Laura jatuh cinta, menyerahkan segalanya, lalu dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi masa depannya—Jordan, sahabat kecil sekaligus tunangannya. Dia pergi dalam diam, menyembunyikan kehamilan dan membesarkan anak mereka sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jordan kembali hadir sebagai bosnya … tanpa tahu bahwa dia punya seorang putra. Saat masa lalu datang menuntut jawaban dan cinta lama kembali menyala, mampukah Laura bertahan dengan luka yang belum sembuh, atau justru menyerah pada cinta yang tak pernah benar-benar hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Bukan Urusanmu, Jordan!
Laura terdiam sejenak. Mata semua orang tertuju padanya. Di sudut ruangan, Jordan ikut menatapnya, kali ini lebih dari sekadar profesional.
Laura menarik napas, lalu menjawab, “Karena saya pernah hidup di dunia itu. Di dunia yang harus memilih antara cinta dan harga diri. Antara kebenaran dan kehilangan.”
Hening sesaat. Namun, kalimat itu membekas.
Investor tersenyum kecil, mengangguk, lalu berkata, “Saya rasa itulah yang membuat cerita Anda begitu hidup.”
Setelah acara, para investor menyambut Jordan dan Laura dengan pujian. Namun, di sela-sela keramaian, Jordan menarik Laura ke koridor samping yang sepi.
Perempuan itu menatapnya lama. “Semua orang terpukau, tapi aku yang paling terpukul.”
Laura mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
“Cerita itu ... bukan hanya fiksi, ‘kan?” tanya Jordan, tajam. “Itu tentang kita. Tentang yang kamu simpan, tentang yang tak pernah kamu katakan.”
Laura menunduk. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana.”
Jordan mendekat satu langkah. “Mulailah dari kenapa kamu pergi.”
Suaranya tak lagi marah. Hanya ingin tahu. Laura menatapnya dengan mata berembun.
“Aku pergi karena aku merasa tak punya tempat. Karena malam itu aku melihatmu mencium Leysha. Dan itu menghancurkanku.”
Jordan terdiam seketika. Rasa bersalah kembali bergelayut di hati lelaki tersebut. Akhirnya dia menyerah dan berjanji untuk tidak menanyakan lagi hal yang sama.
"Ternyata kamu memang sesakit itu karena salah paham masa lalu." Jordan membiarkan Laura pergi dan menghilang dari pandangannya.
---
Langit sore di Jakarta mulai meredup ketika Jordan menutup laptopnya dengan cepat. Matanya menatap satu email yang baru saja masuk dari seseorang bernama Thanapat Somchai, seorang kenalannya di Thailand yang pernah bekerja sebagai penerjemah lepas untuk perusahaan mitra mereka.
Subjek email itu sederhana, namun isinya mengguncang: “Dokumen rumah sakit Laura Saphira – tahun 2018.”
Tangan Jordan sedikit gemetar saat dia membuka lampiran. Di layar terbuka salinan registrasi kelahiran dari sebuah rumah sakit di Chiang Mai.
Nama ibu: Laura Zura Jansen
Tanggal lahir bayi: 24 Juli 2018
Jenis kelamin: Laki-laki
Nama ayah: [KOSONG]
Jordan menatap kolom itu lama sekali. Satu bagian dari dirinya ingin meragukan keasliannya. Akan tetapi, segel rumah sakit, tanda tangan bidan dan kepala medis semua resmi.
Jordan bersandar di kursinya, menarik napas panjang. Satu bagian dari teka-teki ini makin jelas: Leon adalah anak Laura. Akan tetapi, kenapa Laura tak mencantumkan nama ayah? Bukankah Noah mengaku bahwa dia adalah ayah dari Leon?
Keesokan harinya, Jordan kembali ke kantornya lebih awal dari biasanya. Kantor masih sepi, hanya satpam dan dua staf IT yang sibuk memeriksa server. Namun, pikirannya tidak berada di sana.
Jordan kembali mengingat masa lalu. Tujuh tahun lalu, malam saat dia mencium Leysha di apartemen. Jordan mengingat Laura yang tidak muncul lagi sejak malam itu.
Jordan mengingat dirinya yang mabuk, dan Leysha yang tiba-tiba mengantarnya masuk ke apartemen. Ciuman itu—singkat, kabur, dan dia bahkan tak membalas sepenuhnya. Esoknya, Laura menghilang.
Laura tak pernah menghubunginya lagi. Tak ada pesan dan alasan. Kini semuanya mulai masuk akal. Terlalu telat untuk mencegah luka, tetapi belum terlambat untuk mencari kebenaran.
