**(anak kecil di larang mampir)**
Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.
Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.
Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Jauhi Nadra
Merasa Nadra sudah cukup aman berada di dalam rumah, Agra pun memutar setir. Melajukan mobilnya menuju kediamannya yang terletak di pinggiran kota. Malam mulai sunyi. Lampu jalan menyala temaram, menyinari jalanan yang lengang, hanya sesekali dilalui mobil atau motor yang melintas cepat.
Lingkungan perumahan elite itu tampak tenang, dengan pepohonan tertata rapi di sepanjang jalan dan lampu-lampu kecil yang berjajar di tepi trotoar. Gerbang rumah Agra yang menjulang tinggi dengan pagar besi berlapis hitam matte, terbuka otomatis saat sensor mengenali pelat mobilnya. Begitu pagar itu bergeser ke samping, rumah modern berdesain minimalis dua lantai menyambutnya dalam balutan cahaya hangat dari lampu-lampu taman dan teras.
Namun mata Agra langsung tertuju pada satu sosok yang duduk di atas sepeda motor sport hitam dengan helem di tangan. Nayaka terlihat muram. Bahunya tegang, pandangannya kosong menatap lantai teras.
Agra memarkirkan mobilnya di samping motor itu. Tanpa menunggu, ia segera turun.
"Nay, kenapa kamu di sini? Bukannya-"
Belum sempat Agra menyelesaikan kalimatnya, Nayaka sudah melangkah cepat ke arahnya, langsung meraih kerah kemeja Agra dan menarik kasar.
BUK!
Satu pukulan keras mendarat di pipi kiri Agra. Tubuh pria itu sedikit goyah, namun ia tidak membalas.
"KENAPA HARUS NADRA, HAH?!" teriak Nayaka penuh emosi. "Dari semua perempuan di dunia ini, kenapa dia juga yang kamu incar?! APA GAK ADA WANITA LAIN BUAT NGILANGIN BIRAHIMU, GRA?!"
Agra tersentak. Nafasnya tertahan. Matanya menatap adiknya lekat-lekat.
"Nay, kamu salah paham."
"Enggak! Aku gak salah!" bentak Nayaka, wajahnya merah padam. "Aku tahu semua tentang kamu. Setelah cerai, kamu cuma main-main sama perempuan. Kamu perlakuan mereka kayak barang. Dan sekarang, sekarang kamu deketin Nadra? Dia bukan buat kamu, Gra! BUKAN!"
Agra menarik napas panjang, mencoba menahan dirinya agar tak terbawa emosi. Darah di pipinya mulai menghangat akibat pukulan barusan.
"Dengar aku dulu, Nay. Aku gak pernah niat menyakiti Nadra. Aku gak melihat dia sebagai mainan, apalagi objek birahi, seperti yang kamu tuduhkan," ujar Agra tenang, meski nadanya mulai meninggi.
Nayaka masih mencengkeram kerah abangnya, tapi kini genggamannya mulai melemah.
"Dia gadis yang kuat, polos, dan terlalu murni untuk dijadikan alat pelampiasan siapa pun," lanjut Agra, kali ini suaranya lirih namun penuh keyakinan. "Dan justru karena itu aku ingin melindunginya. Bukan memanfaatkannya."
Hening. Malam kembali sunyi. Hanya suara angin yang terdengar menyapu halaman.
Nayaka melepaskan tangannya, mundur selangkah. Matanya berkaca-kaca.
"Tapi aku, aku lebih dulu ada di sisinya."
Agra menatapnya lama, sebelum akhirnya mengucap pelan, "Aku tahu."
Nayaka kini berdiri sedikit menjauh dari Agra. Napasnya masih terengah, amarah di wajahnya belum benar-benar surut. Sorot matanya tajam, menusuk seperti bilah pisau yang siap menghujam siapa pun yang menyakiti gadis itu.
"Apa kau juga menyukai Nadra?" tanya Nayaka lugas, suaranya datar, namun bergetar di ujung kalimat.
Agra tidak langsung menjawab. Ia hanya diam, memandang wajah adiknya dengan penuh pertimbangan. Tangan kirinya masih menempel di pipi, tepat di tempat bekas pukulan itu mendarat. Rasa perihnya tak sebanding dengan pedih di dalam hatinya.
"Aku tadi melihat kalian," lanjut Nayaka dengan suara yang lebih berat. "Aku melihat semuanya."
