Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
Pagi itu, suasana dirumah Arif Dan Amira masih sunyi. Arif bersiap berangkat kerja seperti biasa. Tiba-tiba, suara bel rumah memecah kesunyian. Ia berdiri dan membuka pintu.
Seorang perempuan berdiri di depan sana. Penampilannya anggun, rambutnya panjang tergerai, dan senyumnya sangat ramah.
“Maaf, ini rumah Arif?” tanyanya sopan.“Iya, betul. Saya Amira, istrinya,” jawab Amira dengan sopan.
Perempuan itu tampak sedikit terkejut, tapi cepat menguasai ekspresinya. “Oh… jadi kamu istrinya sekarang. Aku Livia. Teman lama… lebih tepatnya sahabat Rani dulu.”
Amira mempersilakan Livia masuk. Mereka duduk di ruang tamu. Livia mulai bercerita tentang masa lalu, tentang bagaimana ia dan Rani dulu sangat dekat. Ia tampak akrab menyebut nama Arif berkali-kali, dan bahkan memuji Maira yang katanya sangat mirip dengan ibunya.
Aku dengar kabar Rani dari jauh waktu itu. Tapi aku nggak sangka... semuanya berubah secepat ini,” ucap Livia sambil mengamati rumah dengan pandangan yang terasa terlalu dalam.
Amira hanya tersenyum tipis, berusaha tetap ramah.
Livia tersenyum, lalu berkata dengan nada agak berbeda, “Arif... dia tetap tampan seperti dulu ya. Nggak banyak berubah. Dulu waktu aku dan Rani masih sering ke sini, dia selalu jadi pusat perhatian.”
Amira merasakan sesuatu di balik kalimat itu. Tatapan Livia tidak lagi sebatas nostalgia.
“Waktu aku dengar dia menikah lagi, aku kira... ya, mungkin bukan karena cinta. Karena seingatku, Arif itu... susah sekali membuka hatinya setelah kehilangan Rani.”
Kata-kata itu seperti disisipkan dengan sengaja, dan Amira tahu Livia sedang menguji sesuatu.
Entah posisinya, atau rasa percaya dirinya sebagai istri.
Sebelum Livia pamit, ia sempat berkata, “Kapan-kapan aku datang lagi ya. Maira pasti senang diceritain ibunya dari sahabatnya sendiri.”
Amira hanya mengangguk pelan.
Dan saat pintu tertutup kembali, Amira menyandarkan diri di baliknya, menghela napas panjang.
Bayangan Rani belum sepenuhnya pergi, dan kini datang seseorang dari masa lalunya, yang sepertinya tak sekadar ingin bernostalgia.
Mengapa di saat hubunganku dan Mas Arif membaik, kini datang sahabat Rani, pertanda apa ini? Apakah ini akan mengganggu hubungan kU dengan Mas Arif nantinya.? Tidak ini tidak boleh terjadi," kata Amira dalam hati.
Setelah kedatangan Livia, Amira mencoba untuk tetap tenang. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Kesan pertama yang ia rasakan dari Livia adalah sebuah aura yang sangat percaya diri, seolah-olah dia merasa memiliki hak atas sesuatu yang lebih dari sekadar sahabat lama.
Sorenya Arif pulang dari kantornya, dia melihat istrinya seperti ada yang difikirkan, "Mira, apakah ada yang mengganjal di pikiranmu saat ini?" Arif
" Mas, tadi ada perempuan yang datang kesini, dia bilang dia sahabat dari Rani, dan teman lamamu."
Arif terkejut, namun dia tidak menunjukkan ekspresi terkejut sama sekali. " Apakah ada yang dia sampaikan, Mira? Mengapa tiba-tiba sekali dia datang kesini" tidak ada mas kata Amira.
**************************************
Hari itu berlalu, dan keesokan harinya, Livia kembali datang kerumah, berpura-pura bertanya tentang Maira, padahal ada maksud lain. Sebelum kerumah ternyata Livia sudah menghubungi Arif terlebih dahulu.
