NovelToon NovelToon
THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:436
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah fahra

Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.

Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.

Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16 MENARA AKHIR DAN RAHASIA YANG TERKUBUR

Menara Akhir dan Rahasia yang Terkubur

Menara itu berdiri di ujung cakrawala seperti mimpi buruk yang berubah jadi nyata—hitam, tinggi, dan menyentuh langit seolah ingin menantang dewa-dewa Aedhira. Angin di sekitar Menara Akhir membawa aroma logam dan tanah hangus, membuat bulu kuduk Lyra berdiri.

“Jadi… kita beneran ke sana?” Kaelen berdiri di samping Lyra, memandang siluet menara dengan ekspresi seperti orang yang baru sadar kalau liburan mereka sebenarnya adalah tur ke rumah hantu.

“Gue nggak jalan sejauh ini cuma buat liat-liat,” balas Lyra sambil menarik tudung jubahnya lebih rapat. Udara di tempat ini beda. Lebih dingin, tapi juga lebih… berat. Seolah tiap helaan napas harus diperjuangkan.

Arven menunduk, jarinya menyentuh tanah yang retak dan terbakar. “Jejak sihir hitam. Kuat. Kayaknya tempat ini pernah jadi medan perang antara dua kekuatan kuno.” Ia berdiri dan memandang Lyra. “Kau yakin bisa menghadapi apa pun yang ada di dalam sana?”

“Gue nggak yakin,” jawab Lyra jujur. “Tapi kalau ibuku pernah ke sini… dan kalau ayah gue juga ada di balik semua ini, maka gue harus masuk. Entah siap atau nggak.”

Kaelen menatap mereka berdua, lalu menghela napas panjang. “Oke. Kalian serius banget, ya? Gue ikut… tapi kalau ada zombie naga, gue cabut duluan.”

“Deal,” kata Lyra dengan senyum tipis.

Mereka melangkah pelan menuju menara. Langkah mereka seperti ditarik oleh kekuatan tak terlihat. Jalanan menuju Menara Akhir bukan jalan biasa. Tanahnya terbuat dari lempengan batu yang bersinar samar-samar, seperti menyimpan energi kuno di dalamnya.

Di kanan kiri jalan, berdiri patung-patung raksasa yang bentuknya tidak manusiawi. Ada yang bersayap, ada yang berkepala tiga, dan ada pula yang seperti manusia tapi wajahnya terhapus.

“Mereka penjaga,” bisik Arven. “Atau dulu… pernah jadi penjaga. Sekarang hanya tinggal cangkang.”

Tiba-tiba, salah satu patung menggerakkan kepala. Perlahan. Sangat pelan. Tapi cukup untuk membuat Kaelen menjerit kecil, “OKE! Itu barusan gerak! GUE LIAT SENDIRI!”

“Tenang,” kata Lyra, meskipun jantungnya juga mulai berdansa salsa di dalam dadanya. “Selama kita nggak ganggu, harusnya mereka cuma… patung.”

Kaelen mengerutkan alis. “Ly, itu kayak bilang, ‘Selama kita nggak nginjek kuburan vampir, harusnya dia nggak bangun.’ Lo sadar kan betapa konyolnya kalimat itu?”

Arven tertawa kecil. “Dia ada benarnya juga, Lyra.”

Lyra cuma menghela napas. “Ya udah. Jalan cepetan. Sebelum patung-patung ini beneran ngajak kita main petak umpet.”

Begitu langkah terakhir mereka menginjak pelataran Menara Akhir, hawa sekitarnya berubah drastis. Udara mendadak kering, sunyi, dan menggema aneh seolah suara mereka disedot dinding-dinding tak kasatmata.

Pintu masuknya… nggak ada. Yang ada hanya dinding batu halus tanpa satu celah pun.

“Uh. Gimana caranya masuk kalau pintunya aja nggak kelihatan?” Kaelen ngetok-ngetok tembok pakai pedangnya, berharap ada semacam tombol rahasia atau pintu tersembunyi.

“Tunggu,” bisik Lyra sambil mendekatkan tangan ke dinding.

Begitu jarinya menyentuh batu itu, simbol berbentuk mata terbuka muncul perlahan, membara merah seperti bara. Dinding itu pun bergetar… lalu membuka ke arah samping dengan bunyi gemeretak yang bikin gigi ngilu.

