Aku tidak tahu jika nasib dijodohkan itu akan seperti ini. Insecure dengan suami sendiri yang seakan tidak selevel denganku.
Dia pria mapan, tampan, terpelajar, punya jabatan, dan body goals, sedangkan aku wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun kecuali berat badan. Aku si pendek, gemuk, dekil, kusam, pesek, dan juga tidak cantik.
Setelah resmi menikah, kami seperti asing dan saling diam bahkan dia enggan menyentuhku. Entah bagaimana hubungan ini akan bekerja atau akankah berakhir begitu saja? Tidak ada yang tahu, aku pun tidak berharap apapun karena sesuatu terburuk kemungkinan bisa terjadi pada pernikahan kami yang rentan tanpa cinta ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Lain
"Bagaimana? Deal?"
Aku dan Vika bertatapan, kami mengambil napas dalam saat kak Alan menyodorkan tangannya untuk menawarkan sebuah kesepakatan.
Vika menjabat tangan itu dan secara langsung dia resmi menjadi kepala sekolah Pelita Harapan sebagai penggantiku.
"Baik, selamat Bu Vika. Anda sebagai kepala sekolah yang baru. Good luck!" kata kak Alan kepada Vika.
Kini, tangan itu tertuju padaku. Aku membalasnya, "Selamat juga kepada bu Dita atas sekolah komunitas tuli yang akan segera dibuka lagi di kota ini dan tentu di bawah kepemimpinan Anda," kata kak Alan padaku.
Niat hati pertemuan ini adalah untuk pengunduran diriku dan berharap akan disetujui dan masalah akan selesai begitu saja, tetapi tuhan mempunyai rencana lain.
Sejam yang lalu.
"Memangnya kenapa? Ada masalah?" Kak Alan menaikkan alisnya setelah aku menyampaikan baik secara lisan maupun tulisan atas pengunduran diriku sebagai kepala sekolah dan pihak utama yang bertanggung jawab mengelola dana sekolah dari perusahaan ini.
"Adakah alasan yang lebih logis selain karena sebuah pernikahan? Itu sebuah masalah internal Anda, Bu Dita," lanjutnya.
"Dalam perjanjian kerja sama itu, pihak kami tidak melarang dan tidak ada masalah dengan Anda berkeluarga atau mempunyai anak nantinya," terang kak Alan.
Semua orang di ruangan itu terdiam, aku dan Vika bertatapan atas pertanyaan kak Alan. Seakan semua yang aku jelaskan sebelumnya tidak profesional dan tak ada bobotnya.
"Karena saya sudah menikah, Pak," ucapku sebelumnya.
Kak Alan membenarkan posisi duduknya yang semula bersandar pada kursi empuknya. Kemudian, dia mencondongkan wajahnya ke arahku.
"Apa suami Anda keberatan dengan pekerjaan Anda, Bu Dita?" tanya kak Alan.
Sejauh ini, bahkan aku tidak pernah membicarakan pekerjaan ini dengan dia–suamiku. Aku pun menggeleng atas pertanyaan kak Alan.
Pernyataan pengunduran diriku sudah tersampaikan secara langsung di hadapan wakil direktur perusahaan sebagai klarifikasi bahwa aku mengajukan Vika sebagai pengganti pimpinan sekolah tuli Pelita Harapan setelah pengunduran diriku sebagai kepala sekolah dan juga sebagai pihak kedua atas kerja sama pembangunan sekolah itu.
"Berarti jelas, kan? Alasan pengunduran ini tidak berdasar dan ini tidak masuk profesional. Pengunduran diri itu tidak perlu. Tidak ada hubungannya apakah Anda sudah menikah atau belum. Pengunduran diri Anda ini sebaiknya jangan dilakukan atau kami akan membatalkan semua kontrak kerja sama, Bu Dita."
Aku membelalak. Kak Alan, bisa-bisanya dia mengancam begitu.
"Ya, Pak. Memang alasan saya karena sudah berkeluarga. Namun, alasan utamanya karena tidak memungkinkan bagi saya melakukan kewajiban sepenuhnya untuk mengelola dan bertanggung jawab atas sekolah itu karena saya tinggal terlalu jauh dari sana dan saya sekarang di sini merantau di kota ini mengikuti suami, Pak. Jadi, mohon jangan batalkan kerja sama itu," ujarku.
Kak Alan memundurkan tubuhnya, dia menyangga dagunya, lalu salah satu jarinya menggaruk kumis tipisnya.
"Tinggal di kota ini?"
"Iya, Pak."
Ia semringah, senyumnya lebar nan cerah.
"Baguslah, bukankah itu berarti Anda juga bisa mengelola sekolah komunitas tuli kami yang sudah lama tidak beroperasi di kota ini? Biarkan yang di sana bu Vika yang mengurus, di sini bu Dita akan kami memfasilitasi untuk mengelola sekolah komunitas yang serupa milik kami langsung. Bagaimana?"
Ting. Bersulang.
Perayaan kecil atas promosi jabatan kepada karyawan perusahaan serta diumumkannya secara resmi keikutsertaanku bergabung pada perusahaan untuk mengelola kembali sekolah komunitas di bawah Mitra Siaga Education (MS-edu). Sekolah di bawah pengelolaan langsung MS-edu anak perusahaan Mitra Siaga Company—sekolah itu akan direvitalisasi dan dibuka kembali.
Seseorang berbisik di dekatku, "Bagaimana? Tidak ada alasan lagi kan untuk suamimu melarangmu bekerja jauh-jauh?"
"Dia tidak pernah melarang, tahu saja tidak, Kak. Hehe, semoga saja seterusnya begitu," jawabku pada kak Alan yang bersandar di kursi yang sama yang sedang aku duduki.
Malam ini aku memenuhi ajakan kak Alan dan pihak kantor setelah secara resmi aku bergabung ke Mitra Siaga Company.
"Itu sudah sangat dekat dengan tempat tinggalmu. Apa lagi yang dipermasalahkan? Apartemen itu ... kamu tinggal di lantai berapa?"
Ponselku bergetar, mama mertuaku mengirimkanku sebuah pesan. "Lagi dimana, Gemoy?"
Mama Galih? Tidak biasanya mama mengirimkan pesan begini.
Tidak lama, mama menelepon. Aku meminta izin pada kak Alan untuk menjauh sebentar dari keramaian.
"Mama? Iya, kenapa, Ma?"
"Moy lagi di mana? Kok seperti ramai orang?"
Meski aku sudah menjauh, tetapi suara orang berbincang bocor sampai terdengar telepon mama.
"Iya, Dita lagi di luar, Ma."
"Dimana? Sudah malam, sama Elham?"
"Ehm ...." harus kujawab apa?
"Baiklah, sepertinya kamu sedang sibuk. Nanti mama telepon lagi. Hati-hati, ya, cepatlah pulang dan istirahat. Selamat malam, Moy."
"Iya, ... selamat malam, Ma."