Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
Santi langsung memeluk diriku yang baru saja datang. Saat ini suasana rumah sakit cukup ramai dan aku melihat Santi yang tengah duduk sendirian. Mungkin karena pengurus panti yang lain menjaga anak-anak asuh di panti.
Bukan kalimat yang aku dapat, melainkan tangis yang pecah. Santi benar-benar memelukku dengan erat. Aku menepuk punggungnya perlahan agar Santi lebih tenang.
Tidak lama seorang Dokter keluar dari ruang ICU. Santi buru-buru melepaskan pelukannya padaku dan mendekat pada Dokter itu. Dokter Wisnu, name tag yang berada di dada Dokter itu yang membuat aku tahu namanya.
"Bagaimana keadaan ibu saya Dok?" tanya Santi.
"Masih kritis. Kami akan mencoba sebaik mungkin."
Jawaban Dokter membuat Santi luruh. Dia terduduk lemas, aku mencoba membantunya untuk duduk di kursi. Santi benar-benar terlihat sangat berbeda, dia terlihat tidak terawat dengan derai tangis yang tiada henti.
Aku memeluk Santi, mencoba menguatkan wanita itu. Mau memberikan saran atau nasehat, ini bukanlah saat yang tepat. Apa lagi aku belum tahu keadaan Bu Lia seperti apa di dalam sana.
"Minumlah."
Santi menerima air mineral yang aku berikan. Meminumnya beberapa teguk. Kali ini tangisnya sudah sedikit reda.
"Bu Lia kenapa?" aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Semuanya masih sama, Mbak. Ibu baik-baik saja, sampai dia ke kamar mandi dan jatuh."
Kondisi Bu Lia memang sudah sakit. Di tambah terjatuh juga, pasti membuatnya menjadi kritis seperti ini. Aku kembali menatap Santi, dia sudah pernah kehilangan ayahnya. Kini yang dia miliki hanya Bu Lia, pantas jika dia begitu khawatir sampai tidak memperdulikan dirinya sendiri.
"Mbak. Aku bisa minta bantuan?"
Aku menoleh pada Santi.
"Aku tidak tahu harus meminta tolong pada siapa lagi. Saat ini, aku tidak tahu harus membayar pengobatan Ibu bagaimana. Mbak kan tahu, aku hanya mengandalkan jualan kue."
"Kamu tenang saja. Sebisa mungkin aku akan bantu. Bagaimanapun, Bu Lia sudah seperti orang tuaku sendiri."
"Terima kasih ya Mbak. Terima kasih."
"Sama-sama."
Keadaan Bu Lia sudah sedikit stabil. Kini tinggal menunggu pindah ke ruang rawat biasa. Bukan lagi di ICU yang dingin dan sepi. Selesai mengurus perpindahan kamar Bu Lia. Aku memutuskan untuk pulang lebih dulu.
Aku tidka mau sampai Mada mencariku karena aku belum memberi kabar padanya sejak tadi. Aku mengambil ponsel dan mengirimkan pesan pada Mada.
[ Maaf aku pulang terlambat. Aku di rumah sakit sekarang. ]
BRAK!
Terlalu fokus pada ponsel membuat aku menabrak seseorang. Beberapa kertas di tangannya juga berserakan. Aku membantunya mengambil semua itu sembari meminta maaf karena kelalaianku.
"Maaf sekali."
"Kenapa kamu di sini?"
Elvi langsung mengambil semua kertas di tanganku. Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini. Dunia memang sesempit itu bagiku.
Kali ini Elvi terlihat cukup berbeda. Biasanya dia berpenampilan modis dengan beberapa perhiasan yang menghiasi dirinya. Kali ini tidak. Elvi hanya menggunakan celana panjang dipadukan hoodie warna hitam. Bahkan dia menggunakan kaca mata hitam dengan rambut tergerai.
"Kau menguntitku?" tanya Elvi saat dia berhasil menarikku ke sebuah tempat yang cukup sepi.
"Untuk apa aku melakukannya."
"Lalu kenapa kau ke sini? Kau sakit? Sakit apa? Apa penyakit itu menular?"
Semua pertanyaan itu membuat aku kaget. Bagaimana orang datang ke rumah sakit dikira sakit, bahkan penyakit menular. Aku tidak menjawab dan memilih menatap pada Elvi.
"Tunggu. Jangan-jangan Mada yang sakit. Dia sakit apa? Di rawat di mana?"
