Aidol atau idol. Adalah istilah yang lumrah di zaman ini karena kehadirannya yang telah masif.
Chandra Kirana adalah salah satunya. Ia yang mulai dari nol, tak pernah berpikir untuk menjadi seorang idol.
Namun, ia "terperosok" ke dalam dunia itu. Dunia yang tak pernah ia tahu sebelumnya.
Mulai saat itu, dunianya pun berubah.
(Update setiap hari selasa, kamis, Sabtu dan minggu.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baginda Bram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Viola dan Anna pergi lebih dulu karena dipaksa oleh letih. Aku sangat berterima kasih karena mereka rela menemaniku padahal mereka sendiri sibuk dengan latihan mereka.
Seandainya aku sendiri yang tampil, mungkin saja aku tak akan bisa tampil dengan maksimal. Bahkan bisa jadi tujuanku bisa gagal.
Kakiku masih lemas. Punggungku bersandar ke dinding sambil menstabilkan nafas. Inginnya sih, mengunjurkan kaki, tapi masih ada hal yang perlu kulakukan.
Nafasku berangsur normal. Kumiringkan tubuh, bersandar dengan sebelah bahu. Pandanganku jadi bisa menjangkau panggung.
Kali ini adalah giliran bandnya Farrel. Aku ingin melihatnya. Tidak! Aku harus menyaksikan hasil akhirnya dengan mata kepalaku sendiri.
Empat orang menaiki panggung termasuk Farrel. Tiga orang melambai-lambai ke arah penonton. Sementara Farrel tak banyak tingkah seperti mereka.
Penonton nampak tak peduli. Mereka sebagian besar saling berbincang satu sama lain. Hanya sebagian kecil saja gadis yang meneriakkan nama Farrel.
Apa mungkin reputasinya menurun gara-gara kejadian denganku dulu?
"Are you ready?!" Pekik seseorang yang membawa mik.
Yang barusan itu jelas untuk menarik perhatian, tapi bukan perhatian yang didapat, malah tatapan kesal yang mereka hasilkan.
Aku sumringah.
"One, two, one, two, three, four."
Aba-aba barusan menjadi pertanda dimulainya penampilan mereka.
Lagu yang mereka bawakan adalah lagu pop dengan melodi yang tak terlalu rumit. Bisa dibilang, cocok untuk pemula.
Musik terdengar rapi. Suara penyanyinya pun lumayan. Aku yakin, Farrel-lah yang mengatur semuanya. Anak musisi terkenal memang hebat, bisa membuat mereka terasa enak didengar.
Tapi, enak didengar saja tidak cukup. Jika mereka tidak segera meredakan hype yang tersisa karena penampilan sebelum mereka, mereka pasti akan tenggelam.
Benar saja. Sampai akhir lagu, hanya sedikit orang saja yang memperhatikan. Itu pun karena ada Farrel di sana. Penampilan mereka yang seharusnya menjadi penampilan klimaks sekaligus penutupan, malah manjadi hambar. Bahkan, penonton kebanyakan tak peduli.
Sebagian ada yang bubar. Sebagian membicarakan penampilanku tadi. Hanya segelintir yang masih tersisa.
Yap, itu sudah pasti. Karena semua ini adalah bagian dari rencanaku.
Aku sengaja tampil sebelum mereka untuk menarik perhatian. Aku menciptakan kondisi di mana seakan aku yang menjadi penampil puncak sehingga para penonton akan mengabaikan penampilan mereka yang terlihat biasa saja jika dibandingkan penampilan kami.
Hal itu berhasil karena kami bertiga tampil dengan sangat mencolok berkat latihan kami yang keras. Tingkat keberhasilannya semakin tinggi dengan membawa dua orang yang notabenenya sangat cantik sekaligus menjual nama girls group terkenal, membuat kami menjadi pusat perhatian yang lebih ketimbang band yang hanya beberapa kali latihan.
Selain itu, sifat asli Farrel telah terungkap ketika menolakku. Ia sendiri yang menghancurkan image-nya saat itu. Membuat kekaguman para gadis mulai terkikis.
Semua ini akan berbanding terbalik kalau penampilan mereka melampaui kami. Tapi, kenyataannya, mereka adalah sekumpulan pemula dan hanya Farrel yang memliki pengalaman bermusik.
Karena itu, kehadiran kami yang tiba-tiba pasti diluar perkiraannya.
Mereka turun dari panggung dengan iringan tepuk tangan yang hampir tak terdengar. Menuruni tangga dengan wajah kusut. Tidak dengan Farrel. Wajah tampan itu nampak tak goyah.
Apa mungkin dia sudah terbiasa?
Kurasa mental yang sudah berpengalaman memang berbeda. Mereka terduduk lunglai. Sementara Farrel bergerak menjauh.
