap pintu itu sesaat, lalu menarik napas panjang.

“Huhhh... nggak apa-apa, Aira. Lama-lama dokter Arka juga pasti luluh,” batinnya, mencoba meneguhkan hati dengan sedikit senyum penuh percaya diri.

Arkana melajukan mobilnya perlahan di bawah langit senja. Alasan “ada urusan” tadi jelas bohong. Nyatanya, tujuan utamanya sore ini adalah rumah Cantika.

Sebelum ke sana, ia sempat berhenti di sebuah toko kue di sudut jalan. Bel berbunyi lembut saat pintu kaca terbuka. Aroma roti hangat langsung menyambutnya.

“Permisi, Mbak,” ucap Arkana sopan pada pelayan yang menghampirinya.

“Saya cari kue yang rendah kalium, fosfor, garam, sama gula. Untuk orang yang punya gangguan ginjal,” jelasnya hati-hati, memastikan buah tangan yang dibawanya tidak akan membahayakan kesehatan Bu Hasna.

Pelayan itu mengangguk, lalu berjalan menuju etalase sebelah kanan.

“Kalau begitu, cocoknya kue oatmeal tanpa topping, mas. Kami juga punya puding rendah gula yang aman buat pasien seperti itu.”

Arkana mengamati sebentar, lalu mengangguk. “Saya ambil dua-duanya, ya.”

Senyumnya tipis, tapi matanya menunjukkan ketulusan, bukan sekadar basa-basi, melainkan perhatian yang tulus untuk seseorang yang dianggapnya istimewa.

“Tambahin tiramisu dua, ya,” ujar Arkana.

“Baik, Mas,” jawab pelayan itu ramah.

Setelah mendapatkan semua yang diinginkan, Arkana kembali ke mobilnya dan melanjutkan perjalanan. Jalanan sore itu tampak lengang, cahaya oranye senja memantul di kaca depan mobil.

Namun, baru saja mobil hendak berbelok ke arah gang kecil menuju rumah Cantika, tiba-tiba terasa hentakan aneh. Arkana segera menepi, turun, dan memeriksa.

Benar saja, salah satu ban belakang bocor.

“Ck... kenapa harus sekarang, sih?” gumamnya kesal, menyisir rambut ke belakang dengan tangan.

Tanpa pikir panjang, ia langsung menghubungi montir langganannya.

“Mas, tolong ke arah Jalan Melati, dekat gang tiga. Ban mobil saya bocor,” katanya singkat.

Tak lama kemudian, montir itu datang. Setelah menyerahkan kunci mobil dan memastikan semuanya aman, Arkana memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

Lagipula, jarak rumah Cantika tak begitu jauh dari tempatnya berhenti.

Tok tok tok...

Arkana mengetuk pintu pelan. Tak lama kemudian, daun pintu terbuka menampilkan sosok Bu Hasna dengan senyum ramah di wajah pucatnya.

“Bu, gimana kabarnya?” sapa Arkana dengan nada sopan.

Bu Hasna tersenyum tipis. “Seperti yang dokter lihat sendiri, keadaan Ibu masih sama.”

Arkana mengangguk pelan. “Pelan-pelan aja, Bu. Insya Allah nanti juga sembuh.”

Bu Hasna mengangguk, lalu tersenyum lebih lebar. “Dokter pasti nyari Cantika, ya?” tebaknya dengan nada menggoda.

Arkana tak bisa menahan senyum malu-malu. “Iya, Bu… kebetulan sekalian mau nengok Ibu juga.”

“Cantika-nya belum pulang, Nak. Tapi kayaknya sebentar lagi pulang. Ayo, masuk dulu nunggu di dalam,” ajak Bu Hasna ramah.

Arkana sempat mengerutkan kening, dalam hati bertanya-tanya, sebenarnya sesibuk apa sih Cantika? Hampir tiap kali ia datang, perempuan itu selalu belum pulang. Tapi ia memilih diam, tak ingin menyinggung.

Ia pun duduk di sofa ruang tamu yang sederhana tapi rapi. Dari kantong kertas yang dibawanya, Arkana mengeluarkan beberapa kotak kue.

“Ini, Bu. Saya bawain sedikit kue buat Ibu.”

Bu Hasna memandang ragu. “Emm… apa Ibu boleh makan kue, Dok?”

Arkana tersenyum meyakinkan. “Boleh, Bu. Saya bawa yang aman kok, rendah kalium, garam, sama gula. Jadi nggak apa-apa.”

