Susah payah Bellinda Baldwig mengubur cintanya pada mantan suami yang sudah menceraikan enam tahun silam. Di saat ia benar-benar sudah hidup tenang, pria itu justru muncul lagi dalam hidupnya.
Arsen Alka, berusaha mendekati mantan istri lagi saat mengetahui ada seorang anak yang mirip dengannya. Padahal, dahulu dirinya yang menyia-nyiakan wanita itu dan mengakhiri semuanya karena tidak bisa menumbuhkan cinta dalam hatinya.
Haruskah mereka kembali menjalin kisah? Atau justru lebih baik tetap berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NuKha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 24
Entah harus senang atau justru malu pada mantan istrinya. Arsen merasakan dua itu. Haru saat tahu kalau Bellinda tidak menghilangkan identitas asli putra mereka. Tapi juga malu karena selama ini selalu menuduh dan memojokkan wanita itu seolah Bellinda selalu salah di matanya.
Arsen berhenti di depan pintu. Sedikit ada rasa bingung untuk masuk. Bagaimana ia harus memperlakukan Bellinda setelah ini? Kenapa semua seakan terasa membuatnya takut melakukan kesalahan dalam berucap dan keliru saat memperlakukan wanita itu.
Tapi, kalau tetap diam dan tidak menemui, justru terkesan seperti pria keparat yang tidak bertanggung jawab. Enam tahun membiarkan Bellinda hamil, melahirkan, dan membesarkan anaknya seorang diri. Jadi, ia beranikan untuk mendorong pintu.
Arsen langsung mendapatkan tatapan dari mata sayu seorang wanita. Bellinda. Dia belum pernah merasa sesakit ini. Rasanya ada denyut nyeri menyerang hati. Ada guratan lelah ditangkap jelas oleh penglihatannya. Pasti mantan istri kurang tidur selama Colvert sakit.
“Mau jengkuk? Colvert baru saja tidur setelah minum obat, tunggu saja di sini.” Suara Bellinda langsung menyapa dengan begitu ramah.
Bagaimana bisa ada seorang wanita seperti Bellinda? Mantan istri yang sudah dibuang begitu saja, tapi masih memperlakukan dengan baik tanpa dendam sedikit pun. Arsen merasa sedang dijungkir-balikkan oleh keadaan.
Kepala Arsen mengangguk, menatap ke arah bocah kecil yang selama satu bulan ini selalu adu mulut dengannya. Kini sedang diam, terlelap, dan ada gip di sebagian tempat. “Colvert kenapa?” tanyanya sembari duduk di sofa yang lebih dekat dengan keberadaan Bellinda.
“Jatuh dari tangga saat di sekolah. Tidak sengaja tersenggol temannya yang sedang dorong-dorongan. Tangan dan kaki sedikit retak, jadi di gip supaya lekas kembali pulih karena Colvert banyak gerak juga,” jelas Bellinda.
“Apa dia lupa ingatan?” tanya Arsen, membuat Bellinda menatap aneh pada pria itu.
Jadi, Arsen langsung melanjutkan lagi untuk menjelaskan maksud pertanyaan itu. “Aku ingin mendoktrin dia supaya memanggilku Daddy, kalau sedang amnesia.”
Bellinda menarik sudut bibir tipis. Ada-ada saja kelakuan mantan suaminya. “Tidak, untung kepalanya baik-baik saja.”
Arsen mengangguk, tidak bisa memakai kesempatan dalam kesempitan untuk mendapatkan pengakuan. Sudahlah, berjuang sendiri juga tidak masalah.
“Kenapa kau tak menghubungiku kalau Colvert sakit? Kalau aku tahu, pasti akan bantu menjaga dan merawatnya.” Intonasi bicara Arsen sangatlah berbeda. Tidak ada sisi arogan maupun kesinisan dalam setiap kata yang terlontar.
Tentu perubahan itu membuat Bellinda sedikit merasa aneh. Tapi, ia berusaha tidak terpengaruh. “Aku tidak mau merepotkanmu.”
Setelah diamati, senyum wanita itu ternyata tidak pernah berubah. Arsen baru menyadari sekarang kalau ada ketulusan dari raut wajah Bellinda, ketenangan dalam mimik yang selalu ditunjukkan padanya.
Arsen seakan terpaku oleh sosok itu, wanita yang ia lempar begitu saja enam tahun silam, disia-siakan saat sedang berjuang mengambil hatinya.
Ternyata selama ini aku yang bodoh, bukan dia. Arsen merutuki dalam hati. Ingatan kembali menyerang, bagaimana saat ia menghina Bellinda di masa lalu. Mengatakan kalau wanita itu hanyalah sosok manja, tidak bisa melakukan apa-apa, dan menyusahkan. Nyatanya, sampai detik ini bisa berdiri di kaki sendiri tanpa meminta bantuan dan pertanggungjawaban darinya.
Penilaian buruk tentang Bellinda seakan sirna. Kini, di mata Arsen terisi sosok wanita keibuan yang memperjuangkan apa pun demi kehidupan seorang anak kecil yang merupakan anaknya.
Bellinda merasakan jika sejak tadi diamati oleh Arsen. Dia tidak salah tingkah, justru meraba wajah, siapa tahu ada yang aneh.
“Kenapa kau menatapku terus?” tanya Bellinda begitu tenang.
Arsen menyunggingkan senyum, bukan lagi sinis, tapi penyesalan. Dia mengedikkan bahu. Entah sejak kapan matanya jadi tertarik untuk mengisi kornea dengan sosok mantan istri yang ternyata sangat bersinar walau dalam gurat lelah.
Baiklah, Bellinda pun memalingkan wajah supaya tidak ditatap terus.
“Bell?” panggil Arsen.
“Ya?” Wanita itu mendongak hingga kini kembali saling tatap.
“Apa menurutmu aku adalah pria brengsek?”
🤣🤣🤣🤣🤣🤣