NovelToon NovelToon
Wilona Gadis Desa Yang Jenius

Wilona Gadis Desa Yang Jenius

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Call Me Nunna_Re

Wilona Anastasia adalah seorang gadis yang dibesarkan di desa. namun Wilona memiliki otak yang sangat jenius. ia memenangkan beberapa olimpiade dan mendapatkan medali emas sedari SMP. dia berniat untuk menjadi seorang dokter yang sukses agar bisa memberikan pengobatan secara gratis di desa tempat ia tinggal. Lastri adalah orang tua Wilona lebih tepatnya adalah orang tua angkat karena Lastri mengadopsi Wilona setelah Putri satu-satunya meninggal karena sakit. namun suatu hari ada satu keluarga yang mengatakan jika mereka sudah dari kecil kehilangan keponakan mereka, yang mana kakak Wijaya tinggal cukup lama di desa itu hingga meninggal. dan ternyata yang mereka cari adalah Wilona..
Wilona pun dibawa ke kota namun ternyata Wilona hanya dimanfaatkan agar keluarga tersebut dapat menguasai harta peninggalan sang kakek Wilona yang diwariskan hanya kepada Wilona...
mampukah Wilona menemukan kebahagiaan dan mampukah ia mempertahankan kekayaan sang kakek dari keluarga kandungnya sendiri...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Call Me Nunna_Re, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kehilangan Orang Tersayang

Hari itu, matahari bersinar cerah di atas langit Desa Suka Maju. Angin bertiup lembut, membawa aroma sawah dan suara jangkrik dari kejauhan. Bagi Wilona, siang itu seharusnya berjalan seperti biasa — pelajaran Fisika, kemudian latihan untuk lomba debat, dan mungkin sore nanti ia akan membantu Bu Lastri menyiapkan bahan jahitan.

Namun takdir, seperti biasa, punya rencana yang berbeda.

Kelas XII IPA 1 sedang tenang. Suara Pak Agung, guru fisika, terdengar jelas menjelaskan tentang teori relativitas. Di papan tulis, deretan rumus memenuhi ruang kosong, dan Wilona menulis catatan dengan rapi di bukunya.

Sampai tiba-tiba, pintu kelas terbuka keras.

Semua kepala menoleh. Di ambang pintu berdiri Bu Ayu, guru Bahasa Indonesia yang terkenal lembut dan sabar. Tapi kali ini wajahnya pucat pasi, napasnya tersengal-sengal seolah baru berlari jauh.

“Bu Ayu?” tanya Pak Agung heran. “Ada apa, Bu?”

Namun wanita itu tak langsung menjawab. Tatapannya beralih pada Wilona, mata yang bergetar dan penuh duka. Suasana kelas mendadak hening. Hanya suara kipas tua di langit-langit yang masih berputar.

Dengan langkah perlahan, Bu Ayu mendekat ke arah Wilona.

Tangan lembutnya terulur, menyentuh rambut Wilona yang terurai di bahu.

“Kamu yang sabar, ya, Nak…” ucapnya pelan, suara itu nyaris bergetar.

Wilona menatap balik dengan bingung. “Maksudnya, Bu?”

Pak Agung ikut mendekat. “Ada apa, Bu Ayu?”

Bu Ayu menarik napas panjang. “Saya… saya baru dapat kabar dari ketua RT. Ibumu, Bu Lastri… pagi ini beliau mengalami kecelakaan sepulang dari pasar.”

Wilona menegakkan tubuhnya. “Kecelakaan?” suaranya bergetar.

Bu Ayu menatap mata muridnya dengan iba. “Beliau… tidak tertolong, Nak. Meninggal di tempat.”

Suara itu seperti petir di siang bolong. Dunia Wilona seketika membeku.

Buku di tangannya jatuh ke lantai. Semua yang ada di kelas seolah menghilang. Suara teman-temannya, suara jam dinding, bahkan suara napasnya sendiri terasa jauh dan asing.

“Tidak…” gumamnya pelan. “Tidak mungkin…”

Tubuhnya bergetar hebat. Ia mencoba berdiri, tapi lututnya lemas. Pak Agung spontan menopangnya.

“Wilona, tenang dulu. Kamu—”

Namun Wilona mendorong tangan gurunya dan berlari keluar kelas tanpa berkata apa-apa. Suara langkahnya menggema di lorong sekolah yang sepi, diiringi suara panggilan teman-temannya yang tak sanggup mengejarnya.

Jalan tanah menuju rumahnya terasa jauh lebih panjang dari biasanya. Napas Wilona terengah, air matanya menetes tanpa henti. Dalam hatinya ia terus berdoa agar berita itu salah. Bahwa Bu Ayu hanya keliru. Bahwa Bu Lastri hanya pingsan, atau terluka ringan, atau apa pun — asal bukan mati.

Namun ketika ia sampai di ujung gang rumahnya, bendera kuning yang terpasang di depan pagar kecil itu menghantamnya seperti badai.

Langkahnya terhenti. Napasnya tercekat.