"Maaf. Semua dugaanmu salah."
"Oh."
Aku tidak menyangka Elvi hanya akan mengatakan 'oh' saja. Aku kira setelah ini dia akan mengatakan hal lain, ternyata tidak. Elvi buru-buru pergi karena ponselnya berdering. Aku juga melanjutkan keluar karena sudah memesan taksi untuk pulang.
Elvi terlihat masuk ke sebuah mobil. Tidak lama mobil itu berjalan dengan cepat. Beberapa orang hampir tertabrak olehnya. Untung saja tidak ada korban karena keteledoran Elvi.
Sementara menunggu taksi online yang aku pesan. Aku memilih menunggu di bawah sebuah pohon yang rindang. Cuaca hari ini benar-benar panas, padahal hari sudah mulai sore.
Aku menikmati waktu sendiri ini. Menenangkan. Hal yang beberapa hari ini sulit aku miliki. Padahal dulu, aku bisa melakukan hal ini kapan pun aku. Pernikahan ini benar-benar merubah diriku.
*.*.*.*
Sebuah kotak paket terlihat di depan pintu apartemen. Aku melihat namaku di sana, tapi tidak dengan nama pengirim paket itu. Aku mencoba mengingat apa aku sudah memesan sesuatu, tapi aku tidak memesan apapun.
Penasaran dengan isinya. Aku memilih membawa masuk kotak itu lebih dulu. Namun, aku tidak langsung membukanya saat itu juga. Aku memilih masuk ke dapur dan menyiapkan makan malam untuk Mada.
Ayam bakar madu dengan tumis sayur menjadi menu pilihan untuk malam ini. Aku memasak apa yang aku mau, masalah rasa aku tidak terlalu memikirkannya. Setidaknya aku sudah mencoba yang terbaik untuk menjadi istri yang baik bagi Mada.
Suara pintu terbuka. Aku buru-buru melihat siapa yang datang. Ternyata Mada, tapi dia tidak sendiri. Ada seorang pria yang ikut datang, pria yang waktu itu membawa Mada saat pulang malam dan mabuk.
"Maaf aku terlambat pulang," kata Mada sembari mencium keningku.
"Tidak apa. Aku juga baru selesai masak."
Mada tersenyum. "Kenalkan, dia Aron. Asisten pribadiku sekaligus tangan kananku."
Aku mengangguk pada Aron. Pria itu membalas juga dengan anggukan, tanpa hal lain seperti sebuah senyuman. Tanpa sadar aku mengingat pertama kali bertemu dengan Mada. Datar, tanpa ekspresi, dan dingin.
"Mau makan dulu atau mandi dulu?" tanyaku.
"Aku akan mandi nanti. Ada hal yang harus aku dan Aron urus setelah makan."
"Baiklah. Kalau begitu aku akan siapkan makan malamnya."
"Terima kasih."
Aku mengangguk dan kembali masuk ke dapur. Selesai mencuci tangan dan melepas jas mereka. Mada dan Aron masuk ke ruang makan, sementara aku naik ke lantai dua untuk mandi. Tidak lupa aku membawa tas juga kotak paket itu.
Lama aku mandi sampai akhirnya aku kembali ke kamar. Aku sudah memakai piyama bersih dan duduk di sofa. Aku ingin melihat isi paket untukku itu.
Baru saja aku buka. Beberapa foto terlihat. Fotoku saat berada di panti asuhan, fotoku saat bersekolah, bahkan fotoku saat masih bekerja di Home Clean.
Aku terus mencari siapa tahu mendapat petunjuk siapa yang mengirimnya. Namun tetap tidak ada, sampai di dasar kotak itu ada sebuah kertas kecil.
'Aku tahu kamu.'
Tulisan tangan yang begitu rapi. Namun aku tetap tidak bisa mengira siapa yang sudah mengirim kotak itu padaku. Lalu, apa tujuannya mengirim semua foto ini. Untuk mengancam? tapi aku tidak merasa terancam untuk saat ini.
Pintu kamar terbuka. Mada masuk dan mendekat padaku. Dia kaget saat melihat semua foto itu.
"Ini apa?"
"Fotoku, tapi aku tidak tahu siapa yang mengirimnya."
Mada melihat semuanya namun dia kembali menatap padaku.
"Malam ini aku mungkin tidak pulang. Kunci pintu dan jendela."
"Mau kemana?"
"Ada urusan."
"Baiklah. Hati-hati."