Alya adalah gadis mandiri yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Hidupnya sederhana namun bahagia, hingga suatu hari ia harus menghadapi kenyataan pahit, ayahnya terlilit utang besar kepada seorang pengusaha kaya, Dimas Ardiansyah. Untuk melunasi utang itu, Dimas menawarkan satu-satunya jalan keluar—Alya harus menikah dengannya. Masalahnya, Dimas sudah memiliki istri.
Dengan hati yang terpaksa dan demi menyelamatkan keluarganya, Alya menyetujui pernikahan itu dan menjadi madu. Ia masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang dingin, penuh rahasia, dan ketegangan. Istri pertama Dimas, Karin, wanita anggun namun penuh siasat, tidak tinggal diam. Ia menganggap Alya sebagai ancaman yang harus disingkirkan.
Namun di balik sikap dingin dan keras Dimas, Alya mulai melihat sisi lain dari pria itu—luka masa lalu, kesepian yang dalam, dan cinta yang belum sempat tumbuh. Di tengah konflik rumah tangga yang rumit, kebencian yang mengakar, dan rahasia besar dari masa lalu,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18
Alya sedang menyapu teras kafe ketika mobil hitam itu berhenti di seberang jalan. Ia mengerutkan kening, sempat berpikir mungkin itu pelanggan baru — sampai pintu terbuka dan seorang gadis kecil melompat keluar.
Rey dan anak pria itu.
“Alya!”
Alya terpaku. Bahkan sapunya jatuh ke lantai.
Rey berdiri tegak, dengan ekspresi yang sulit ditebak — seperti seseorang yang tahu ia sudah terlambat… tapi tetap memilih datang.
“Hai,” ucapnya pelan. “Maaf datang tanpa kabar.”
“Kamu… ngapain ke sini?”
“Ketemu sama kamu. Dan... menjawab pertanyaan yang belum sempat ku jawab.”
Hari itu berjalan canggung.
Alya mengajak anaknya Rey masuk ke kafe, membiarkan Rey duduk di meja luar. Beberapa jam kemudian, ketika pelanggan mulai sepi, barulah mereka bicara.
“Kamu tahu aku pergi bukan untuk menghindar, kan?” tanya Alya.
“Aku tahu. Kamu pergi… karena kamu butuh menjadi dirimu lagi.”
Rey menatap matanya dalam-dalam.
“Dan aku datang bukan untuk menarik-mu kembali. Tapi untuk bilang… aku masih di sini. Di tempat yang sama. Menunggumu. Meskipun hatimu mulai berpindah.”
Alya terdiam. Ia ingin menyangkal, tapi tak bisa.
“Aku pria baik,” kata Rey akhirnya.
“Aku tidak—”
“Kamu tidak harus menjelaskan. Aku cuma ingin kamu tahu, aku mengerti. Dan aku tidak datang ke sini untuk bertanding.”
“Lalu untuk apa kamu datang, Rey?”
Rey menarik napas panjang.
“Untuk bilang... bahwa aku sadar. Selama ini aku pikir mencintaimu cukup dengan memperbaiki luka. Tapi ternyata, kamu tidak hanya butuh sembuh. Kamu butuh ruang. Butuh dilihat… sebagai perempuan yang bisa memilih, bukan sebagai istri yang kembali karena keadaan.”
Alya menangis.
Bukan karena sedih. Tapi karena akhirnya, Rey membiarkannya bebas. Dan di tengah rasa haru itu, Rey mengeluarkan sesuatu dari jaketnya — sebuah buku catatan lusuh.
“Ini jurnal kamu.”
Alya terkejut. “Kamu baca?”
“Tidak semuanya. Tapi yang terakhir... kamu tulis bahwa kamu ingin dicintai bukan karena luka.”
Rey tersenyum kecil. “Dan itu membuatku sadar. Aku mencintaimu bukan karena kamu pernah patah. Tapi karena kamu… adalah satu-satunya tempat aku merasa ingin pulang.”
Tiba-tiba, Fahri muncul.
Ia berdiri di ambang pintu, tak jauh dari mereka. Menatap, tidak dengan marah, tidak juga menuntut.
