Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Deva yang baru berumur empat tahun dan juga kedua kakaknya yang baru berumur lima tahun berlari dengan langkah tergesa ke arah mobil yang baru saja masuk ke halaman rumah besar terebut.
Mereka bertiga mengenakan pakaian tidur bergambar beruang, raut wajah ketiga anak itu sangat gembira saat melihat sosok pria berpakaian formal yang baru saja turun dari mobil hitam itu.
"Daddy!" teriak ketiga bersamaan.
Gallen dan Gio langsung memeluk kaki Dion dengan erat. Dion berjongkok lalu memeluk kedua putra kesayangannya. Cukup lama mereka berpelukan hingga akhirnya Dion melepaskan pelukan itu.
"Daddy, kita angen." Ucap Gio parau.
Dion tersenyum lalu mengecup pipi gembul Gallen dan Gio secara bergantian. Kemudian Dion meraih kedua anak itu ke dalam gendongannya.
Gallen tersenyum dan memejamkan mata di ceruk leher ayahnya. "Kangen..."
"Daddy juga kangen sama kalian," ucap Dion mengusap lembut punggung kedua putranya penuh sayang.
Deva yang sedari tadi hanya menatap kakaknya dan ayahnya saling melepas kangen kini ia juga merentangkan kedua tangannya, isyarat bahwa ia juga ingin digendong seperti Gallen dan Gio.
''Acu uga mau di endong, Daddy." Kata Deva kecil.
"Kamu punya kaki. Jalan sendiri." Setelah mengatakan hal itu, Dion melanjutkan langkahnya melewati Deva begitu saja.
Sesekali Dion terlihat bercanda dengan kedua anak lelakinya, tanpa menoleh sedikitpun ke belakang di mana Deva masih berdiri.
Senyum tipis di bibir Deva perlahan menghilang bersamaan dengan kedua tangannya yang ia tarik. Ia menatap nanar punggung ayahnya yang semakin menjauh di telan jarak.
Anak perempuan itu menunduk dalam dengan mata memerah menahan tangis.
"Sakit... Kenapa Daddy nggak sayang sama aku?" bisiknya parau.
***
"Sakit... Daddy..."
Deva terbangun dari tidurnya, ia memegang wajahnya yang berlinang air mata. Napasnya terengah, ia menegakan tubuhnya dan bersandar pada sandaran ranjang.
"Haha, jadi ini ingatan Deva yang sebenarnya?" katanya parau.
Deva memejamkan mata ketika kilasan masa lalu yang begitu menyakitinya kembali tergambar jelas di pikirannya. Masa lalunya terlalu buruk. Ternyata sejak kecil, deva jarang mendapatkan kasih sayang dari ayahnya.
"Kenapa ingatan ini baru muncul sekarang?" Deva menyeka sisa air matanya yang masih menetes di pipi dengan kasar. "Jadi selama ini Daddy cuma pura-pura sayang sama gue?"
Deva sulit mencerna ingatan yang baru saja muncul begitu saja, ia perlu bukti kuat untuk mengambil kesimpulan bahwa ayahnya memang tidak suka akan keberadaannya atau tidak.
"Gue harus cari tahu apa semua itu benar, atau hanya sekedar mimpi semata."
Ia turun dari ranjang, berniat untuk ke kamar ayahnya mumpung ayahnya sedang tidak ada di rumah.
Saat ia membuka pintu, dari lantai bawah terdengar suara Gallen dan Gio yang sedang berbicara. Deva melirik jam dinding di kamarnya yang sudah menunjukan pukul satu dini hari.
"Malem begini mereka masih ngobrol?" ujarnya heran.
Deva tadinya tidak berniat untuk menguping pembicaraan mereka, tapi perbincangan kedua kakaknya itu terdengar sangat jelas hingga menyeret namanya.
"Daddy kapan sih selesai pura-puranya?" Gio bersuara. "Gue cape, Daddy kayak belain si bodoh itu. Masa kemarin gue di tampar cuma gara-gara maki-maki Deva."
"Lagian, lo juga salah. Udah Daddy bilang jangan cari masalah dulu sampai semua urusannya selesai." Suara Gallen terdengar santai.
Gio mendengus, "Mana bisa gue tenang. Gue bosen tahu, Kak. Masa Daddy kayak baik gitu sama Deva, gue nggak suka lihatnya."
