Jangan main HP malam hari!!!
Itu adalah satu larangan yang harus dipatuhi di kota Ravenswood.
Rahasia apa yang disembunyikan dibalik larangan itu? Apakah ada bahaya yang mengintai atau larangan itu untuk sesuatu yang lain?
Varania secara tidak sengaja mengaktifkan ponselnya, lalu teror aneh mulai mendatanginya.
*
Cerita ini murni ide penulis dan fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar itu hanyalah karangan penulis, tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.
follow dulu Ig : @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 : Dina dan Samuel
Rumah Gladina selevaur terdiri dari dua lantai pada bangunan utama, lalu di sisi kanan kiri juga berdiri bangunan pendamping satu lantai. Rumah itu luas dan megah tetapi sangat sepi.
Dinding-dinding rumahnya dihiasi lukisan mahal, potongan-potongan berlian dan lampu gantung yang indah. Saat lampu besar di langit-langit rumah dinyalakan, potongan berlian di dinding nampak berkilauan. Varania yang mengikuti wanita paruh baya terpesona melihat kilauan itu.
"Silahkan, nona muda ada di dalam." Wanita paruh baya berhenti di salah satu pintu yang ada di lantai satu bangunan utama.
"Terimakasih bi," Varania mengangguk sedikit pada wanita itu, lalu membuka pintu dengan wajah penuh harapan. Ia berharap bisa mendapatkan petunjuk untuk masalahnya.
Ruangan yang ada di balik pintu itu tidak terlalu luas, televisi besar dipasang menempel ke dinding lalu selembar permadani mahal terbentang di lantai. Ada juga jendela besar di dinding sebelah kanan, saat Varania melihat keluar jendela, ia bisa melihat kolam renang di halaman belakang.
"Duduklah," kata Dina tanpa mengalihkan pandangannya, Varania duduk dengan canggung di sebelahnya. Wajah cantik itu lebih muram daripada siang tadi, alis bulan sabitnya terkadang mengernyit.
Berada satu ruangan dengan Dina, pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan Varania hilang begitu saja. Ia menatap terpaku pada wajah cantik nan muram itu. Ia dapat merasakan kesedihan mendalam Dina.
"Apa kamu sudah menemukan makam Sam?" Tanya Dina memecah keheningan. Tentu tebakan pertama Dina adalah Varania datang untuk mengajaknya pergi ke makam Sam.
Varania menggeleng, "aku datang kesini untuk menanyakan beberapa hal."
"Apa itu? Kelihatannya serius sekali,"
"Dina," Suara Varania tercekat, bukan karena takut menyinggung Gladina tetapi karena bayangan itu kembali menampakkan diri. Bayangan itu memantul di kolam renang, diam seperti biasa seolah-olah dia mengikuti kemanapun Varania pergi.
"Ada apa?" Dina melambaikan tangan di depan wajah Varania yang ketakutan. Ia mengikuti arah pandang Varania. Kolam renang. Tapi, Dina hanya melihat air dan pantulan cahaya bulan. Dina tidak melihat apa yang dilihat oleh Varania.
"Ah!" Varania tersadar, ia tidak berani lagi melihat keluar. Mengubah posisinya membelakangi jendela, Varania bertanya, "sebelum Samuel meninggal apakah dia pernah mengatakan sesuatu yang tidak biasa?"
"Apa maksudmu?" Dina nampak tidak senang, ia menatap dengan tatapan menyelidik, "kamu memiliki hubungan dengan dia?"
Oh tidak! Dina salah paham.
"Nggak, nggak." Varania menggeleng cepat, ia melanjutkan setelah Dina tidak lagi menatapnya penuh permusuhan. "Apa kamu tidak pernah merasa curiga dengan kematian Samuel yang terlalu janggal?"
Diana merenung, ia tahu memang ada yang aneh dengan kematian samuel. Tapi, Dina hanya tidak tahu bagaimana cara mengatakannya, ia tidak tahu bagaimana menjelaskan keanehan itu. Kematian Samuel terlalu aneh, bahkan Dina tidak tahu apa penyebab suaminya meninggal.
"Kamu tahu sesuatu?" Tanya Dina.
"Aku akan mengatakannya, tapi kamu harus menjawab pertanyaanku yang pertama." Kata Varania.
"Selama mengenal Sam, kami hampir tidak pernah mengobrol berdua. Dia selalu menjadi orang yang dingin, penyendiri dan tidak bisa didekati."