“Sihir darah,” gumam Arven. “Menara ini mengenalmu.”

Lyra mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”

“Artinya kau punya darah yang terikat dengan tempat ini. Keturunan yang ditunggu… atau ditakuti.”

Kaelen nyengir kecil, mencoba menormalkan suasana. “Yah, minimal kita nggak harus main lempar batu ke pintu kayak orang barbar. Sopan juga nih menara.”

Mereka melangkah masuk. Interiornya jauh dari bayangan mereka—bukan ruangan gelap dan penuh tengkorak, tapi lebih seperti kuil tua. Ada tangga spiral raksasa di tengah aula, melilit hingga ke atas yang tak kelihatan ujungnya. Di dinding, lukisan mural usang menggambarkan sejarah Aedhira… atau lebih tepatnya, sejarah yang ingin dilupakan.

Di salah satu lukisan, tampak seorang perempuan berambut perak memegang bayi yang bersinar keemasan. Di belakangnya, sesosok pria berjubah gelap mengintai dari balik bayangan.

Lyra menatapnya tajam. “Itu… ibu gue. Dan itu…”

Arven melanjutkan, “Auron Draveil. Ayahmu. Atau… makhluk yang mengklaim dirinya begitu.”

Jantung Lyra mencelos. “Dia mengawasi kami bahkan sebelum aku bisa jalan?”

“Sepertinya lebih dari itu. Dia menciptakanmu untuk sesuatu yang lebih besar. Atau lebih jahat,” jawab Arven pelan.

Kaelen menatap lukisan itu lama, lalu bergumam, “Oke, ini level drama keluarga yang nggak bakal bisa diselesaikan sama counseling.”

Mereka mulai menapaki tangga.

Satu lantai. Dua lantai. Tiga lantai…

Setiap lantai menyimpan ilusi. Yang pertama menunjukkan masa kecil Lyra—ia bermain dengan ibunya, tertawa. Tapi bayangan hitam selalu mengintai dari pojok, membentuk wajah Auron. Lyra hampir saja berlari ke arah ibunya—lalu Arven menariknya kembali.

“Itu bukan nyata.”

“Kelihatan banget nyatanya!” Lyra berteriak marah. “Gue… kangen dia.”

“Justru itu. Ilusi ini memanfaatkan kerinduanmu.”

Mereka terus naik, menghadapi lantai demi lantai yang semakin gelap, semakin mengusik emosi terdalam. Ada yang menampilkan masa depan: Lyra memimpin pasukan, atau sebaliknya—Lyra duduk di atas takhta kegelapan, matanya bersinar merah seperti milik Auron.

Kaelen sempat diam cukup lama di salah satu ilusi—saat ia melihat ibunya kembali hidup. Tapi akhirnya ia melangkah pergi dengan kepala tertunduk, tak berkata apa-apa.

Di lantai ke-12, mereka menemukan sesuatu yang bukan ilusi.

Seseorang berdiri di tengah ruangan. Tinggi, berjubah, dengan rambut gelap berkilau seperti obsidian. Matanya… bukan merah. Tapi abu-abu. Kosong.

“Selamat datang, Lyra Caellum,” katanya. Suaranya bergema lembut, tapi menusuk.

Lyra menggertakkan giginya. “Auron.”

“Sebagian dari dirimu memanggilku… Ayah.”

Kaelen dan Arven langsung siaga. Tapi Auron mengangkat satu tangan. “Aku tidak di sini untuk bertarung… belum. Hanya ingin kau tahu… bahwa semuanya akan berubah. Menara ini… akan memilihmu.”

Lyra maju satu langkah. “Gue nggak tertarik jadi pion lo.”

Auron tersenyum tipis. “Aku tahu. Tapi kadang… bahkan raja pun adalah bidak. Dan papan catur ini sudah dipasang jauh sebelum kau lahir.”

Setelah Auron menghilang seolah cuma asap tebal yang tertiup angin, keheningan kembali menggulung ruangan. Tapi bukan keheningan yang menenangkan—ini keheningan yang bikin telinga berdesing dan jantung berdetak lebih keras dari seharusnya.

“Dia nggak bener-bener ada di sini, kan?” tanya Kaelen pelan sambil ngelap keringat dingin dari pelipisnya.