Deva menahan napas di balik dinding koridor. Jantungnya berdentum cepat, seolah siap melompat keluar dari dadanya. Kata-kata Gio dan Gallen barusan menusuk telinga dan hatinya sekaligus.
"Jadi Daddy memang pura-pura?" bisiknya parau, tubuhnya sedikit bergetar.
Ia semakin mencondongkan tubuhnya, telinga kecilnya menangkap jelas kelanjutan percakapan kedua kakaknya.
"Deva tuh cuma beban, Gio," ucap Gallen dengan nada dingin. "Makanya Daddy suruh kita tahan dulu. Kalau udah waktunya, dia pasti buang Deva jauh-jauh. Sekarang Daddy cuma main peran doang biar nggak ada yang curiga."
Mata Deva membelalak. Nafasnya tercekat, tangannya gemetar memegangi dada.
"Buang… gue, kok bisa?" suaranya nyaris tak terdengar.
Gio langsung menimpali dengan nada kesal. "Ya tapi sampai kapan? Gue jijik banget lihat Daddy pura-pura peluk dia, pura-pura belain dia. Padahal jelas-jelas, Deva bukan siapa-siapa di rumah ini."
Tawa kecil Gallen terdengar samar. "Sabar. Daddy punya rencana sendiri. Kita tinggal tunggu. Yang jelas, kita tetap anak kesayangannya, bukan dia."
Deva mundur satu langkah dengan kaki yang terasa lemas. Air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan lagi. Semua yang selama ini hanya menjadi prasangka, kini terbukti. Bukan hanya ayahnya, bahkan kedua kakaknya pun membencinya.
"Gue… bukan siapa-siapa? Jadi benar mimpi tadi emang ingatan milik gue." Deva berbisik lirih, suaranya pecah seiring tubuh mungilnya yang bergetar menahan tangis.
Ia berbalik, berlari kecil menuju kamarnya, menutup pintu perlahan agar tidak ketahuan. Begitu punggungnya bersandar di pintu, tangisnya pecah tanpa bisa dihentikan.
"Gue bener-bener nggak salah ingat… Daddy emang nggak sayang sama gue…"
Deva menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, tubuhnya terguncang hebat. Luka lama yang baru terbuka semakin lebar, kini diperkuat oleh bukti nyata dari mulut kakaknya sendiri.
"Kenapa gue nggak sadar? Padahal gue pikir kehidupan kali ini gue bakal punya orang tua yang baik dan sayang sama gue."
Isakan terdengar dari bibir Deva, hatinya seperti di remas dengan kuat. Ia tidak tahu mengapa fakta itu lebih menyakitkan baginya, Deva pikir semua akan baik-baik saja tapi faktanya semua yang tertulis dalam novel tidak ada yang membuatnya berada dalam posisi aman.
Deva terisak semakin keras, bahunya naik-turun tak terkendali. Ia berusaha menahan suaranya, takut jika tangisnya terdengar sampai keluar kamar. Namun justru keheningan malam membuat isakan kecilnya terdengar jelas di telinganya sendiri.
Di dalam kepalanya, potongan-potongan ingatan samar kembali berputar. Wajah ayahnya yang dulu dingin, tatapan tajam yang penuh ketidakpedulian, lalu senyum palsu yang ia dapatkan di kehidupan kali ini. Semuanya kini menyatu, menyiksa pikirannya yang masih begitu belia.
"Kalau gitu… dari awal semua cuma kebohongan?" gumamnya di sela tangis.
Tawa hambar muncul, harapannya yang setinggi langit langsung jatuh tak terbentuk setelah ingatan itu muncul. Rupanya ada sisi yang paling rapuh yang tidak ia sadari sejak masuk ke dalam raga Deva Claudia.
Detik berikutnya, Deva merasakan sakit di bagian dadanya. Seperti ada benda tajam yang menusuk jantungnya.
"Shhh..." Deva memejamkan mata berharap rasa sakitnya segera hilang, namun itu tidak berguna.
"Sakit..." Deva merasakan kepalanya berat dan darah menetes dari hidungnya. Ia melihat cairan merah itu jatuh di atas baju tidurnya.
Ia tersenyum kecut. "Apa gue emang nggak pantas buat bahagia?"