Beberapa tetangga berdiri di halaman, sebagian duduk bersila, sebagian lagi berbisik-bisik. Di tengah ruang tamu, tampak tubuh Bu Lastri terbujur kaku, diselimuti kain putih.

Wilona menatap pemandangan itu tak percaya. Ia berjalan perlahan, kakinya seperti tak berpijak. “Ibu…” suaranya bergetar.

Beberapa orang mencoba menahannya, tapi ia menerobos masuk.

“Ibu…!” teriaknya lagi, kali ini lebih keras. Ia bersimpuh di samping jenazah itu, menggenggam tangan dingin sang ibu. “Bu, bangun, Bu… ini Wilona, Bu… Ibu jangan tidur…”

Tangisnya pecah. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia menatap wajah Bu Lastri yang tampak tenang, seperti sedang tidur nyenyak. Tapi keheningan itu menakutkan terlalu sunyi untuk kehidupan.

“Ibu janji nggak akan ninggalin Wilona…” isaknya. “Ibu janji kita bakal bareng terus, Bu…”

Seorang tetangga tua, Bu Murni, mendekat dan memeluknya pelan. “Nak, ikhlaskan ya… Ibumu sudah tenang di sana. Ini semua sudah kehendak Tuhan.”

Tapi kata-kata itu tidak masuk ke telinga Wilona. Ia terus memanggil ibunya berkali-kali, suaranya parau. “Ibu, aku belum sempat bilang terima kasih… Aku belum sempat balikin semua kebaikan Ibu…”

Pak RT mendekat, matanya berkaca-kaca. “Nak, Bu Lastri orang baik. Tuhan sayang sama dia. Kamu harus kuat.”

Wilona hanya bisa menggeleng. Dunia seolah runtuh di depan matanya.

Petang menjelang. Hujan turun pelan, membasahi halaman rumah kecil itu. Suara tahlil bergema lirih dari ruang tamu. Para tetangga duduk bersila, membaca doa dengan khusyuk.

Di pojok ruangan, Wilona masih duduk diam, memandangi tubuh ibunya yang kini sudah dibungkus kain kafan. Ia sudah kehabisan air mata, tapi matanya tetap merah dan sembab.

Setiap kali seseorang menutup wajah Bu Lastri dengan kain putih itu, Wilona ingin berteriak. Tapi yang keluar hanya desahan lemah.

Saat petugas masjid datang menjemput jenazah untuk dimakamkan, Wilona memegang erat tangan Bu Lastri satu kali lagi.

“Aku janji, Bu… aku bakal terus hidup kayak yang Ibu mau. Aku bakal kuat, Bu… Aku akan wujudkan cita-cita kita yaitu membangun rumah sakit di desa ini dan kita akan gratiskan untuk masyarakat sini.”

Dan saat kain kafan itu benar-benar menutupi seluruh wajah sang ibu, Wilona tahu, bagian dari dirinya ikut terkubur bersamanya.

Pemakaman dilakukan sore itu juga. Langit mendung berat, seakan ikut berduka.

Wilona berjalan di belakang rombongan, tanpa suara. Bajunya basah oleh gerimis, rambutnya menempel di pipi. Tapi ia tak peduli.

Setelah doa terakhir dibacakan dan tanah terakhir ditimbun, semua orang satu per satu meninggalkan makam. Hanya Wilona yang masih duduk di situ, diam dan terpaku.

“Bu…” bisiknya lirih. “Aku sendirian sekarang…”

Angin berhembus pelan. Di antara suara dedaunan, seolah ada bisikan lembut, entah dari imajinasinya atau dari hati yang terlalu rindu.

“Kamu nggak sendiri, Nak. Ibu selalu di sini…”

Wilona menatap langit kelabu, lalu tersenyum getir. “Iya, Bu. Aku tahu.”

Ia duduk cukup lama, sampai matahari tenggelam dan kabut mulai turun.

Malam hari. Rumah kecil itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Tak ada suara mesin jahit yang biasanya berdengung, tak ada tawa Bu Lastri yang memanggilnya makan malam.

Wilona duduk di pojok kamar, memeluk bantal. Di meja, masih tergeletak kain setengah jadi yang belum sempat dijahit Bu Lastri. Di sampingnya, ada foto mereka berdua di depan rumah, foto yang kini tampak terlalu menyakitkan untuk dilihat.

“Bu, aku takut…” bisiknya.

Tangannya menyentuh liontin kupu-kupu di lehernya. “Kalau aja aku bisa ketemu Ibu satu kali lagi, aku cuma mau bilang… makasih. Dan maaf kalau aku belum bisa bikin Ibu bahagia.”

Air matanya menetes pelan. Ia memejamkan mata, berharap bisa tidur dan bermimpi bertemu Bu Lastri. Tapi malam itu terlalu panjang untuk dilalui sendirian.

...****************...

Keesokan paginya, Wilona bangun dengan kepala berat. Ia berjalan ke dapur, melihat meja makan masih sama seperti semalam, dua piring, dua sendok, dan satu cangkir teh yang belum disentuh.

