Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
"Mmm ... Juragan, ada yang mau saya bicarakan. Apa Juragan ada waktu sebentar?" ucap Wulan setelah selesai sarapan.
Juragan Nata tersenyum, untuk Wulan dia akan selalu punya waktu.
"Untuk kamu, saya akan selalu ada waktu. Katakan saja, jangan sungkan," jawab sang juragan sambil tersenyum.
Deg!
Jantung ini! Apa hati ini tergugah oleh Monster jahat di depan mata? Oh, tidak!
"Mmm ... anu ... saya mau izin pulang hari ini. Ada sesuatu yang harus saya urus. Apa Juragan bisa mengizinkan saya pulang?" ucap Wulan menekan gugup yang datang.
Dahi juragan mengernyit, matanya yang tajam membuat Wulan dilanda rasa takut. Meski dia seorang pemberani, tapi di depan juragan yang terkenal sebagai tiran itu nyali Wulan selalu menciut.
"Ah, Anda tenang saja, Juragan. Saya tidak akan kabur. Saya hanya ingin menyelesaikan urusan yang belum selesai. Saya berjanji setelah selesai akan segera kembali ke istana ini. Saya berjanji!" sambung Wulan sembari mengangkat dua jari sebagai sumpah untuk meyakinkan juragan.
Dengan penuh kelembutan, tangan kekar itu menggenggam jemari Wulan dan menurunkannya. Ia tersenyum membuat Wulan tersipu tanpa sadar.
"Pulanglah! Selesaikan urusan kamu. Bi Sumi akan menemani kamu pulang," jawab sang juragan.
Antara percaya dan tidak, sang juragan yang terkenal kejam begitu mudahnya memberi izin kepada Wulan. Matanya berkedip-kedip lucu, membuat juragan tak kuasa menahan diri. Dicubitnya pipi Wulan yang sedikit gembil dengan gemas.
"Saya akan meminta Sumar untuk menyiapkan hadiah. Jangan pulang dengan tangan kosong," ucapnya seraya berdiri dari kursi.
"Eh, tidak perlu, Juragan! Tidak perlu membawa apa-apa. Tidak penting!" tolak Wulan berbisik di akhir kalimat.
"Tidak apa-apa. Saya hanya tidak ingin menambah rumor buruk tentang saya di luar sana."
Deg!
Wulan tersentak mendengar jawaban sang juragan. Ia melongok, menatap punggung lebar juragan yang menjauh dan menghilang di balik pintu kamarnya.
"Kenapa juragan selalu mengatakan rumor buruk. Mmm ... apa dia tahu rumor tentangnya di luar sana?" Wulan menghendikan bahu, beranjak dan bersiap untuk kembali ke rumah menyelesaikan urusan.
****
Di rumah Asep.
"Beruntung si Wulan itu lupa tidak meminta akta tanah ibunya. Biarkan saja, selama dia tidak meminta kepada kita maka tanah itu masih milik kita," ujar Asep diiringi tawa Patma dan Sari.
Perhiasan mahal menempel di tubuh mereka. Cincin, gelang, dan kalung, terlihat baru dan menyilaukan. Banyak tetangga yang memuji lantaran kehidupan mereka berubah setelah Wulan menikah.
"Kamu betul, Kang. Mungkin si Wulan sudah tidak peduli dengan semua ini. Bagaimana mungkin dia bisa memintanya, sedangkan untuk keluar saja dari istana itu sangat susah sekali. Siapa yang tidak tahu kalau juragan Nata sangat mengekang istri-istrinya," sahut Patma sembari memamerkan cincin permata yang sangat indah.
"Si Wulan sialan itu memang kikirnya minta ampun. Beruntung kita diam-diam mencuri beberapa perhiasannya. Kali ini tindakan Ibu benar," ucap Sari mengelus-elus gelang di tangannya.
"Ya, kalau kita ambil juga sangat wajar. Dia masih keluarga di sini. Anak kandung saya meksipun saya enggan mengakuinya." Asep mencibirkan bibir, merasa jijik memiliki anak seperti Wulan.
"Hah ... sekarang dia sedang apa, ya? Apa sedang menikmati siksaan dari juragan? Besok-besok saya harus datang menjenguknya." Sari tertawa membayangkan kondisi Wulan yang tak berdaya di dalam sangkar juragan.
"Kamu benar, Sari. Kita sama-sama harus menjenguk Wulan." Patma ikut tersenyum, menyetujui ide sang anak untuk datang ke istana Nagari menjenguk Wulan.
Mereka tengah berbahagia, menikmati hadiah-hadiah milik Wulan dari juragan. Emas, uang, dan barang yang lainnya yang mereka anggap berharga.
"Saya akan pergi ke pasar besok untuk menjual semua ini. Bisa dijadikan uang," ucap Patma melirik anaknya.
"Terserah kamu saja. Ini semua sudah menjadi milik kita," sahut Asep mendukung perbuatan keji istrinya.
Mereka tertawa, tak perlu lagi memikirkan Wulan untuk sepanjang hidup yang akan mereka jalani. Tak ada lagi tanggung jawab sebagai seorang ayah karena Wulan telah menikah dan menjadi tanggungan suaminya. Hidup mereka akan aman sejahtera, damai sentosa.
****
Sementara di perjalanan, Wulan melirik sekotak hadiah dari juragan dengan tatapan tak rela.
"Bi, hadiah dari juragan banyak sekali. Rasanya saya tidak rela memberikannya kepada mereka," celetuk Wulan setelah melihat satu kotak hadiah cukup besar dari juragan untuk keluarga bapaknya.
"Neng Wulan tenang saja. Juragan berpesan kalau Neng Wulan tidak rela, maka harus punya alasan untuk membawa kembali hadiah ini. Setelah itu menjadi hak Neng Wulan sendiri. Terserah mau dikemanakan," jawab Bi Sumi membuat kedua mata Wulan berbinar terang.
Dia harus berpikir untuk membawa kembali semua hadiah itu. Asep dan keluarganya tidak pantas mendapatkan penghargaan sebanyak itu.
"Oya, Bi. Bukannya nyai Lastri dan nyai Ningsih itu istri juragan? Tapi kenapa juragan tega menghukum mereka? Dan ... dan bilang kalau saya istrinya. Saya bingung, Bi. Itu seolah-olah cuma saya seorang istrinya juragan," tanya Wulan teringat kejadian pagi tadi.
"Tidak usah dipikirkan. Perlahan nanti Neng Wulan juga tahu," jawab Bi Sumi misterius.
Wulan mengangkat alis tak puas, tapi ia tidak bertanya lagi. Diam dan menyusun rencana apa yang sebaiknya dijalankan untuk berhadapan dengan Asep dan keluarganya.
Siang hari, sado yang dinaiki Wulan berhenti di depan halaman luas sebuah rumah panggung yang terbilang mewah. Bi Sumi turun terlebih dahulu, kemudian membantu Wulan untuk turun.
"Bu, si Wulan!" Sari nyaris berteriak.
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa