"Perjodohan memang terlihat begitu kuno, tapi bagiku itu adalah jalan yang akan mengantarkan sebuah hubungan kepada ikatan pernikahan," ~Alya Syafira.
Perbedaaan usia tidak membuat Alya menolak untuk menerima perjodohan antara dirinya dengan salah satu anak kembar dari sepupu umminya.
Raihan adalah laki-laki tampan dan mapan, sehingga tidak memupuk kemungkinan untuk Alya menerima perjodohannya itu. Terlebih lagi, ia telah mencintai laki-laki itu semenjak tahu akan di jodohkan dengan Raihan.
Namun, siapa sangka Rayan adik dari Raihan, diam-diam juga menaruh rasa kepada Alya yang akan menjadi kakak iparnya dalam waktu dekat ini.
Bagaimana jadinya, jika Raihan kembali dari perguruan tingginya di Spanyol, dan datang untuk memenuhi janjinya menikahi Alya? Dan apa yang terjadi kepada Rayan nantinya, jika melihat wanita yang di cintainya itu menikah dengan abangnya sendiri? Yuk ikuti kisah selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lina Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Di Tepi Sungai
..."Luka yang di pendam sendiri akan semakin menyayat hati. Namun, tak semua duka bisa di temani oleh diri sendiri. Terkadang kita tetep membutuhkan sandaran untuk menenangkan diri."...
...~~~...
Suara itu terdengar tidak asing bagi Alya, sehingga membuat wanita itu berbalik untuk menatap seseorang yang memanggilnya.
Deg.
"Rayan," ucap Alya dengan kedua mata yang terbuka lebar, sedikit terkejut dengan keberadaan laki-laki yang menjadi teman sekaligus adik iparnya itu sekarang.
Rayan tidak hanya diam, ia melangkah semakin dekat kepada Alya, dengan tidak menyia-nyiakan saat seperti itu untuk mengalihkan fokus Alya sebelum hal yang tidak di inginkan terjadi.
"Kamu kenapa ke sini, Alya?" tanya Rayan dengan mulai membuka topik pembicaraan, serta bersikap seperti biasanya layaknya teman, dan juga adik yang memperhatikan kondisi Alya.
"Oh ya, kamu juga kenapa berada di sini Rayan? Bukannya tadi kamu mau ke kantor?" tanya balik Alya dengan menghindari pertanyaan dari Rayan.
"Jangan mengalihkan topik pembicaraan, Alya!" tegas Rayan sembari memegang kedua pundak Alya agar wanita itu paham akan isyaratnya itu.
Sontak saja Alya terlonjak kaget mendapat perlakukan seperti itu dari Rayan. Di mana sekarang ia tak bisa lagi mengelak, karena sepertinya Rayan tidak dapat terpengaruh oleh ucapannya sadari tadi pagi.
Kedua mata Rayan menatap lekat iris mata coklat itu dengan begitu dalam, seakan mencari jawaban dari balik indahnya bola mata itu.
"Jangan takut, katakanlah semua yang terjadi terhadap dirimu kepadaku. Aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja saat ini," ucap Rayan dengan begitu lembut menatap wajah Alya.
Wanita di hadapannya itu masih terdiam, dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca. Walupun demikian, Alya sudah cukup menahannya agar tidak menimbulkan kecurigaan untuk orang-orang di luar sana. Namun, entah kenapa di hadapan Rayan, ia tidak bisa menahan air matanya lagi, sehingga kedua matanya kembali terasa penuh, dan kembali membuat genangan air di kedua kelopak mata indahnya itu.
Tes.
Air mata itu berhasil keluar membahasi kedua pipinya yang mulus, dengan tidak bisa lagi menahan rasa sakit yang melanda dirinya itu.
"Rayan, hiks!" lirih Alya dengan tanpa aba-aba langsung mendaratkan kepalanya di dada bidang Rayan di sertai oleh isak tangis yang begitu mendalam.
Tindakan Alya yang seperti itu, cukup membuat Rayan mengerti, dengan tersenyum dan mengusap lembut kepala Alya yang telah tertutup oleh hijab. Membiarkan wanita itu menumpahkan kesedihan dan dukanya di dalam pelukannya itu.
"Lepaskan semuanya Alya, aku tahu kamu sedang dalam masalah. Jangan terus memendamnya, ada aku yang siap menjadi teman cerita untukmu," ucap Rayan sembari mengelus lembut kepala Alya dan berusaha membuat wanita itu tenang.
"Hiks! Aku enggak tahu harus mulai dari mana, Rayan! Hiks ... aku hanya ingin meminta sandaran pundakmu untuk saat ini saja, boleh ya?" tutur Alya dengan menengadah dan menatap sendu paras tampan yang begitu mirip dengan suaminya itu.
Rayan hanya mengangguk saja, sembari tersenyum tipis. "Boleh, kapanpun kamu membutuhkanku. Aku siap membantumu dan memberikan sandaran ternyaman untukmu Alya," katanya cukup meyakinkan.
Seketika senyuman di bibir Alya terlukis indah dan membuat Rayan cukup tenang melihatnya. "Terimakasih, kamu memang teman yang selalu ada untukku, meskipun di saat-saat seperti ini," balasnya sembari menatap lekat wajah itu.
"Sama-sama, jika kamu siap. Aku juga bisa menjadi teman cerita untukmu sekarang dan kapan saja," ucap Rayan dengan mencari peluang untuk bisa mendengarkan cerita dari wanita itu.
