Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***
Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
wanita bergaun putih
Kakek itu akhirnya duduk kembali di kursinya, mengatur posisi tubuhnya agar lebih nyaman. Ia memandang Danu dan Galang dengan tatapan yang agak dalam, seakan menceritakan sesuatu yang sudah lama ia pendam. Perlahan, ia mulai bercerita, dengan suara yang lebih rendah, seakan ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, namun tetap berhati-hati.
"Kalian tahu," katanya sambil memandang ke arah hutan yang samar terlihat dari balik pepohonan, "tempat itu memang sering dipakai buat kegiatan sekolah, pelatihan, dan semacamnya. Tapi bukan berarti tempat itu tidak punya cerita sendiri."
Galang memiringkan kepala sedikit. "Cerita gimana, Kek?"
Kakek itu menarik napas sebentar, lalu mulai bercerita. "Dulu ada sekelompok mahasiswa yang kemping di sana, bagian paling dalam. Salah satu dari mereka, anak laki-laki, iseng sendirian jalan ke arah air terjun yang katanya ada di balik bukit. Padahal udah diwanti-wanti buat nggak jalan sendiri."
"Lalu?..." Danu ikut bersuara, agak mencondongkan tubuh ke depan.
"Dia tersesat," ujar si kakek. "Tiga hari tiga malam anak itu hilang. Tim pencarian bolak-balik masuk hutan. Pas ketemu, anak itu duduk di bawah pohon besar, wajahnya tenang tapi kosong. Nggak luka, nggak lecet, cuma... seperti orang yang baru bangun dari mimpi panjang. Katanya, dia merasa cuma sebentar jalan-jalan, padahal udah tiga hari lamanya."
Galang spontan menatap Danu, ingatan nya langsung berputar pada kejadian Danu yang hilang di lereng gunung kemarin. Tapi, kali ini Galang memilih diam dan membiarkan kakek itu melanjutkan ceritanya.
"Ada juga anak SMA perempuan, waktu itu ikut kemping seperti adikmu. Nggak tahu kenapa, sepulang dari sana dia jadi jauh lebih baik. Katanya, selama di hutan, dia seperti... melihat ulang semua kesalahan yang pernah dia perbuat. Setelah pulang, dia mulai rajin salat, minta maaf ke banyak orang, dan jadi anak yang lebih kalem. Keluarganya sendiri sampai kaget, tapi ya... senang lah."
Galang melirik Danu, lalu keduanya kembali fokus ke cerita kakek.
"Tapi," kata kakek itu dengan jeda yang agak panjang, "nggak semua orang pulang bawa cerita indah."
Danu mengerutkan dahi. "Maksud kakek...?"
"Waktu itu ada pelatih dari luar, orangnya keras dan suka ngomel-ngomel. Katanya sih, selama di sana, dia bentak-bentak anak-anak, buang sampah sembarangan, bahkan sampai nebang pohon buat kayu bakar." Kakek menggeleng pelan. "Pas malam terakhir, dia pingsan. Katanya jatuh pas cari kayu. Tapi sejak pulang, dia nggak pernah bisa bicara lagi. Suaranya hilang. Dokter bilang nggak ada masalah medis. Tapi ya... sejak itu, dia resign. Sekarang kabarnya tinggal di rumah ibunya, nggak pernah keluar."
Danu dan Galang terdiam. Cerita itu tidak menyeramkan, tapi cukup... mengusik.
Kakek menyandarkan tubuhnya, lalu menatap mereka bergantian. "Tempat itu, Nak... bukan tempat biasa. Kadang bisa terasa seperti cermin. Kalau hatimu bersih, kamu bakal lihat hal-hal baik. Tapi kalau hatimu berat, penuh amarah, atau ada niat buruk... ya, tempat itu bisa memantulkan semuanya kembali, kadang lebih sakit dari yang kita kira."
Danu menunduk sebentar, memikirkan Nadia.
Kakek itu memperhatikan wajah Danu yang tampak menegang, sorot matanya sayu, seperti menyimpan kekhawatiran yang berat. Tangan Danu bahkan belum menyentuh kopinya lagi, padahal uapnya sudah tak lagi mengepul.
"Jangan terlalu dipikirkan, Nak," ucap si kakek tiba-tiba, suaranya lembut seperti embun pagi. "Percayalah, semua akan baik-baik saja. Kalau adikmu punya niat baik dan hati yang tenang, tempat itu justru bisa jadi pengalaman berharga untuknya."
