Sebuah perjodohan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepanikan Handrian.
Sesampainya dimobil, Handrian langsung memasukkan tubuh Rosalina yang sudah lemah, kekursi penumpang dibagian belakang.
Sedangkan Bu Norma sudah lebih dulu masuk, dan sekarang ia terlihat memangku kepala Rosalina, yang terus meringis akibat merasakan sakit yang luar biasa dikeningnya yang robek.
Dan tidak lama kemudian, mobil hitam yang dikemudikan oleh Handrian itu, melaju kencang menembus jalanan kompleks yang mulai ramai.
"Ya ampun… Rosalina, bertahanlah... Jangan sampai kamu itu tidak sanggup bertahan. Lagian nyusahin banget sih, pakek jatuh-jatuh segala seperti ini. Kalau begini kan, Ibu juga yang jadi repot." ucap Bu Norma, dengan nada bicaranya yang terdengar ketus.
Perempuan paruh baya itu berbicara seraya menahan emosi pada menantunya itu. Tapi, meskipun hal tersebut terus ia lakukan, namun tangannya tetap cekatan saat menekan sapu tangan yang ada pada kening Rosalina.
Ia berusaha untuk menghentikan pendarahan. Tapi ternyata, darah yang keluar dari kening Rosalina itu semakin banyak, dan terus merembes, bahkan kini sudah membasahi baju Bu Norma sendiri.
Meskipun hati dan perasaannya merasakan panik yang luar biasa, tapi entah kenapa, mulutnya tetap berdecak kesal. Apalagi saat mengingat Rosalina tadi sempat melawannya.
Sementara itu dikursi depan, Handrian mengemudi dengan tangannya yang gemetar. Matanya terlihat gelisah, dan dadanya juga terasa sesak. Sesekali ia melirik kearah kaca spion, dan melihat kondisi istrinya yang terkulai lemah dipangkuan sang Ibu.
"Handrian! Cepat sedikit kamu bawa mobilnya! Jangan pelan-pelan begitu! Lina bisa mati kalau kamu menyetir seperti keong." hardik Bu Norma dari belakang.
Sedangkan Handrian berusaha fokus menatap kearah jalanan.
"I-ni aku nyetirnya sudah ngebut, Bu! Ja-jalanan sangat ramai, jadi mobilnya tidak bisa berlari kencang." sahut Handrian dengan nada suaranya yang terbata-bata.
Selesai dirinya berbicara seperti itu, tiba-tiba saja... mobil yang ia kemudikan tersebut hampir saja menabrak sebuah motor yang sedang melintas. Dan hal itu membuat Handrian langsung menekan klakson, yang menciptakan suara klakson berbunyi begitu panjang.
"Tiiin... Tiiiiinn..."
Sedangkan pengendara motor yang hampir ditabrak oleh Handrian itu hanya bisa berteriak marah, sambil menatap kearah mobilnya.
"Hei bego!! Kalau menyetir itu hati-hati!!!" ucap orang tersebut.
Namun Handrian terlihat tidak memperdulikannya sama sekali.
Sedangkan Bu Norma yang menyaksikan kejadian itu merasa semakin kesal terhadap putranya. Sehingga dia langsung menegur Handrian dengan sebuah omelan.
“Ya ampun, Handrian! Kalau kamu mau menolong istrimu, tapi hampir menabrak orang lain seperti itu, sama saja kamu itu ingin membawa mayat orang lain ikut bersama kita kerumah sakit? Dan apabila kamu mengemudi dengan cara yang tidak hati-hati, maka bukan nyawa Rosalina yang tertolong, tapi kita bertiga juga akan masuk keliang kubur!" Bu Norma berbicara dengan nada suara yang melengking, membuat Handrian menjadi semakin panik.
"Bu, aku… aku sedang panik, aku..."
"Dasar! Panik kamu bilang? Kalau memang kamu panik, kenapa masih berani menyetir, tadi? Kenapa kamu tidak menelfon ambulans saja? kalau sudah seperti ini, yang ada kamu itu hanya akan membuat orang lain celaka! Awas saja ya Handrian, kalau sampai terjadi apa-apa dalam perjalanan kita ini? Maka Ibu bersumpah akan memukulmu didepan orang banyak!"
Handrian hanya menelan ludah, dengan keringat dingin yang mengucur dipelipisnya. Sementara kakinya terus menekan pedal gas.
Namun saat itu, fikirannya malah menjadi semakin kalut akibat suara Ibunya yang tidak henti-hentinya mengomel.
Sedangkan Rosalina yang sedang tidak berdaya, akibat darah yang terus mengalir dari luka yang ia alami, hanya bisa mengerang lirih.
"Mas..."
Mendengar suara istrinya itu memanggil namanya, Handrian langsung menoleh.
"Lina! Ya Allah, Lina! Bertahanlah, Sayang!"