Alya pun terdiam dan berbalik meninggalkan Rayan, dengan berjalan mendekati kursi usang yang berada di bawah pohon besar dekat sungai.
Dan tidak lama dari itu, Alya memutuskan untuk duduk di kursi itu, sembari menatap air sungai yang begitu jernih.
Lantas, Rayan pun bergegas mendekati Alya, dengan duduk di sampingnya, sembari ikut menatap sungai yang terlihat begitu damai.
"Saat ini aku tengah kecewa dan hancur, Rayan. Dan rasanya ... begitu menyakitkan," ucap Alya sembari menatap nanar air sungai yang mengalir itu.
"Sesakit apapun rasanya, kamu tidak sendiri Alya. Akan ada aku yang selalu siap mendengarkan ceritamu," balas Rayan dengan memancing Alya untuk mau bercerita.
Alya menatap wajah Rayan sekilas, lalu melihat ketulusan yang ada di dalam kedua matanya, dan ia mulai menerima kehadiran Rayan yang mendukungnya.
"Kamu benar Rayan, aku tidak sedang baik-baik saja. Hatiku sudah terluka sampai aku tidak kuasa memendamnya sendirian. Ini terlalu menyakitkan daripada pembohongan!" kata Alya dengan air mata yang sudah membasahi kedua pipinya.
Deg.
Hati Rayan sedikit sakit, mendengar ucapan dari Alya. Ia seakan bisa merasakan rasa sakit yang tengah Alya rasakan. Namun, ia tetap setia mendengerkan cerita dari Alya.
"Mas Raihan. Dia ... ,hiks!" lanjut Alya tidak kuasa melanjutkan ucapannya itu.
"Ada apa dengan Bang Raihan dan apa yang di lakukannya kepada dirimu, Alya?" tanya Raihan dengan mulai tumbuh rasa penasaran.
"Di--a mengkhianatiku," jawab Alya sembari menundukan kepalanya, di sertai oleh air mata yang keluar tak terheran.
Duaarrr!
Apa yang di katakan oleh Alya barusan cukuplah membuat Rayan terkejut, sampai kedua matanya terbelalak, dengan cerita dari wanita yang singgah di hatinya itu.
"Sudah aku duga, apa yang aku takutkan terjadi juga. Dan benar saja, memang ada yang tidak beres dengan Bang Raihan dan dirimu, Alya. Bahkan, aku tak kuasa melihatmu menangis seperti ini," batin' Rayan berontak dengan kecurigaan yang semakin membuncah.
"Apa yang di katakan olehmu itu benar, Alya? Bahwa Bang Raihan mengkhianati dirimu?" tanya Rayan dengan memastikan kembali ucapan Alya.
"Hiks! Aku melihatnya sendiri Mas Raihan bersama wanita lain di ruangannya, Rayan!" Alya dengan menahan rasa sakit yang menyayat hatinya, tapi tetap berusaha keras melupakan rasa kecewa dan sakit hatinya itu.
Deg.
Kedua mata Rayan membulat sempurna, begitu mendenger penjelasan dari Alya, sampai membuat rahangnya mengeras, dengan tangannya yang sudah di kepal begitu erat. Dan tatapan yang awalnya begitu lembut, kini berubah di selimuti oleh rasa kecewa dan emosi yang tertahan.
"Hiks! Aku harus bagaimana, Rayan? Hatiku hancur, pernikahanku yang baru seumur jagung ini malah berantakan. Aku tak kuasa menerima rasa sakit ini Rayan," lirih Alya sembari bersandar di pundak Rayan dengan isak tangis yang sering kali terdengar jelas.
"Sabar, Alya. Semua akan baik-baik saja, biar aku sendiri yang berbicara kepada Bang Raihan nanti!" sahut Rayan sembari menatap tajam ke depan dengan di penuhi gejolak amarah yang mulai menguasai dirinya secara perlahan.
"Jangan lakukan apapun, Rayan! Aku mohon, hiks! Aku takut Bunda sama Ayah kecewa," lirih Alya dengan menangis memohon agar Rayan tidak melakukan hal nekat nantinya.
"Tidak bisa di biarkan ini, Alya! Bang Raihan melewati batasnya!" ucap Rayan dengan emosi yang tidak bisa di tahan.
"Aku mohon, jangan katakan apapun kepada Bunda dan Ayah! Aku takut mereka tahu semuanya, karena aku juga masih belum bisa kehilangan suamiku, Mas Raihan. Tolong mengertilah, Rayan! Hiks," lirih Alya dengan memegang lengan tangan Rayan dan menatapnya dengan kedua mata sembab, seakan memohon dan meminta pertolongan darinya.
Melihat reaksi Alya seperti itu untuk mencegahnya mencari keadilan. Hal itu malah membuat hatinya semakin sakit dan hancur, mendengar pembelaan Alya yang masih mempertahankan Raihan, walupun sudah di sakiti.
"Sebegitu cintanya kamu sama Bang Raihan ya, Alya? Sampai kamu membelanya sedemikian rupa, walupun hatimu sudah di hancurkan, dan kamu tidak ingin semua orang tahu perbuatannya kepada dirimu? Kali ini bukan hatimu saja yang hancur, tapi hatiku juga ikut sakit Alya melihat dirimu bersikap seperti ini sembari menangis memohon kepadaku atas kesalahan Abangku sendiri yang menyakitimu," ucap Rayan di dalam hatinya dengan rasa sakit di dalam hatinya dan geram yang menyetir bersama pembelaan dari Alya.
.
.
.