Danu mengangkat wajah, menatap kakek itu dengan pandangan tak yakin. Ia membuka mulut, namun tak satu pun kata keluar. Hanya napas berat yang terlepas dari hidungnya.
Galang, yang sejak tadi diam dan menyimak dengan ekspresi datar, kini ikut bersuara. "Lo kelihatan banget gelisahnya, Nu."
Danu mendengus pelan, menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kayu itu. "Nggak tahu, Lang... tempat itu terlalu... sepi. Terlalu asing. Dan ceritanya barusan, cukup bikin gue mikir macem-macem."
Galang menyilangkan tangan, lalu menatap Danu serius. "Gue ngerti. Tapi Nadia bukan anak kecil lagi, Nu. Lo lihat sendiri tadi, dia malah lebih tenang dari lo."
Danu terdiam. Benar juga. Wajah adiknya tadi tampak mantap, tak goyah, bahkan sempat menenangkannya.
"Gue juga nggak tahu kenapa, tapi gue ngerasa... Nadia akan baik-baik aja," lanjut Galang, menepuk bahu sahabatnya itu. "Lo tahu kan, kadang tempat kayak gitu emang bisa bawa perubahan. Bukan berarti buruk."
Danu masih belum sepenuhnya yakin. Tapi sorot mata Galang, dan perkataan kakek tadi yang meskipun misterius tapi bijak, sedikit mengendurkan simpul kekhawatirannya.
"Kalau lo masih cemas," kata Galang lagi, nada suaranya lebih ringan kali ini, "besok pagi-pagi kita jenguk Nadia. Gimana?"
Danu menatap Galang, lalu mengangguk perlahan. "Oke… besok kita jenguk dia."
Kakek itu tersenyum kecil melihat pembicaraan keduanya
*****
Beberapa jam kemudian,
Beralih pada suasana hutan,
Sore hari mulai menyapa dengan hangat matahari yang sedikit merunduk di balik pucuk-pucuk pohon tinggi. Suasana perkemahan terasa hidup. Tawa dan suara riuh anak-anak menggema, memantul-mantul di antara batang pohon dan ilalang. Setelah seharian mengikuti serangkaian kegiatan kelompok, akhirnya diumumkan bahwa sore ini mereka diperbolehkan mengunjungi air terjun tak jauh dari lokasi camp.
"Yang mau ikut, kumpul di lapangan tengah! Lima belas menit lagi kita berangkat!" seru salah satu kakak pembina dari depan tenda logistik.
Nadia yang sedang duduk bersandar di dekat tendanya, langsung menoleh pada empat teman nya, Ayu, Shafa, Rani dan Nabila.
"Air terjun, nih. Mau ikut nggak?” tanyanya sambil menepuk celana training-nya dari debu.
Rani langsung berdiri, semangat. "Ikutlah! Mumpung boleh jalan-jalan. Katanya sih indah banget air terjunnya disini."
Shafa sedikit ragu. "Nggak jauh, kan? Jangan kayak tadi pas hiking, nafas ku tinggal tiga tetes…"
Ayu tersenyum, "Tenang, ini cuma jalan santai katanya. Nggak sampai nanjak."
Beberapa menit kemudian, rombongan siswa sudah mulai bergerak dalam barisan kecil menuju arah air terjun. Jalannya tak terlalu sulit, hanya menurun sedikit dengan batu-batu kecil yang kadang licin. Udara terasa lebih lembap di bawah rimbunnya pohon. Suara gemericik air mulai terdengar perlahan, seperti bisikan alam yang memanggil.
Nadia melangkah pelan, memperhatikan sekitar. Suasana memang agak berbeda. Tidak menyeramkan, tapi ada sesuatu yang membuat tempat ini terasa... tua.
"Eh, itu suara airnya?" bisik Nabila di sebelahnya.
Nadia mengangguk. "Iya… kayaknya kita hampir sampai."
Dan benar saja. Beberapa menit kemudian, rombongan mereka sampai di sebuah bukaan kecil. Dari balik celah pepohonan, tampaklah air terjun setinggi sekitar sepuluh meter, mengalir deras di atas batuan hitam pekat. Di bawahnya terbentuk kolam alami yang cukup lebar, berair jernih dan tampak segar.
Beberapa anak langsung meletakkan sandal dan menyentuhkan kaki ke air, berteriak pelan karena dinginnya. Ada yang sibuk selfie, ada yang duduk di batu sambil menikmati pemandangan.