Ia menarik napas panjang dan memaksa diri untuk kuat.

“Mulai hari ini, aku harus jalan sendiri,” gumamnya. “Ibu pasti nggak mau lihat aku lemah.”

Namun bahkan untuk mengucapkan kalimat itu, suaranya bergetar.

Wilona memutuskan untuk pergi ke sekolah hanya untuk menyerahkan surat izin. Tapi begitu melangkah ke halaman, ia melihat beberapa orang berdiri di depan pagar. Dua pria berjas hitam, dengan mobil mewah di belakang mereka.

Salah satunya tersenyum tipis. “Permisi, apakah benar ini rumah almarhumah Bu Lastri?”

Wilona menatap mereka heran. “Iya, benar. Tapi kalian siapa?”

Pria itu menunduk sopan. “Kami datang mewakili salah satu yayasan sosial yang dulu pernah bekerja sama dengan almarhumah. Kami dengar kabar duka itu, dan kami ingin menyampaikan belasungkawa.”

Wilona mengangguk pelan. “Terima kasih, Pak.”

Salah satu pria memperhatikan wajah Wilona dengan seksama. Dari dalam jasnya, ia mengeluarkan map kecil. “Kalau tidak keberatan, bolehkah kami tahu… apakah Anda yang bernama Wilona Anastasia?”

Wilona sedikit bingung. “Iya, saya.”

Pria itu bertukar pandang dengan rekannya. Senyum halus muncul di bibirnya. “Baik. Terima kasih, Nona Wilona. Kami… akan segera menghubungi Anda kembali. Ada beberapa hal penting yang perlu disampaikan.”

Wilona makin heran. “Hal penting?”

“Ya,” jawabnya sambil menutup map.

“Tentang masa depan Anda.”

Tanpa menjelaskan lebih jauh, keduanya berpamitan dan masuk ke mobil hitam itu. Wilona hanya berdiri di depan rumah, menatap kepergian mereka dengan perasaan campur aduk.

“Yayasan sosial…?” gumamnya pelan. “Tapi Ibu nggak pernah cerita soal itu…”

Ia menghela napas dan kembali masuk ke rumah, tanpa tahu bahwa dua orang pria tadi bukan utusan yayasan mana pun. Mereka adalah orang suruhan Shinta Kusuma, yang kini sudah mendapatkan alamat lengkapnya.

Di rumah besar keluarga Kusuma, Shinta menatap foto Wilona yang baru dikirim lewat ponsel.

“Cantik juga anak itu,” komentarnya dengan nada datar. “Mirip dengan Lestari.”

Wijaya berdiri di sampingnya, membaca laporan. “Kecelakaan Bu Lastri datang di waktu yang… cukup ‘tepat.’”

Shinta menatap suaminya tajam. “Kamu berpikir aku yang melakukannya?”

Wijaya hanya tersenyum samar. “Aku tidak menuduh apa pun. Aku hanya bilang, dunia ini penuh kebetulan yang menguntungkan.”

Shinta mengangkat alis, lalu tertawa kecil. “Yang jelas, sekarang gadis itu sendirian. Ini waktu terbaik untuk mendekatinya.”

“Dan dengan cara apa?”

Shinta menatap foto Wilona lagi. “Kita datang sebagai penyelamat. Kita akui bahwa kita adalah keluarga dari pihak ibu kandung nya. Aku akan pastikan dia percaya padaku…

sebelum dia tahu siapa dirinya sebenarnya.”

Wijaya menatap istrinya lama. “Kau selalu tahu bagaimana memainkan peranmu, Shinta.”

Shinta tersenyum dingin. “Dan kali ini, aku akan memainkannya dengan sempurna.”

Sementara itu, di Desa Suka Maju, Wilona berdiri di depan makam Bu Lastri lagi. Angin sore berhembus pelan, membawa aroma tanah yang masih basah.

Ia berjongkok, menyentuh batu nisan sederhana itu dengan jari gemetaran. “Bu, aku nggak tahu kenapa semua ini terjadi secepat ini… Tapi aku janji, aku akan terus berjuang seperti yang Ibu mau.”

Di matanya masih ada air mata, tapi kali ini ia tidak menangis. Ada keteguhan baru yang lahir dari kehilangan itu — meski di hatinya masih penuh luka.

Langit mulai berwarna jingga. Burung-burung kembali ke sarang. Wilona menatap langit dan berbisik, “Aku tahu Ibu selalu lihat aku dari sana.”

Dan di kejauhan, suara mobil hitam mendekat perlahan, menandai awal dari babak baru dalam hidupnya — babak di mana kebaikan dan ketulusan akan diuji oleh ambisi dan tipu daya.

1
Evi Lusiana
jd tania itu wilona y thor?
Yurin y Meme
Membuat saya terharu
Call Me Nunna_Re: makasi kk sudh mampielr🙏 semoga suka
total 1 replies
Call Me Nunna_Re
makasi kk sudh mampir🙏
Tachibana Daisuke
Asiknya baca cerita ini bisa buat aku lupa waktu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!