Jordan membuka email Thanapat sekali lagi. Kali ini dia menelusuri informasi tambahan yang dilampirkan: nama bidan yang membantu persalinan Laura, serta alamat lama yang tercatat saat Laura tinggal di Chiang Mai—sebuah rumah sewaan kecil dekat sungai.
Jordan mengepalkan tangan. Hatinya digelayuti rasa bersalah dan marah sekaligus. Marah pada Leysha, keadaan, dan dirinya sendiri.
---
Sementara itu, Laura sedang memeriksa hasil revisi desain karakter utama game mereka. Dia duduk di bilik kerjanya, mencoba fokus. Namun, pikirannya kacau.
Sejak pertemuan emosional itu, Jordan jadi semakin sulit ditebak. Kadang diam, kadang hangat, kadang nyaris menyentuh batas personal mereka. Dia tahu ada sesuatu yang sedang Jordan telusuri. Nalurinya tak pernah salah dan itu membuatnya takut.
Ketika Jordan masuk ke ruang tim siang itu, dia membawa aura berbeda. Tatapannya tajam, tak ada basa-basi. Dia langsung menuju meja Laura.
“Bisa bicara sebentar?”
Semua orang langsung menunduk, pura-pura sibuk. Laura bangkit pelan, mengikuti Jordan ke ruang kerjanya. Begitu pintu tertutup, Jordan berbalik dengan ekspresi penuh tekanan.
“Aku tahu kamu melahirkan di Chiang Mai. Tahun 2018.”
Darah Laura seakan surut dari wajahnya.
“Aku tahu akta lahir Leon tak mencantumkan nama ayah.”
Laura menatap lantai, bibirnya bergetar.
“Kenapa?” suara Jordan nyaris tak terdengar.
Laura menggigit bibirnya, lalu akhirnya menjawab, “Ini bukan urusanmu, Jordan.”
Jordan mendekat satu langkah. “Tapi kamu bahkan tidak mencoba menjelaskan.”
"Tidak ada yang perlu dijelaskan!" teriak Laura frustrasi.
Jordan tertegun. Seketika, hatinya digenggam perasaan asing yang menyakitkan. Lelaki tersebut kembali duduk di kursinya.
Laura menghapus air matanya. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Perempuan tersebut ingin cepat-cepat keluar dari ruangan Jordan sebelum lelaki tersebut kembali mendesaknya.
"Jika tidak ada yang dibicarakan lagi, aku pergi. Permisi," pamit Laura.
Perempuan tersebut balik kanan dan berjalan menjauhi Jordan. Ketika keluar dari ruangan sang atasan, semua mata tertuju padanya. Perempuan tersebut tertunduk dalam dan kembali ke mejanya.
Tangis Laura kembali pecah. Dia membungkuk dan menyembunyikan wajah ke dalam lipatan tangan. Dia tak bisa lagi berbohong terus menerus.
Laura sadar, suatu saat nanti kebohongannya akan terungkap. Saat hal itu terjadi, dia takut Leon akan dirampas darinya. Perempuan tersebut terus menangis dalam diam hingga jam kerja berakhir.
---
"Kamu kenapa?" tanya Noah yang menyadari Laura terlihat murung sejak pulang dari kerja.
"Nggak apa-apa, Noah." Laura memaksakan senyum ketika menatap ke arah Noah.
"Laura, kita sudah mengenal sejak lama. Aku paham betul bagaimana sifatmu. Semakin kamu berucap tidak apa-apa, artinya justru ada hal besar yang sedang kamu tutupi."
"Ceritakan padaku, maka aku akan membantumu mencari jalan keluar."
Laura menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. Dia masih terlalu berat untuk bercerita. Namun, setelah berpikir lagi, mungkin dengan sedikit menceritakan kejadian hari itu kepada Noah akan sedikit mengurangi beban di hatinya.
"Jordan mulai curiga kepadaku."
"Curiga tentang apa? Apa kamu menjual ide game terbaru kepada perusahaan lain?" tanya Noah sambil tersenyum miring.
"Jangan bercanda, Noah. Aku nggak selicik itu!" Laura tersenyum kecut dan kembali mengembuskan napas berat.
"Maaf aku tidak menceritakan hal ini sejak awal. Sebenarnya Leon adalah putra kandung Jordan. Itu kenapa awalnya aku menolak untuk kembali ke sini."
Tidak ada raut keterkejutan di wajah Noah. Sebenarnya lelaki tersebut bisa menyimpulkan hal itu, mengingat terakhir kali mencuri dengar obrolan keduanya di ruangan Jordan.
"Aku bingung harus bagaimana, Noah. Dia terus mendesakku dan menyelidiki semuanya." Laura menenggelamkan wajah ke dalam telapak tangan.
"Kenapa kita tidak mencoba untuk menjadi suami istri saja?"