Pernyataan itu membuat Agra menegang. Tubuhnya seolah mematung, matanya kehilangan fokus sejenak. Ia tahu adiknya bukan bicara sembarangan. Nayaka menyaksikan mereka, dan semua yang mungkin tampak ambigu di mata orang luar.
"Dari sekian banyak wanita yang pernah ada di hidupku," Nayaka kembali berbicara, nadanya lebih dalam, "cuma Nadra satu-satunya yang aku pilih. Dia bukan cuma gadis biasa, Gra. Dia seseorang yang selama ini aku cari, dan ingin aku jaga."
Nayaka menggenggam erat helm di tangannya, suaranya mulai naik.
"Tubuhnya kecil, rapuh, bahkan penuh luka. Luka yang dia simpan sendirian tanpa pernah mengeluh. Aku ingin jadi perisainya. Aku ingin jadi satu-satunya tempat aman untuknya."
Tatapan Nayaka kini menusuk ke mata Agra. Tak lagi terlihat rasa hormat sebagai adik, yang ada hanya peringatan keras.
"Mundurlah, Gra. Jangan dekati Nadra lagi. Jangan buat dia hancur karena ulahmu. Dia terlalu berharga untuk dijadikan bayangan masa lalu."
Tanpa menunggu balasan, Nayaka mengenakan helmnya, lalu naik ke atas motor. Deru mesin sport menggelegar, kemudian membelah malam, meninggalkan debu dan ketegangan di udara.
Agra berdiri di tempat, tak bergerak sedikit pun. Matanya menatap kosong ke arah gerbang yang kini kembali sunyi. Lalu perlahan, bibirnya tertarik membentuk senyum kecil. Bukan senyum bahagia, melainkan senyum yang tak menyimpan banyak rasa, perih, pahit, dan sejumput tekad.
"Maaf, Nay," gumamnya lirih. "Tapi aku nggak akan menyerahkan Nadra ke siapa pun. Bahkan ke kamu."
Agra membalikkan badan, melangkah masuk ke dalam rumahnya. Kediaman yang luas dan nyaman itu menyambutnya dengan keheningan elegan. Lantai marmer yang mengilap memantulkan langkah kakinya, sementara lampu gantung bergaya modern menggantung tenang di langit-langit tinggi.
Di ruang tengah, semuanya tersusun rapi. Tidak ada satu pun barang yang bergeser dari tempatnya. Sofa kulit hitam menghadap televisi layar datar, dan meja kaca memantulkan cahaya hangat dari lampu dinding. Rumah itu hampa, namun sempurna.
Dengan langkah perlahan, Agra naik ke lantai dua, satu tangan sibuk membuka kancing kemeja, sementara pikirannya sibuk menelusuri kenangan singkat bersama Nadra. Senyum polos gadis itu, caranya menolak dengan sopan saat ditawarkan tumpangan, semuanya berputar di kepala Agra.
Di hadapannya kini berdiri pintu kamar bernuansa putih bersih. Ia membukanya perlahan, melangkah masuk ke dalam ruangan yang begitu kontras dengan kehidupannya, teratur, mewah, dan sunyi.
Ia menggantung kemejanya, lalu membuka pintu kamar mandi. Uap hangat mulai menyelimuti ruang saat keran air panas dinyalakan. Satu per satu, ia lepaskan pakaian yang menempel di tubuhnya. Di balik cermin yang mulai berembun, wajahnya terlihat letih, bukan hanya karena fisik, tapi juga karena hati yang mulai goyah.
Agra masuk ke dalam bathtub besar berisi air hangat. Ia membenamkan tubuhnya perlahan, membiarkan kehangatan itu meresap ke dalam tulangnya yang lelah. Di dalam keheningan, hanya suara air yang bergolak pelan. Lalu, dalam gumaman yang hampir seperti doa, Agra berkata lirih.
"Ketika kau sudah siap untuk berpetualang denganku, maka aku akan menemanimu ke mana pun kau mau. Aku akan tunjukkan betapa indahnya dunia ini. Aku juga akan menunjukkan kalau kau tak sendiri. Aku akan membuka lebar-lebar kedua tanganku untuk memelukmu, Nadra. Karena bersamamu, aku merasa hidup lagi."
Ia memejamkan mata, membiarkan tubuhnya tenggelam sebagian ke dalam kehangatan air, seakan mencoba melarutkan semua kesepian yang selama ini tinggal bersamanya.
...Bersambung.......