“Alya,” katanya pelan. “Aku bisa datang lain waktu, kalau kamu butuh waktu.”
Alya menatap keduanya. Lalu berdiri.
“Tidak. Aku... harus menghadapi ini sekarang.”
Dia menatap Fahri lebih dulu. “Kamu tahu aku nyaman bersamamu. Tapi mungkin... terlalu nyaman. Sampai aku takut, aku hanya sedang bersembunyi.”
Lalu ia menatap Rey. “Dan kamu... kamu mencintaiku dengan luka yang sama-sama belum selesai. Tapi sekarang aku lihat, kamu tidak hanya datang sebagai suami, Rey. Kamu datang sebagai laki-laki yang akhirnya... bisa merelakan.”
Alya menunduk. Hatinya gemetar.
“Aku tidak tahu siapa yang akan kupilih hari ini. Tapi aku tahu satu hal…”
“Aku ingin memilih bukan karena siapa yang paling mencintaiku, tapi karena siapa yang membuatku paling mengenal diriku sendiri.”
Malam itu, Alya duduk sendirian di balkon rumah tantenya.
Bintang bersinar malu-malu. Di tangannya, dua pesan masuk.
Dari Fahri,
“Terima kasih sudah jujur. Apapun keputusanmu nanti, aku tetap mendoakan mu utuh.”
Dari Rey,
“Kalau kamu memilih bukan aku, aku akan belajar melepaskan dengan hormat. Tapi kalau kamu memilih aku lagi... kali ini, aku akan mencintaimu dengan benar.”
Alya menulis di jurnalnya,
“Dua hati. Dua arah. Tapi mungkin... ini bukan tentang siapa yang kupilih. Ini tentang siapa yang membuatku yakin, bahwa aku layak memilih.”
Cinta sejati bukan hanya soal siapa yang mengejar, tapi siapa yang tetap tinggal — bahkan ketika tak lagi dipilih. Dan malam itu, Alya sadar: untuk pertama kalinya, ia bukan lagi perempuan yang menunggu dicintai… tapi perempuan yang belajar mencintai dirinya sendiri lebih dulu.
*
Malam itu, Rey berdiri di depan rumah tante Alya untuk terakhir kalinya sebelum kembali ke Jakarta.
Tangannya gemetar ketika menatap jendela yang tak kunjung terbuka. Ia tahu, hatinya tak akan bisa berhenti mencintai Alya. Tapi ia juga sadar, kadang cinta tidak cukup untuk dimenangkan — apalagi ketika yang dicintai memilih jalan yang tak mengarah padamu.
Alya sendiri tengah gelisah.
Bukan hanya karena Rey datang kembali membawa perasaan yang tak kunjung padam, tapi karena satu nama kembali muncul di hidupnya
Fahri
Rey di sisi lain tidak menyerah.
Ia mulai menulis surat, satu per satu. Tentang bagaimana ia dulu terlalu sibuk memperbaiki citra dirinya di mata orang tua. Tentang bagaimana ia menyalahkan keadaan atas kehilangan. Ia menulis dengan jujur, dengan luka yang terbuka.
“Aku kamu sudah berubah. Tapi kamu mencintai-ku dengan cara yang lebih tulus daripada siapapun. Dan aku sadar... aku mencintaimu bukan sebagai ibu dari anakku, tapi sebagai perempuan yang tetap tinggal meski tak dihargai.”
Hari itu, Alya menerima kertas dari Dimas yang di berikan oleh adiknya.
Alya membuka kotak itu. Di dalamnya
Satu buku kecil berisi tulisan tangan Dimas doa-doanya untuk kebahagiaan Alya.
Sebuah kalung dengan inisial “A”.
Dan satu surat:
“Jika aku pergi lebih dulu, dan kamu akhirnya bertemu dengan seseorang yang membuatmu merasa tidak harus berpura-pura kuat, izinkan hatimu jatuh lagi, Alya. Kamu berhak bahagia. Tidak karena siapa kamu dulu, tapi karena siapa kamu sekarang.”
Air mata Alya pecah.
Bukan karena sedih, tapi karena selama ini ia tak pernah mengizinkan dirinya sembuh. Dan mungkin…