“Ilusi. Tapi bukan sembarang ilusi,” jawab Arven. “Itu pantulan kehendaknya. Dia bisa menanam kesadarannya di tempat yang terikat oleh darahnya.”

Lyra masih berdiri terpaku. Tangan kirinya mengepal, kukunya menancap ke telapak. “Dia tahu aku akan ke sini. Dia tahu aku… bakal bangkit.”

Arven memutar tubuhnya menghadap tangga berikutnya. “Itulah kenapa kita harus naik. Semakin cepat kau tahu kebenaran, semakin sedikit celah dia bisa manfaatkan untuk mengaburkan siapa dirimu sebenarnya.”

Tangga berikutnya terasa lebih pendek. Tapi itu jebakan.

Begitu mereka menjejakkan kaki di lantai ke-13—angka yang bahkan di dunia manusia punya reputasi buruk—semua lampu padam. Dinding menutup di belakang mereka. Dan dari kegelapan… suara mulai terdengar. Bukan bisikan. Tapi tawa.

Tawa anak-anak.

Tawa yang tidak semestinya ada di tempat seperti ini.

Kemudian… cahaya biru redup menyala, dan di hadapan mereka, muncul ruang kelas. Bangku-bangku kayu berjejer. Papan tulis retak tergantung miring. Dan di tengahnya berdiri seorang anak kecil dengan rambut perak—mirip Lyra, tapi jauh lebih muda.

“Aku benci tempat ini,” kata si anak kecil, wajahnya marah. “Aku sendirian. Mereka bohong. Mereka semua bohong.”

Lyra melangkah maju, merasa tubuhnya gemetar tanpa alasan. “Kamu… aku?”

Anak itu menoleh. Matanya memerah. “Aku bagian dari dirimu yang lo kubur. Kemarahan lo. Luka lo. Semua yang lo tolak buat lihat. Tapi sekarang… lo nggak bisa lari lagi.”

Dinding mulai runtuh. Bangku meleleh. Anak itu melompat ke arah Lyra, berubah menjadi bayangan hitam yang melilit tubuhnya—mencekik, menekan, menghimpit dari dalam.

Kaelen langsung maju, mencoba mengayunkan pedangnya. Tapi tak ada yang bisa disentuh. Arven menyalakan api sihir, tapi semuanya ditembus kabut gelap itu.

Lyra berteriak, tapi bukan dalam kesakitan. Dalam perlawanan. “Lo cuma… rasa takut! Lo bukan gue!”

Bayangan itu mengerang—retakan cahaya mulai muncul di antara lilitan gelapnya.

“Aku bisa hidup TANPA lo. Tapi gue juga tahu gue nggak bisa buang lo.”

Dengan kedua tangannya, Lyra merangkul bayangan itu—peluk erat seperti memeluk diri sendiri. “Lo luka gue. Tapi juga kekuatan gue.”

Dan tiba-tiba—BOOM!—cahaya biru meledak dari tubuh Lyra. Bayangan itu lenyap, dan ruangan kelas berubah menjadi cahaya putih bersih.

Lalu mereka kembali ke tangga. Nafas Lyra tersengal, tapi matanya tajam.

“Apa itu tadi?” tanya Kaelen.

“Ujian. Dan kayaknya, bukan yang terakhir,” jawab Arven sambil melangkah pelan naik ke lantai ke-14.

“Kayaknya ‘Menara Akhir’ ini lebih cocok disebut ‘Menara Kenangan Mengganggu’ deh,” Kaelen menggumam, membuat Lyra tertawa kecil—tawa pertama setelah sekian jam.

Tapi kesenangan itu hanya sebentar.

Di lantai berikutnya, mereka menemukan sesuatu yang tak mereka harapkan.

Seseorang duduk di atas singgasana batu di tengah ruangan yang remang-remang. Rambut peraknya seperti salju. Matanya… mirip mata Lyra. Tapi auranya seperti hantu.

“Selamat datang, anakku,” ucap wanita itu.

Lyra terhenti. Mulutnya terbuka, tapi suara tak keluar.

Arven menunduk. “Lady Valira Caellum. Ibunda Lyra.”

“Gue… gue pikir lo udah mati,” bisik Lyra.

Valira tersenyum lembut. “Aku memang sudah tiada. Tapi sebagian jiwaku terikat ke tempat ini… karena satu alasan. Untuk memberikan kebenaran padamu, saat kau sudah cukup kuat untuk menerimanya.”