Nadia memilih berjalan ke sisi yang agak sepi, duduk di batu datar yang sedikit lebih tinggi, memandangi air terjun itu tanpa berkata apa-apa.
"Cantik banget ya," gumam Ayu yang ikut duduk di sebelahnya.
"Iya…" Nadia mengangguk pelan. Tapi matanya tidak sekadar melihat. Ada perasaan aneh yang datang bersamaan dengan aroma tanah basah dan suara deras air. Seolah tempat ini bukan sekadar air terjun. Ada sesuatu yang lebih.
Angin berembus lembut melewati wajahnya. Dan di kejauhan, di balik percikan air terjun, Nadia sempat merasa seperti ada seseorang yang berdiri... menatap ke arah mereka.
Tapi ketika ia menoleh cepat, tak ada siapa-siapa.
"Yang lain mana?" tanya Nadia tiba-tiba, merasa ada yang kurang.
Ayu ikut menoleh ke belakang. "Tuh mereka, main air sama anak-anak cowok di bawah. Kenapa?"
"Enggak," Nadia tersenyum lagi. "Cuma nanya."
Namun di dalam hatinya, ia merasa sedikit gelisah. Sekilas bayangan tadi membuat tengkuknya dingin. Tapi ia menepis rasa itu.
Mungkin cuma bayangan atau pantulan air, pikirnya. Jangan mikir yang aneh-aneh.
Air terjun itu tetap mengalir, membawa serta suara alam... dan entah cerita siapa saja yang pernah berdiri di hadapannya.
Dan hampir sepuluh menit berlalu, Ayu sudah bergabung lebih dulu dengan Rani, Shafa dan Nabila. Sedangkan Nadia masih duduk menikmati pemandangan sambil mendengar suara teman-temannya yang bermain air di bawah. Tawa mereka pecah bersamaan dengan cipratan air yang saling dilempar, menambah hangat suasana sore itu.
"Eh, seru banget kelihatannya," kata Nadia, berdiri dari duduknya. Ia melepas sepatu lalu melangkah hati-hati turun dari batu datar tempatnya duduk.
Langkahnya sedikit ragu karena permukaan batu yang dilewatinya tampak basah dan licin. Tapi semangat ingin bergabung membuatnya tetap melangkah.
"Woy, Nad! Sini, airnya dingin tapi enak!" teriak Rani, melambaikan tangan dari kolam kecil di bawah.
Nadia tertawa pelan, lalu melangkah lebih cepat. Tapi pada satu pijakan, telapak kakinya menginjak lumut tipis yang tak terlihat.
"Ast—!"
Tubuhnya oleng ke belakang, dan sebelum sempat menjerit atau menahan diri, sebuah tangan muncul dari sisi batu dan menangkap lengannya dengan cekatan.
Nadia membeku.
Tangannya digenggam erat oleh seseorang... Seseorang yang entah dari mana datangnya. Ketika ia mendongak, napasnya tercekat.
Seorang wanita berdiri di sana. Rambutnya hitam panjang, jatuh lembut hingga ke pinggang. Kulitnya pucat nyaris putih porselen, memantulkan cahaya sore seperti mengandung cahaya sendiri. Wajahnya… terlalu sempurna untuk digambarkan dengan kata-kata. Ada keanggunan dan ketenangan yang tak biasa, membuat Nadia terdiam, bahkan lupa bahwa baru saja ia hampir jatuh.
"Pelan-pelan," suara wanita itu lembut, nyaris seperti angin. "Tempat ini suka iseng pada yang datang terburu-buru."
"Eh... t-terima kasih…" ucap Nadia, masih terpukau.
Beberapa detik kemudian, Ayu, Shafa, Rani, dan Nabila datang menghampiri, wajah mereka sama-sama menunjukkan keterkejutan saat melihat sosok wanita itu.
"Wah…" desis Nabila, melongo.
"Dia siapa?" bisik Shafa, nyaris tak terdengar.
Wanita itu hanya tersenyum tipis, lalu melepaskan perlahan tangan Nadia. Senyumnya tidak menyeramkan. Justru menenangkan, seperti pelukan yang tak kasat mata.
Nadia masih memandangi tangannya sendiri, seolah ingin memastikan bahwa kejadian tadi bukan ilusi. Hawa dingin dari telapak tangan Isabella masih terasa menempel di kulitnya.
"Nad… Kakak ini cantik banget ya… Apa dia salah satu pembina disini? tapi... kok aku baru lihat?" bisik Rani, seraya masih menatap wanita itu dengan pandangan bingung.
