NovelToon NovelToon
Suamiku Dokter Sultan

Suamiku Dokter Sultan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda
Popularitas:5.4k
Nilai: 5
Nama Author: omen_getih72

Yang sudah baca novelku sebelumnya, ini kelanjutan cerita Brayn dan Alina.

Setelah menikah, Brayn baru mengetahui kalau ternyata Alina menderita sebuah penyakit yang cukup serius dan mengancam jiwa.

Akankah mereka mampu melewati ujian berat itu?

Yuk baca kelanjutan ceritanya 😊

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8

"Suamiku adalah segalanya bagiku. Tapi ... aku tidak punya banyak waktu untuknya. Aku hanya akan jadi beban yang memberatkan hidupnya. Apa setelah aku pergi dia akan sedih dan tidak menemukan seseorang yang akan menemaninya."

"Apa suamimu belum tahu ini?"

Alina menggeleng. Melepas pelukan dan menghapus air matanya. "Kamu orang pertama yang tahu."

"Lalu, kamu ingin aku melakukan apa?"

"Bisakah kamu menemaninya saat aku pergi?"

"Jangan gila, Alina." Siska menutup map dengan hela napas.

"Aku bisa saja egois dan memanfaatkan waktuku yang tersisa untuknya. Tapi, apa yang akan dia dapatkan dari kenangan tentangku? Hanya rasa sakit."

"Kalau kamu memang tidak mau dia sedih, kenapa kamu mau menikah dengannya? Bukankah dengan begini sama saja membuatnya patah hati?"

Alina termenung. Segala syarat berat yang ia ajukan pada Brayn untuk setuju menikah sebenarnya hanya sebuah pancingan.

Tujuannya berbuat hal tersebut agar Brayn melupakan niat untuk menikahinya.

Di luar dugaan, Brayn malah menyanggupi semua dan membuat Alina terjebak.

"Aku akan melepasnya. Setiap kali aku mengabaikannya, aku merasa sangat berdosa. Tidak apa-apa kalau akhirnya dia membenciku, aku hanya tidak mau menyakitinya dengan keadaanku. Semakin hari tubuhku akan semakin lemah. Aku akan jadi beban semua orang."

"Apa tidak sebaiknya kamu beritahu dia tentang ini?"

Alina menggeleng pelan.

"Aku berharap saat dia tahu tentang aku, dia sudah kehilangan perasaannya untukku. Aku bisa melihat bagaimana dia kecewa saat aku bicara kasar padanya, saat aku membantahnya. Tapi, dia masih bisa tersenyum dan lembut padaku."

Alina terisak menekan sesak di dada.

"Tapi, lambat laun dia akan jenuh menunggu, dia akan kehilangan perasaannya dan mulai benci padaku, dan kalau semua itu terjadi... kepergianku tidak akan menyakitinya."

"Ini tidak benar, Alina. Ada baiknya kamu beritahu keluargamu."

"Supaya apa? Supaya keluargaku sedih? Saat mereka tahu, mereka akan berusaha membantuku dengan menjalani pengobatan terbaik. Tapi aku tahu itu hanya akan sia-sia. Pengobatan tidak akan menyembuhkanku, tapi hanya memperlambat kematianku."

Alina menatap Siska dan menggenggam tangannya.

"Bantu aku, Siska. Aku tahu kamu memiliki perasaan itu untuknya. Dia butuh seseorang yang sehat, yang bisa menemaninya seumur hidupnya, bukan wanita sakit-sakitan seperti aku. Kamu mau membantuku, kan?"

"Sebenarnya ... ini berat untukku, Alina. Aku tidak mungkin jadi orang ke tiga di antara kalian."

Siska mengusap ujung matanya yang basah. Dua wanita itu saling memeluk. Namun, di balik punggung Siska menerbitkan senyum.

Setelah berbicara dengan Siska, Alina melirik jam yang sudah menunjuk pukul sebelas.

Bisa dipastikan ia akan mendapat teguran keras dari atasannya.

"Aku harus pergi sekarang. Terima kasih, Siska."

**

**

Setelah mengetahui istrinya bekerja di sebuah supermarket dengan posisi yang baginya cukup berat, Brayn tak dapat tenang.

Setelah jam makan siang ia memutuskan mengintai Alina. Ia penasaran bagaimana Alina bekerja dan sedang apa siang ini.

Brayn berjalan di antara rak-rak tinggi. Matanya melirik ke segala arah demi menemukan sosok yang dicarinya.

Siang ini ia sengaja berpakaian santai, memakai topi dan masker untuk menyamarkan wajahnya.

Sengaja, niatnya supaya Alina tidak mengenali dan ia bisa mengawasinya dari jarak aman.

Setelah berkeliling hampir satu jam, Brayn akhirnya menemukan sang istri.

Alina tampak sedang kerepotan mencatat sesuatu pada sebuah buku. Di susul dengan suara bentakan seorang wanita.

"Saya tidak mengerti bagaimana kamu bisa lolos kerja di sini."

"Maaf, Mbak. Saya kurang enak badan hari ini," sahut Alina sambil memindahkan beberapa barang dari kardus besar.

"Alasan! Kemarin-kemarin juga alasan itu terus yang kamu pakai. Satu lagi, kemarin kamu cuti dan pagi ini saya terima laporan kalau kamu terlambat!"

Alina terdiam beberapa saat, lalu menarik napas.

"Saya ada keperluan mendadak pagi ini."

