NovelToon NovelToon
Hantu Nenek Bisu

Hantu Nenek Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Mata Batin / TKP / Hantu
Popularitas:812
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16: Warisan Nenek Bisu

Senja menurunkan bayangnya perlahan di atas Desa Karangjati. Langit membara jingga, tapi suasana hati warga tak sehangat warna itu. Di tengah balai desa, suara Pak Lurah terdengar berat saat membaca pengumuman yang ditulis tangan:

“Mulai malam ini, seluruh warga diminta tak keluar rumah selepas Magrib. Dilarang mendekati ladang tengah, sumur tua, dan pemakaman lama. Ronda malam hanya dilakukan oleh tim khusus yang ditunjuk.”

Di antara kerumunan warga, Udin dan Pedot saling pandang.

Udin: “Iki tambah ora enak, Dot. Nek sampe Mbah Tejo tumbang beneran, sapa maneh sing bisa jaga segel itu?”

Pedot: “Pak Bolot?”

Udin: “Ora! Jangan sampe dia yang jagain! Bisa-bisa malah dikira hantu beneran…”

Kembali ke Pusaka

Malam itu, Pak Lutfi, Mbah Tejo, dan beberapa orang termasuk Udin, Pedot, dan Pak Bolot kembali berkumpul di rumah kosong peninggalan nenek bisu. Peti pusaka kini diletakkan di tengah ruangan yang telah dibersihkan, dan diberi pagar garam serta daun bidara kering.

Pak Lutfi membuka lembaran naskah tua yang ditemukan Pak Bolot.

Pak Lutfi: “Ada simbol-simbol yang bisa kita cocokkan dengan tulisan sebelumnya. Lihat ini. Kata ‘Nurhayati’ muncul tiga kali.”

Mbah Tejo: “Nurhayati… itu nama asli nenek bisu. Tapi… bisa jadi itu juga garis darah yang mesti kita telusuri.”

Pedot: “Pak… itu artinya kita cari keturunannya ya? Tapi caranya piye?”

Pak Lutfi: “Dulu nenek bisu punya dua saudara. Salah satunya pindah ke desa sebelah—Desa Tirtojati. Bisa jadi garis itu masih hidup di sana.”

Misi ke Desa Tirtojati

Esok paginya, Udin, Pedot, dan Pak Bolot dikirim ke Tirtojati. Dengan motor tua pinjaman Mbah Tejo, mereka menempuh jalan berbatu dan menyeberangi sungai kecil.

Sesampainya di sana, mereka bertemu Pak Sastro, kepala dusun, yang ternyata tahu tentang nenek bisu.

Pak Sastro: “Ah, Nurhayati? Nenekku sering cerita. Dia dulu sempat tinggal di sini waktu kecil. Tapi waktu usia belasan, pindah ke Karangjati dan tak pernah kembali. Dulu, ia punya adik perempuan, Sumini.”

Udin: “Sumini masih hidup, Pak?”

Pak Sastro: “Sudah lama wafat. Tapi... dia punya anak. Namanya Bu Warti, tinggal di pinggir sawah arah barat. Sendiri, jarang bersosialisasi.”

Udin langsung semangat. Bersama Pedot dan Pak Bolot, mereka menemui Bu Warti.

Bu Warti dan Mata yang Sama

Rumah Bu Warti kecil, beratap seng dan berdinding papan. Wanita setengah baya itu menerima mereka dengan wajah heran namun ramah. Ketika Udin menyebut nama Nurhayati, wajah Bu Warti berubah pucat.

Bu Warti: “Kalian… tahu nama itu dari mana?”

Pedot: “Dari naskah pusaka. Kami dari Karangjati. Kami percaya Anda keturunan terakhir dari saudara nenek bisu.”

Bu Warti terdiam lama. Matanya memandangi peti kecil yang mereka bawa—yang berisi simbol dari rumah pusaka. Ia mengeluarkan sepotong kain tua dari lemari.

Bu Warti: “Ini… warisan ibuku. Dia bilang, jika suatu hari orang membawa lambang ini kepadaku, maka aku harus ikut mereka. Karena… waktunya sudah tiba.”

Kain itu bergambar simbol yang sama dengan ukiran di keris pusaka. Udin dan Pedot saling pandang—mata mereka berbinar.

Kembali ke Karangjati

Malam itu juga, Bu Warti dibawa ke Karangjati. Begitu ia memasuki rumah nenek bisu, hawa dingin yang sempat melanda seketika berubah. Nyala lilin di ruangan pusaka menjadi tenang. Bahkan, suara tangisan yang biasanya terdengar dari arah pemakaman—menghilang.

Mbah Tejo: “Ini tandanya… arwah nenek bisu mengakui pewarisnya.”

Pak Lutfi: “Tapi ini baru awal. Gerbang masih terbuka. Pusaka itu… hanya bisa menutup segel bila digunakan oleh garis keturunan yang sah.”

Bu Warti menggenggam keris kecil itu. Tangannya bergetar, tapi ia mengangguk. “Aku siap.”

Pertanda dari Langit

Tengah malam, ketika semua bersiap menuju ladang—tempat segel berada—tiba-tiba langit terbelah oleh cahaya merah darah. Kabut hitam menyelimuti separuh desa. Angin bertiup sangat kencang.

Ki Sambora muncul dari balik kabut, tertawa seperti kesetanan.

Ki Sambora: “Kalian pikir sudah selesai? Pewaris? Haha! Tidak ada yang bisa menutup gerbang itu lagi. Kekuatan dari alam gaib sudah terlalu deras. Dan malam ini… desa Karangjati akan menjadi awal dari dunia baru!”

Bu Warti berdiri tegak. Dengan keris di tangan dan doa di bibir, ia melangkah maju. Di belakangnya, Udin, Pedot, Pak Lutfi, dan Mbah Tejo mengikuti dengan penuh harap. Bahkan Pak Bolot pun ikut, meski sambil membawa wajan buat jaga-jaga.

Pak Bolot: “Nek mereka gagal, aku siap ndang masak pecel buat hantune!”

1
Sokkheng 168898
Nggak sabar nunggu kelanjutannya.
BX_blue
Penuh kejutan, ngga bisa ditebak!
iwax asin
selamat datang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!