Sorenya Arif kembali pulang setelah selesai bekerja. Suasana rumah seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda. Amira merasa canggung ketika Arif masuk, seolah-olah ada sesuatu yang mengambang di udara.
“Selamat sore, Mas,” ucap Amira dengan senyum tipis, meskipun hatinya sedikit gelisah.
“Selamat sore, Mira,” jawab Arif sambil meletakkan tas kerjanya dan mencium pipi Amira. Namun, sepertinya Arif tidak menyadari adanya ketegangan yang terbangun sejak kedatangan Livia.
Sebelum Amira bisa mengucapkan apa-apa, Arif melanjutkan, “Oh ya, Livia datang lagi tadi. Dia bilang ingin bertemu Maira. Gimana, Mira?”
Amira menatap Arif sebentar, lalu dengan tenang menjawab, “Ya, dia datang. Kami ngobrol sebentar, mengingat masa lalu...”
Arif mengangguk, lalu duduk di samping Amira di sofa. “Dia memang sahabat lama Rani. Waktu dulu mereka sering ke rumah, dan Livia sering mengajak kami bertemu, meski kadang aku merasa... ada yang aneh dengan caranya. Tapi Livia baik kok, Mira. Kamu nggak perlu khawatir.”
Amira menunduk sejenak, berpikir tentang apa yang tadi Livia katakan. “Livia bilang kamu masih sering ingat Rani, kan?” Amira mencoba menahan suaranya agar tetap tenang.
Arif terdiam, dan ekspresinya berubah. “Aku... ya, aku masih sering teringat Rani. Tapi itu bukan berarti aku nggak bisa bahagia dengan kamu, Mira.”
Namun, Amira merasakan ada ketegangan yang tak terucapkan. Livia telah menumbuhkan sedikit rasa tidak nyaman dalam dirinya. Tidak hanya karena dia sahabat lama Rani, tetapi juga karena ada sesuatu dalam sikap Livia yang membuat Amira merasa seperti menjadi orang asing di rumah ini.
Amira menatap Arif. “Mas, kamu pernah nggak merasa bahwa aku hanya bayangan dari masa lalumu? Seperti Rani yang masih ada di sini, meskipun dia sudah pergi?”
Arif mengangkat alis, terkejut dengan pertanyaan Amira. “Mira, kamu tahu aku... aku nggak pernah ingin membandingkanmu dengan Rani. Aku menikah denganmu karena aku percaya kamu bisa menjadi bagian dari hidupku. Tapi, aku juga manusia, Mira. Semua itu butuh waktu. Waktu untuk benar-benar melupakan yang dulu.”
Amira menatapnya dengan mata yang sedikit berkaca. “Aku nggak ingin hidup di bayangan masa lalu, Mas. Aku ingin menjadi diriku sendiri. Aku ingin kita membangun hidup baru tanpa harus terikat oleh kenangan itu.”
Arif terdiam sejenak, lalu menarik tangan Amira. “Mira, aku minta maaf jika aku masih terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Aku akan berusaha untuk itu. Kamu memang bukan Rani, dan aku tahu aku harus menerima itu. Kita bisa memulai sesuatu yang baru, pelan-pelan.”
Amira mengangguk, meski hatinya masih diliputi keraguan. Tetapi, dia ingin percaya. Percaya bahwa Arif bisa berubah dan memberikan tempat untuknya di hatinya, meskipun kenyataan bahwa Livia datang dengan ketulusan yang tersembunyi itu masih membebani pikirannya.
Namun, sebuah perasaan yang tak bisa dijelaskan terus mengusik pikiran Amira—apakah kedatangan Livia ini hanya sekadar kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih dari itu?
“Aku merasa ada yang tidak beres dari Kedaatangan Livia yang sudah 2 hari ini selalu datang kerumah, apakah benar dia hanya ingin menemui Maira, saja atau mungkin itu hanya akal-akalan nya saja untuk bisa masuk kerumah ini, setelah dia masuk dia akan menyebabkan kekacauan di rumah ini,?” Memikirknya saja membuat kepala kU pusing. “ Amira