Ruangan terasa sunyi. Terlalu sunyi.

Lyra berdiri terpaku. Di depannya, sosok Valira—ibunya—terlihat begitu nyata, begitu hidup… tapi juga terlalu tenang untuk disebut manusia biasa. Tubuhnya hampir transparan, dengan garis cahaya lembut menyusuri kulitnya seperti akar-akar sihir.

“Kenapa... kenapa lo baru muncul sekarang?” suara Lyra lirih, tapi jelas menyimpan amarah.

Valira menundukkan kepala, rambut peraknya jatuh seperti tirai. “Karena dulu aku tidak cukup kuat untuk meninggalkan warisan yang benar. Karena ayahmu... Auron, mengurung sebagian jiwaku di menara ini. Dia tidak ingin kau tahu siapa dirimu.”

Kaelen mencengkeram gagang pedangnya. “Tunggu. Auron bukan cuma penguasa Dunia Bawah. Dia juga... ayah Lyra?”

Lyra mengangguk pelan. “Dia ngaku begitu... dan katanya ibuku ikut-ikutan.”

“Tapi aku tidak pernah berdiri di pihaknya,” Valira melanjutkan. “Aku mencintai Auron—dulu. Sebelum dia menjadi Raja Kelam. Sebelum dia menghancurkan semua yang aku lindungi. Termasuk dirimu.”

Arven tampak tegang. Ia menatap Valira, lalu Lyra, lalu lantai, seolah mencoba mencerna dua dekade kebohongan dalam dua menit.

“Aku menyembunyikanmu di dunia manusia, berharap kau bisa tumbuh tanpa beban takdir. Tapi Auron... dia selalu tahu caramu berpikir, Lyra. Kau terlalu mirip dengannya. Terlalu keras kepala. Terlalu penuh api.”

Lyra mendekat satu langkah. “Lalu kenapa lo masih ada di sini? Kalau jiwa lo bisa bicara, kenapa nggak dari dulu?”

“Ada harga,” bisik Valira. “Setiap serpihan jiwaku yang muncul… aku kehilangan bagian dari diriku. Ini adalah yang terakhir.”

Lyra terdiam. “Jadi setelah ini… lo bakal bener-bener lenyap?”

Valira tersenyum pahit. “Mungkin. Tapi sebelum itu, kau harus tahu sesuatu.”

Ia mengangkat tangannya, dan di udara terbentuk sebuah lingkaran sihir berwarna keperakan. Dari dalamnya, muncul gambar—memori. Lyra kecil. Seorang bayi. Digendong oleh Valira, lalu diserahkan kepada sosok berjubah gelap.

“Siapa dia?” tanya Lyra.

“Namanya Aezra. Dia penyihir pelindung dari klan terakhir Penjaga Gerbang. Orang yang menyembunyikanmu di dunia fana. Orang yang… dibunuh Auron setelah ketahuan.”

Lyra mengepalkan tinjunya.

“Kenapa lo nggak nyelamatin dia?”

Valira terdiam cukup lama sebelum menjawab, “Karena saat itu aku sudah setengah mati. Tubuhku terbakar dalam kutukan sihir gelap milik Auron. Aku hanya bisa menyelamatkan satu hal… kamu.”

Tiba-tiba, seluruh ruangan bergetar. Dinding retak. Arven memutar tubuhnya.

“Dia tahu kita di sini,” desisnya. “Auron sedang membuka jalur paksa ke menara ini.”

“Waktuku habis,” kata Valira cepat. “Dengarkan aku, Lyra. Auron tidak hanya ingin kekuasaan. Dia ingin tubuhmu. Jiwa campuran sepertimu—keturunan Cahaya dan Kelam—adalah wadah sempurna.”

Lyra mundur setengah langkah. “Dia mau... ngambil alih tubuhku?”

Valira mengangguk. “Dan itu tidak bisa dibiarkan.”

Ia mendekat, menyentuh dahi Lyra dengan telapak tangannya yang mulai berpendar. “Aku akan meninggalkan satu bagian terakhir dariku dalam ingatanmu. Sebuah mantra kuno. Kau akan tahu kapan menggunakannya.”

Dan perlahan, tubuh Valira mulai menghilang, seperti kabut diserap cahaya pagi.

“Maafkan aku karena tidak cukup kuat melindungimu, Lyra…” bisiknya, sebelum lenyap sepenuhnya.