Tapi saat itu juga, suara Bu Norma lagi-lagi menyalak kearah Handrian.
"Fokus saja kejalan, Handrian! Jangan lihat-lihat kebelakang! Apa kamu kira ini drama sinetron?! Kalau kamu lengah sedikit saja, maka kita semua bisa celaka!"
Hingga akhirnya, mobil yang dibawa oleh Handrian pun berhenti didepan rumah sakit. Handrian langsung keluar dengan langkah yang terburu-buru saat membuka pintu belakang, untuk mengangkat tubuh Rosalina. Kemudian, ia pun berteriak keras.
“Dokter! Tolong! Istriku berdarah! Tolong selamatkan dia!!!"
Dua orang perawat yang melihatnya langsung membawa ranjang darurat, dan kemudian menidurkan Rosalina diatasnya.
Beberapa saat kemudian, perawat itu mendorong tubuh Rosalina kedalam ruang IGD.
Saat Handrian hendak masuk, tiba-tiba saja seorang perawat langsung menahan tubuhnya yang kekar.
"Pak, tolong tunggu di luar!"
"Tapi Sus, dia itu istriku, jadi aku… aku harus ikut..." ucap Handrian dengan mimik wajah yang terlihat memohon.
Tapi perawat itu langsung menggeleng kearahnya.
"Tidak Pak! Tolong jangan mengganggu! Anda bisa menunggu di luar saja, dan percayakan pasien pada kami!"
Handrian hanya bisa terpaku saat mendengar perkataan dari perawat itu. Lalu ia pun berjalan gontai kearah ruang tunggu.
Di sana, Bu Norma sudah duduk dengan wajah tegang. Dan terlihat ditangannya, jika ia masih memegangi sapu tangan bekas darah Rosalina.
Saat Handrian berjalan kearahnya, ia pun menatap putranya itu dengan sorot mata tajam, yang penuh dengan amarah.
Apalagi saat Handrian berjalan mondar-mandir tidak karuan dihadapannya, dalam keadaan meremas rambutnya berkali-kali.
"Ya Allah, jangan biarkan Lina pergi… aku tidak bisa hidup tanpa dia…" gumam Handrian, yang saat itu terlihat seperti orang linglung.
Suaranya itu membuat Bu Norma semakin meledak dan tidak sanggup menahan amarah. Sehingga ia pun kembali berkata pada Handrian...
"Duduk, Handrian! Jangan mondar-mandir seperti setan kesurupan seperti itu! Apa kamu tidak melihat, jika orang-orang yang ada disini sedang menatap kita semua karena ulahmu itu?"
"Bu… aku takut… aku…"
"Takut? Huh! Baru sekarang kamu bilang takut?! Tadi saat Ibu mau masuk kedalam kamarmu, kamu malah membentak Ibu. Sekarang kamu tahu sendiri kan akibatnya? Makanya, lain kali kamu jangan berani-berani mengeraskan suaramu terhadap Ibu, itu namanya kualat Handrian! Sekarang kamu fikir saja sendiri, bagaimana kalau terjadi sesuatu pada istrimu itu? Bisa-bisa kamu berurusan sama polisi!"
Handrian hanya bisa mengusap wajahnya, dengan air mata yang mulai menetes.
"Bu, aku minta maaf kalau aku sudah menyakiti ibu dengan caraku membentak tadi! Aku melakukan semua itu, karena aku sama sekali tidak mau kehilangan Rosalina! Sedangkan Ibu, Ibu terus memaksa aku untuk menceraikannya, jadi wajar saja kalau aku marah, dan berteriak sama Ibu."
Bu Norma langsung menyilangkan tangannya saat mendengar perkataan Handrian.
"Ya sudah! Kalau begitu kamu nikmati saja hasil kerja kerasmu, karena kamu terlalu ingin mempertahankan istrimu itu! Padahal, kalau saja kamu mau mendengar perkataan Ibu dengan langsung menceraikannya, dan juga membiarkan Rosalina pergi, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Dan kamu juga tidak perlu bersikap seperti orang dungu begini, Handrian. Berjalan mondar-mandir kesana kemari, yang ada kamu itu juga terlihat seperti gasing gila."
Handrian hanya terdiam dengan wajah yang semakin pucat pasi, akibat perkataan Ibunya itu.
Kini suasana diruang tunggu pun terasa hening. Dan hanya suara detik jam yang ada dipergelangan tangan Handrian yang terdengar.
Lalu disaat-saat seperti itu, tiba-tiba saja ponsel Handrian berdering keras dari dalam saku celananya. sehingga ia langsung merogoh saku celana, seraya mengeluarkan ponselnya yang sedang menyala, karena panggilan dari seseorang.
Handrian langsung menoleh kearah Bu Nurma yang sedang duduk disampingnya, dan ternyata... perempuan paruh baya itu juga sedang menatap kearahnya, dengan wajah yang penuh rasa penasaran.
Bersambung...