Bu Hasna terkekeh kecil, tampak terharu. “Duh, perhatian banget sih, Dok.”

Arkana hanya tersenyum, tapi pandangannya tak bisa lepas dari pintu rumah, menunggu seseorang yang diam-diam selalu ingin ia lihat pulang.

Tak lama kemudian, suara deru mesin mobil terdengar dari luar.

Arkana refleks menyingkap sedikit gorden di jendela ruang tamu. Sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan rumah sederhana itu, membuat dahinya berkerut.

“Mobil siapa, Bu?” tanyanya pelan.

Bu Hasna ikut menoleh, lalu menggeleng. “Ibu juga kurang tahu.”

Belum sempat Arkana menebak, pintu mobil terbuka.

Cantika keluar sambil membawa banyak kantong belanjaan di kedua tangannya.

Arkana spontan berdiri. Ada rasa penasaran bercampur aneh yang menyesakkan dada. Ia melangkah keluar, ingin tahu siapa pemilik mobil itu.

Namun sayang, mobil mewah itu lebih dulu melaju pergi, meninggalkan debu dan rasa tanya yang menggantung.

“Mobil siapa itu?” suara Arkana terdengar datar tapi tajam.

Cantika yang baru menjejakkan kaki di teras langsung terkejut. Paperbag di tangannya hampir terjatuh.

“Do—dokter?” gumamnya gugup.

“Tika,” panggil Arkana pelan, tapi nadanya tegas.

Cantika buru-buru menata ekspresi, mencoba tersenyum santai.

“Ah itu, Dok... mobil teman aku, Rio. Dia nganterin aku sama Jesika pulang, soalnya mobil Jesika mogok,” jelasnya cepat.

Arkana memandangnya lekat-lekat, mencoba membaca dari sorot matanya.

“Kamu nggak bohong, kan?” tanyanya hati-hati.

Cantika terkekeh kecil, memaksakan tawa ringan.

“Bohong gimana, Dok. Tadi kan aku bilang ada tugas kelompok, ya di rumah Rio itu. Teman sekelompok aku cuma Rio sama Jesika.”

Arkana menunduk sedikit, mengamati kantong belanjaan yang penuh di tangan Cantika.

“Terus itu semua, apa?” tanyanya sambil menunjuk.

“Oh ini,” jawab Cantika cepat, masih dengan senyum manis yang ia bentuk setenang mungkin. “Dari atasan aku, Dok. Minggu ini banyak jadwal pemotretan, jadi dikasih beberapa baju baru.”

Arkana hanya mengangguk pelan. Tapi sorot matanya tidak benar-benar percaya.

Sementara di balik senyum Cantika yang lembut, ada detak jantung yang berdebar cepat, antara gugup dan takut kebohongannya terbongkar.

Ketegangan di teras itu sempat menggantung beberapa detik.

Arkana masih menatap Cantika dalam diam, seolah mencoba menembus kebohongan di balik senyum tenangnya.

Namun tiba-tiba suara lembut terdengar dari arah dalam rumah.

“Cantika, ayo masuk, Nak. Dokter Arka udah lama nunggu,” seru Bu Hasna sambil melambaikan tangan dari ruang tamu.

Cantika menghela napas lega, seperti baru diselamatkan dari interogasi yang tak ia harapkan.

“Maaf ya, jadi nunggu lama, Dok,” ucap Cantika.

Arkana tersenyum tipis, seolah tak menyimpan sedikit pun kecurigaan tentang kebohongan yang baru saja ia dengar.

“Gak masalah,” jawabnya tenang. “Ayo ke dalam, aku bawain tiramisu buat kamu.”

Mata Cantika langsung berbinar. “Wahh, kesukaan aku!” serunya girang.

Arkana ikut tersenyum melihat reaksi itu, senyum tulus yang jarang muncul di wajah dinginnya.

Kebahagiaan kecil terpancar jelas di matanya.

Melihat Cantika begitu antusias, seakan semua lelah dan rasa curiganya lenyap begitu saja.

Untuk sesaat, suasana rumah yang tadi tegang berubah hangat, seperti ada sesuatu yang lembut berputar di antara mereka, tanpa kata, tapi terasa nyata.

1
menderita karena kmu
Ceritanya seru banget, jangan biarkan aku dilema menanti update 😭
evi evi: haha,,, siap kakak😀🤗
total 1 replies
Rukawasfound
Ceritanya keren, teruslah menulis thor!
evi evi: Terimakasih sudah mampir di cerita ku kk🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!