Beberapa langkah di hadapan mereka, sosok itu berdiri dengan tenang. Gaun putih panjang yang dikenakannya tampak kontras dengan warna alam sekitar, membuatnya seperti muncul dari lukisan kuno yang hidup.
"Isabella. Itu namaku" ucap wanita itu lembut, suaranya jernih namun menggema halus seperti air yang jatuh ke dalam kolam. "Aku pembina tamu dalam kegiatan ini."
Ayu, Nabila, Shafa, dan Rani tampak melongo, bahkan Rani sampai lupa menutup mulutnya. Nadia masih belum berkata apa-apa, hanya mengangguk perlahan.
"Terima kasih, Kak… tadi aku hampir jatuh," ujar Nadia pelan.
Isabella tersenyum, senyum yang tak terlalu lebar tapi menenangkan. "Kau harus hati-hati. Alam bisa bersahabat, tapi juga bisa menguji."
Ia berjalan mendekat, lalu menepuk lembut bahu Nadia. "Kau punya hati yang peka. Tapi jangan biarkan kekhawatiran menarikmu terlalu jauh. Alam akan berbicara pada orang-orang seperti kamu."
Lalu ia menoleh pada yang lain. "Kalian juga… nikmatilah tempat ini dengan hati terbuka. Jangan takut, tapi juga jangan terlalu berani."
"Eh, Kak… biasanya ikut kegiatan kayak gini juga ya?" tanya Nabila memberanikan diri.
Isabella menoleh sebentar padanya, matanya jernih seperti embun pagi. "Sudah lama aku mendampingi kegiatan seperti ini. Tapi aku hanya muncul saat dibutuhkan… atau saat waktunya sudah tiba."
Senyumnya masih menggantung, tapi kali ini ada nuansa aneh di dalamnya. Seperti ada sesuatu yang tidak dikatakan.
"Selamat menikmati air terjun ini. Dan kalau nanti malam kalian mendengar sesuatu... abaikan saja. Tidak semua suara perlu dijawab," ucapnya sebelum perlahan melangkah pergi, menghilang di antara rimbun pohon seperti kabut yang tersapu angin.
Keempat gadis itu masih diam terpaku.
"Baru kali ini... aku merasa ketemu orang yang nggak bisa aku tebak," bisik Shafa.
Nadia mengangguk. "Dan entah kenapa... aku merasa dia tahu sesuatu tentang aku."
Disaat mereka masih terpaku menatap kepergian Isabella, Tiba-tiba salah satu kakak pembina perempuan yang tadi mengumumkan keberangkatan ke air terjun datang menghampiri mereka sambil membawa catatan kehadiran.
"Kalian nggak apa-apa?" tanyanya ramah.
Nadia cepat-cepat mengangguk. "Iya, Kak… tapi barusan ada tragedi sedikit dan ada kakak pembina juga yang menolongku, Namanya... kak Isabella"
Pembina itu mengerutkan dahi sejenak, lalu tersenyum samar. "Oh, Kak Isabella ya? Iya, dia salah satu pembina tamu di kegiatan camp kita kali ini. Memang nggak selalu muncul di semua sesi. Hanya ikut bagian-bagian tertentu."
"Baru pertama kali lihat," gumam Ayu.
"Iya… dia beda banget," sambung Nabila, lirih. "Cantiknya tuh kayak… bukan dari sini."
Pembina itu tertawa pelan, tapi ada nada canggung di balik tawanya. "Iya… Kak Isabella memang begitu. Banyak yang bilang dia agak misterius, tapi tenang aja. Dia orang baik, kok. Sudah lama ikut kegiatan-kegiatan seperti ini, terutama yang dekat-dekat alam."
Setelah pembina itu pergi mencatat kehadiran peserta lainnya, keempat sahabat itu masih diam sejenak.
Nadia memandang ke arah hutan tempat Isabella menghilang, tapi tak ada apa-apa di sana. Hanya pohon dan bayang-bayang sore yang mulai melarut.
"Dia muncul pas aku hampir jatuh. Nggak tahu dari mana. Tapi tangannya dingin, tapi halus banget…" Nadia bicara pelan, seperti menceritakan mimpi.
"Dari tadi aku mikir… bajunya beda sendiri, ya? Gaun panjang warna putih susu gitu... siapa sih pembina yang pakai baju kayak itu di hutan?" bisik Rani, menatap Nadia.
"Tapi dia cantik banget… kayak bidadari," tambah Shafa, suara menurun seperti sedang berdoa.