Sudah menjadi rahasia umum kalau Samuel memang sosok seperti itu. Dia selalu sendirian dan bahkan hampir tidak pernah terlihat bersama siapapun.
"Pertama kali kami bertemu, aku sudah melihatnya sebagai orang menarik. Aku mendekatinya, dia selalu menjauh. Tapi, terkadang dia juga menolongku." Dina melanjutkan dengan ekspresi mengenang bercampur dengan kesakitan.
"Setahun lalu kedua orang tuanya datang melamarku untuknya. Aku menerimanya karena ku pikir kami akan bisa lebih dekat. Tapi, Sam tetaplah Sam, dia tidak tersentuh sama sekali. Dia enggan membuka diri sehingga terkadang membuatku lelah."
Meskipun cerita Dina tidak ada hubungannya dengan pertanyaan, Varania tetap mendengarkan. Barangkali Dina sedang butuh seseorang untuk mendengarkan keluh kesahnya.
"Meski dia tidak pernah menunjukkan ketertarikan, dia tidak pernah menyakitiku atau memintaku menjauh. Setidaknya itulah yang aku lihat selama lima tahun mengenalnya, tapi tujuh bulan lalu dia tiba-tiba berubah menjadi orang yang lebih dingin dan sedikit berbeda."
"Orang yang berbeda?" Tanya Varania.
"Ya, dia memintaku untuk menjauh dan tidak perlu menemuinya lagi. Dia juga mengatakan akan membatalkan pernikahan kami, tetapi karena paksaan ayahnya pernikahan kami tetap lanjut."
"Mungkin dia membenciku, bukankah itu penjelasan paling masuk akal?" Tanya Dina getir.
"Tapi, bisa saja dia memintamu menjauh karena sesuatu telah terjadi sama dia." Varania memiliki beberapa tebakan di hatinya, salah satunya perubahan Samuel pasti ada hubungannya dengan kulit pucat dan matanya yang berubah layu.
"Tidak ada yang terjadi, dia hanya membenciku dan tidak menginginkanku." Kata Dina, sudut matanya agak basah, ia berusaha menahan agar air matanya tidak jatuh.
"Dina, apakah Samuel memang berkulit pucat sebelumnya?" Ini adalah pertanyaan yang paling ingin Varania ketahui jawabannya.
Dina memejamkan matanya sejenak, mencoba mengingat lalu saat membuka mata dan menggeleng.
Kalau begitu, apa yang terjadi dengan samuel juga akan terjadi dengan Varania. Memikirkan ia akan mati tujuh bulan lagi, membuat Varania menghela nafas berat. Jika ia tidak menemukan solusi, maka akhirnya akan sama dengan Samuel.
"Kenapa kamu menanyakan itu?" Alis Dina mengerut, sedetik kemudian matanya membola, "maksudmu dia sakit?"
Tiba-tiba pintu terbuka, wanita paruh baya yang tadi mengantarkan Varania masuk membawa nampan berisi minuman dan cemilan.
"Ini minuman dan cemilannya, nona."
"Terima Kasih, Bula. Kamu keluar dulu." Kata Dina mengambil nampan dari tangan Bula.
"Baik, non." Bula menunduk sopan, kemudian segera keluar dan menutup pintu kembali.
"Minumlah," Kata Dina.
Varania tersenyum tipis, meraih cangkir itu, namun saat hendak minum ia melihat ada rambut dalam cangkir tersebut.
'rambutnya sama dengan yang ada di rumah'. Varania meletakkan kembali cangkir itu, ia bisa melihat ada lumpur yang menempel di rambut dan tidak larut dalam air. Ia tidak bisa meminumnya.
"Kenapa tidak diminum? Kamu tidak suka teh?" Tanya Dina.
"Aku biasanya minum kopi," jawab Varania beralasan.
"Aku akan meminta Bula menggantinya,-"
"Tidak usah. Kita lanjutkan saja ngobrolnya." Varania dengan cepat menolak. Siapa yang tahu akan ada rambut lagi, jika dalam kopi tentu tidak akan terlihat.
Bayangan? Rambut? Keanehan ibunya? Kematian Samuel?
Kejadian-kejadian itu seperti teror hitam yang mengintai hidup Varania, lengah sedikit saja mungkin mereka-mereka yang berbeda itu akan membawanya pergi. Sama seperti, saat Samuel dibawa pergi.