Entah sadar entah tidak, ia berjalan ke arahku. Sepertinya ia hendak ke kamar kecil. Kebetulan, aku berdiri di lorong yang biasa dilalui untuk menuju ke sana.
Makin dekat ia, makin kusadari kalau hanya air mukanya yang berubah memerah. Posisi kami sudah dekat, tapi sepertinya ia tak sadar dengan kehadiranku. Nampaknya fokusnya tersita ke hal lain.
"Selamat ya, penampilanmu bagus kok." Ucapku dengan nada meledek.
Farrel yang hampir lewat, menoleh. Kakinya berhenti melangkah. Pandangannya terangkat. Ia menatap balik. Tatapan kami bertabrakan.
"Lu ..."
Raut mukanya kini berubah. Matanya melebar. Mulutnya sedikit terbuka. Melihat hal itu, senyum tipis terbit dari bibirku.
"Gimana? Udah lupa sama gue?" tanyaku dengan nada yang langsung naik.
"L-lu ...." nadanya mulai bergetar.
Aku bersyukur bisa melihat wajah congkak itu luntur. Wajahnya kini kian memerah padam.
"Iya, kenalin, gue Kirana, orang burik yang pernah lu tolak."
"Brengsek!" Pekiknya menggelegar. "Ini semua gara-gara lu!" Bentaknya sambil memukul dinding dengan sisi kepalan tangannya.
Aku yakin pukulannya cukup kuat hingga getarannya sampai ke tempat sandaranku.
Aku tersenyum puas. Wajah kesal itu benar-benar ingin kulihat. Ia yang biasanya cool, menunjukkan ekspresi yang belum pernah kulihat sebelumnya dan mungkin kebanyakan orang juga.
Rasanya memang aneh. Senang, melihat orang lain kesal. Tapi, jujur puas sekali rasanya.
"Sial!"
Tangannya mengepal semakin kuat. Wajah tampan itu nampak berbeda sekarang. Matanya melotot hebat.
Bahagia rasanya melihat semua ekspresi yang ia tunjukkan.
"Lu sengaja 'kan bikin gue begini? Lu tau kalo mereka semua pemula, terus lu bikin pressure yang gede biar mereka ciut 'kan?"
Aku tidak tahu pasti mereka pemula atau bukan. Yang jelas, niatku hanyalah merebut segala perhatian yang seharusnya ia dapatkan.
"Sebagai sesama seniman, gue akuin kalo elu jauh di atas gue."
Hah? Kenapa dia bilang begitu?
"Tapi, sebagai Farrel Iskandar, gue enggak akan tinggal diam. Gue bakal ingat penghinaan ini. Ingat! Lu bakal bayar ini suatu hari nanti! Ketika gue ada di puncak industri musik, di situlah lu bakal nyesel atas yang lu lakuin hari ini, liat aja nanti!"
Matanya menatapku tajam. Bagai karnivora yang hendak menerkam mangsanya.
"Gue yang harusnya ngomong gitu. Lu yang akan nyesel karena dulu nginjak-nginjak harga diri gue."
"Oh gitu? Oke, kita lihat siapa yang bisa terkenal lebih dulu."
"Hm siapa takut?" Ledekku.
Farrel berlalu meninggalkanku. Aku pun tak peduli ia kemana.
Tapi kalau dipikir, Farrel memiliki previllage lebih banyak karena telah tenar lebih dulu. Prestasi yang pernah ia raih dan orang tua yang terkenal, membuatnya lebih mudah untuk dikenal banyak orang.
Tapi, aku juga tak mau membiarkannya. Aku punya sebuah grup yang tak kalah terkenalnya. Asalkan aku bisa punya jutaan fans dan menjadi center, Farrel tidak akan jadi masalah buatku.
Tapi masalahnya, bagaimana aku bisa menjadi center?
Center adalah posisi terpenting saat tampil. Bukan, bukan pemimpin. Tapi lebih seperti posisi krusial karena center itu sendiri berarti "pusat".
Dalam satu lagu, umumnya terdiri beberapa orang. Nah, center inilah yang menjadi paling depan dan di tengah. Karenanya, kalau aku berhasil menjadi center, sudah pasti aku menjadi sorotan orang-orang.
Aku tahu, tak mudah menjadi seorang center karena anggota grup ini cantik-cantik dan memiliki daya tariknya masing-masing.
Belum lagi ada anggota grup yang sangat digandrungi fans. Rasanya mustahil deh jika masih ada mereka.
Farrel pun telah lenyap dari pandanganku.
Hari ini aku cukup bahagia. Tapi, entah mengapa, aku merasa masih belum cukup. Aku tidak akan berhenti sampai di sini saja. Aku ingin lebih banyak melihat wajah rupawan itu menderita.
Walaupun begitu, rasa ingin balas dendamku belum menghilang. Aku tidak tahu rasa sakit hari itu akan bersemayam sampai kapan.
Mungkin saja selamanya.