"Alah ... tidak becus kerja!" maki wanita itu. "Kalau tidak sanggup kerja bilang! Banyak orang yang lebih mampu mengisi posisi ini!"

Alina hanya diam dan menerima makian atasannya.

Tanpa sadar, kedua tangan Brayn mengepal. Suami mana yang senang melihat istrinya dibentak-bentak orang lain dan dimaki dengan kalimat kasar?

Alina bahkan tidak diizinkan beristirahat dan dipaksa mengangkat kardus besar seorang diri.

"Kerja yang benar, Alina! Memangnya kamu bisa ganti rugi kalau barangnya rusak?!"

Semakin geram, perlahan Brayn mendekat dan berdiri di belakang Alina.

Bola mata Alina seketika membeliak saat berbalik dan mendapati sosok tubuh tinggi tegap berdiri tepat di hadapannya.

Meskipun wajahnya tersamar oleh topi dan masker, namun dari postur tubuh dan matanya, ia bisa mengenali jika sosok tersebut adalah suaminya.

Napas Alina tercekat di tenggorokan. Pikiran polosnya menduga bahwa sang suami akan marah besar dengan ulahnya.

Bisa terbongkar identitas Alina yang merupakan menantu keluarga Hadiwijaya.

Namun, di luar dugaan, Brayn sama sekali tidak menunjukkan reaksi marah. Malah sikapnya tetap lembut seperti biasa.

"Sedang apa di sini?" tanya Alina.

"Mau lihat kamu saja. Ibu bilang kamu kerja di supermarket ini." Brayn membenarkan maskernya. "Duh, sudah pakai topi dan masker masih bisa dikenali."

"Aku sedang kerja. Sana pulang atau pergi ke tempat lain dulu!" Alina berbisik mengusir suaminya.

"Memang tidak boleh di sini?"

"Ini ruangan khusus karyawan! Orang luar tidak boleh masuk." Ia mendorong lengan suaminya sambil celingukan.

"Alina, kerja! Kita dikejar waktu ini, barangnya mau dikirim sore. Kenapa malah ngobrol di sana?" tegur sang atasan menatap galak. "Siapa yang bicara sama kamu itu?"

Alina menoleh menatap wanita yang berdiri tak jauh darinya.

"Maaf, Mbak. Ini ... suami saya."

Jawaban Alina sukses mengembangkan senyum di bibir Brayn. Diakui sebagai suami saja mampu menghangatkan hatinya.

"Oh ... cepat lanjut kerja!"

"Baik, Mbak." Alina mengangguk pelan.

"Butuh bantuan?" tawar Brayn pada istrinya.

"Tidak, sana pulang saja!"

Alina menolak mentah-mentah. Bibirnya mengerucut lucu.

"Tapi, kamu harus angkat barang sebanyak ini sendirian. Biar aku bantu saja. Sepertinya tidak apa-apa, kan?"

"Tolong ya, Pak! Istrinya sedang kerja. Jangan diganggu jam kerjanya dengan datang ke sini!" ujar sang atasan lagi.

Alina mulai cemas, tidak pernah ada yang berani membentak Brayn, baik itu dokter senior atau direktur rumah sakit sekalipun, mengingat Brayn anak siapa.

Tetapi, sekarang lelaki itu malah dibentak seenaknya oleh seorang supervisor supermarket demi dirinya.

Jika Pak Vino dan Bu Resha sampai tahu, Alina tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.

Aneh, Brayn malah tersenyum. Lebih tepatnya tak begitu peduli dengan ucapan tajam wanita itu.

Tanpa kata ia membantu Alina memindahkan beberapa kotak ke tempat yang diminta sang atasan.

Selepas memindahkan beberapa barang, Alina mendekati suaminya. Mumpung hanya ada mereka di gudang saat ini.

Brayn tampak sedang membersihkan pakaiannya dari debu yang melekat.

"Terima kasih sudah membantu. Sekarang kamu boleh pulang."

"Kamu tidak butuh dibantu lagi?"

"Tidak!" jawab Alina cepat.

"Yakin mau kerja di sini? Apa tidak terlalu berat untuk kamu? Bayangkan kalau kamu sendirian angkat barang-barang ini."

Alina mendesah kasar. "Ingat perjanjian kita, Pak Dokter. Tidak boleh ikut campur urusan masing-masing!"

"Aku tahu, Khumayrah. Aku tidak melarang kamu kerja, kok. Tapi, jangan yang berat-berat seperti ini. Rasanya aku tidak setuju kamu kerja di tempat ini."

"Apa kamu malu kalau istrimu kerja serabutan?" imbuh wanita itu. "Aku kan sudah bilang ... aku setuju menikah tapi jangan ikut campur dengan apapun yang kulakukan."

************

************

1
Maulida Maulida
seru bgt
Maulida Maulida
sedih banget part ini😭 suka bgt cerita nya thor
Yasmin Natasya
up dong thor...
Endang 💖
pasti itu akal2n Siska tu hasilnya
DozkyCrazy
dasar siskamling
Endang 💖
jahat juga rupanya si Siska itu

up lagi thor
DozkyCrazy
pasti si siskamling
DozkyCrazy
syukaaa sama cerita author 😘
DozkyCrazy
Alhamdulillah
ovi eliani
Ya Allah semoga benar cuma anemia aja, tidak ada penyakit yg lain, cepat sembuh ya pengantin baru sehat 2, ya, semangat thor
Yasmin Natasya
lanjut Thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!