Untuk sesaat, tidak ada yang bicara. Bahkan Kaelen.

Lalu Lyra berbalik, wajahnya tegas. “Kita naik.”

“Lo yakin? Lo baru aja kehilangan—”

“Justru karena itu. Gue nggak akan biarin pengorbanan Ibu sia-sia.”

Mereka melangkah ke tangga terakhir.

Tangga terakhir menanti mereka—spiral batu yang menanjak melintasi dinding gelap dan cahaya kehijauan yang berkedip-kedip seperti nyala kutukan. Tidak ada suara kecuali derap langkah mereka dan desiran napas yang tertahan.

“Kenapa menara ini tiba-tiba terasa... hidup?” Kaelen bergumam, jarinya menelusuri batu yang hangat seperti kulit.

“Karena dia tahu kita akan sampai ke atas,” jawab Arven datar. “Dan Auron nggak pernah membiarkan akhir berjalan sesuai rencana orang lain.”

Lyra menggenggam belatinya, mata bersinar redup. “Ya? Gue juga nggak.”

Saat mereka menginjak puncak menara, langit Aedhira terbelah. Petir berwarna ungu menyambar, dan dari retakan di angkasa, sebuah sosok turun seperti dewa neraka: tinggi, berjubah kelam, dan mata yang menyala dengan api hijau tak wajar.

Auron Draveil telah datang.

“Putriku,” suaranya bergema seperti ribuan suara sekaligus, dalam dan menyesakkan. “Akhirnya kau kembali.”

Lyra berdiri tegak, walau lututnya gemetar. “Jangan panggil gue begitu. Lo bukan apa-apa selain monster.”

“Monster yang memberimu darah, kekuatan, dan takdir.”

Arven berdiri di sisi Lyra, mengangkat belatinya. “Kita tidak akan biarkan kau menyentuhnya.”

Auron hanya tersenyum tipis. “Oh, aku tidak perlu menyentuh. Ia akan datang sendiri—ketika waktunya tiba.”

Dan tiba-tiba, Auron mengangkat tangannya, menciptakan ledakan energi yang menghantam mereka berempat. Dinding menara bergetar, sebagian runtuh. Kaelen melompat melindungi Lyra, sementara Arven menarik busur sihir dari udara, melepaskan panah bercahaya yang menembus kabut Auron.

“Percuma,” gumam Auron, tak bergeming sedikit pun. “Kalian hanyalah potongan-potongan kecil dalam skenario ini.”

Namun Lyra tak lagi diam. Dalam kepalanya, mantra dari ibunya muncul—rangkaian kata dalam bahasa yang terasa terlalu tua untuk diucapkan, namun sangat familiar. Ia mengangkat kedua tangannya, dan seluruh udara di sekitar menara mulai berubah—seperti dipelintir oleh kekuatan yang lebih dalam dari dunia itu sendiri.

Auron menoleh cepat, wajahnya berubah serius. “Apa yang kau lakukan?”

“Ngasih lo rasa takut,” jawab Lyra. “Sesuatu yang lo pikir udah punah.”

Dengan segenap kekuatan, ia melafalkan mantra terakhir. Cahaya biru menyelimuti tubuhnya, dan suara ibunya terdengar samar: Jangan lawan dengan kekuatan. Lawan dengan kebenaranmu.

Sebuah ledakan putih meledak dari tubuh Lyra, menabrak Auron seperti gelombang tsunami tak kasatmata. Sosok pria itu terhempas, tubuhnya terurai menjadi bayangan gelap yang mengerang dan menghilang.

Sementara itu, langit Aedhira mereda. Awan terbelah, dan sinar matahari pertama dalam ribuan tahun menembus cakrawala.

Lyra jatuh terduduk, napas tersengal, tubuhnya bergetar hebat. Kaelen menahan tubuhnya, wajah cemas.

“Lo berhasil…,” gumamnya.

Arven menatap langit. “Untuk sekarang.”

Lyra membuka matanya, menatap ke arah ufuk yang perlahan cerah. “Ini belum selesai. Tapi setidaknya… sekarang gue tahu siapa gue sebenarnya.”

Dan untuk pertama kalinya, Lyra Caellum—putri Valira dan Auron, anak dua dunia—merasa berdiri di atas takdirnya sendiri.

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!