Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
nabil
Sudah empat bulan berlalu sejak perceraian itu. Santi, Nabil, dan Heru menjalani hari-hari dengan berdagang keliling dari pagi hingga sore. Meski masih kerap menerima cibiran dari tetangga dan pelanggan yang meremehkan, mereka sudah kebal. Santi memilih masa bodoh. Harga dirinya bukan untuk dijual demi validasi orang-orang. Yang penting, Nabil bisa makan dan sekolah, dan ayah Heru bisa tetap berobat.
Sementara itu, kehidupan Bayu perlahan mulai membaik. Ia akhirnya diangkat sebagai karyawan tetap. Dengan gaji yang lebih besar, ia pun menyewa seorang pembantu rumah tangga.
“Tuh lihat Bayu, setelah kamu cerai dari Santi, pintu rezekimu malah terbuka lebar,” ucap Sinta suatu pagi sambil menyeruput kopi.
Bayu mengangguk kecil, tapi raut wajahnya tak menunjukkan antusiasme. “Iya, terbuka sih, Bu… tapi aku tetap ingin berhemat. Aku takut kalau suatu saat ada apa-apa, kita repot sendiri.”
Sinta menoleh heran. “Maksud kamu bagaimana, Bayu?”
“Di rumah ini ada tiga perempuan, Bu. Tapi kenapa kita harus sewa pembantu?” Bayu melirik ke arah dapur, tempat suara piring beradu terdengar samar.
“Kalau nggak sewa pembantu, terus siapa yang ngurus rumah? Kamu?” Sinta mengernyit.
“Ya Ibu, Nian, dan Nunik, kan mereka tinggal di sini juga.”
Sinta mendengus kesal. “Mereka itu nggak bisa diandalkan, pemalas semua.”
Bayu tersenyum miring. “Kalau gitu, Ibu aja yang ngurus.”
“Kamu kurang ajar ya! Mentang-mentang jadi karyawan tetap, sekarang berani ngomong begitu sama Ibu?”
“Aku pusing, Bu.” Bayu berdiri dan melangkah keluar rumah, tapi langkahnya tertahan oleh suara teriakan ibunya.
“Bayu!”
“Ada apa lagi, Bu?” tanyanya lelah.
“Sebaiknya kamu cari pengganti Santi. Biar nggak perlu lagi sewa pembantu.”
Bayu menatap ibunya lama. “Bu… mungkin di dunia ini, cuma Santi perempuan paling bodoh yang mau diperlakukan kayak pembantu padahal dia istriku.”
“Jadi kamu nuduh Ibu memperlakukan Santi seperti pembantu?”
“Iya. Waktu Santi di rumah, semuanya bersih dan teratur. Gratis pula. Sekarang, kita harus bayar orang buat kerja yang sama.”
Sinta makin sewot. “Kamu disuruh nikah aja ribet banget!”
“Ibu mau yang seperti apa?”
“Yang kerja, kalau bisa PNS. Biar pasti!”
Bayu tertawa hambar. “Kalau cari yang begitu, siap-siap aja diperlakukan kayak pembantu juga. Perempuan yang punya uang biasanya belagu. Sama suaminya aja bisa ngatur, apalagi mertuanya.”
“Kamu tau dari mana?”
“Banyak temenku yang ngalamin. Suami-istri kerja, anak dititipin ke orang tua. Ibu siap jagain cucu kalau aku nikah sama wanita karir?”
“Tidak semua begitu, Bayu…”
“Tapi rata-rata begitu, Bu. Dan di rumah ini… satu-satunya perempuan yang bener cuma Ibu. Tapi sekarang, aku bahkan malas pulang.”
“Kenapa?”
“Kamar Nunik aja baunya kayak WC. Anak gadis kok nggak bisa jaga kebersihan. Harusnya perempuan itu kayak Santi.”
“Apa-apaan Mas Bayu bandingkan aku dengan Santi?” ucap Nunik sewot, tangan bertolak pinggang.
Bayu mengangkat alis santai. “Ya memang kamu nggak bisa dibandingkan.”
“Iyalah! Aku ini calon wanita karir, Mas. Nggak bisa disamakan sama pembantu kayak dia!” Nunik menatap Bayu penuh kemenangan.
Sinta yang duduk di sofa, awalnya hanya mendengarkan, kini mulai terlihat ragu.
Bayu tertawa sinis. “Tuh, Bu, dengar sendiri? Belum juga jadi wanita karir, belagunya udah seperti itu. Gimana kalau udah beneran kerja dan punya penghasilan?”
Sinta diam. Hatinya mulai goyah, kata-kata Bayu tak bisa ditepis. Memang, sejak Santi pergi, rumah jadi berantakan. Dan kini, anak gadisnya sendiri bahkan enggan sekadar bersih-bersih kamar.
Bayu menggeleng pelan, lalu berjalan pergi meninggalkan Nunik yang masih berdiri dengan
Santi duduk di kursi kayu yang sudah mulai goyah, di depan meja kecil yang permukaannya dipenuhi coretan masa lalu. Di belakangnya, tumpukan buku tersusun rapi di rak sederhana. Beberapa sampul sudah lusuh, sebagian lainnya nyaris sobek. Itu semua dibaca Nabil selama empat bulan terakhir—bukan seperti membaca pada umumnya, tapi seperti bermain-main dengan halaman, membalik lembar demi lembar, menyentuh setiap kata, menatap setiap gambar, dan entah bagaimana... dia mengingat semuanya.
Anak itu memang belum sepenuhnya paham isi buku-buku itu. Tapi tanyakan satu halaman saja, ia akan menjawab dengan hafalan yang menakjubkan. Seolah ingatannya jauh lebih tajam dibandingkan orang dewasa.
Santi menarik napas dalam, lalu membuka sebuah kaleng biskuit tua yang kini berfungsi sebagai kotak penyimpanan uang mereka. Kaleng itu berisi harapan. Setiap lembar uang yang diselipkan ke dalamnya adalah hasil dari kerja keras, cucuran peluh, dan cinta seorang ibu.
Belum sempat ia membuka tutupnya, suara kecil yang tenang memecah keheningan.
“Jika setiap hari mamah menyimpan tiga puluh ribu, dalam seratus dua puluh dua hari, maka jumlahnya tiga juta enam ratus enam puluh ribu rupiah,” ucap Nabil datar, sambil terus membalik halaman sebuah buku tua.
Santi tersenyum kecil, terkagum.
“Sepertinya lebih, Nak. Karena mamah beberapa kali cuma masukin dua puluh ribu. Tapi berapa kali ya, mamah lupa…”
Nabil berhenti membalik buku. “Lima kali. Jadi total uangnya tiga juta tujuh ratus enam puluh ribu,” katanya sambil menatap mamahnya dengan mata jernih, polos, tapi menyimpan logika yang tajam.
Santi mengangguk, lalu mulai menghitung uang di kaleng itu dengan hati-hati. Tangannya sibuk, namun pikirannya jauh melayang. Anaknya, anak yang disebut “tidak normal” oleh dunia, justru punya cara berpikir yang lebih rapi dari kebanyakan orang dewasa.
Di seberangnya, Nabil kembali membalik halaman buku. Ia tidak membaca dengan mata, tapi dengan hati. Dan mungkin, di dunia kecilnya, itu lebih dari cukup.
Santi masih menghitung lembar-lembar uang di atas meja. Jemarinya bergerak perlahan, sesekali berhenti untuk memastikan tak ada yang terlewat. Namun pikirannya mulai buyar ketika dari sudut ruangan, suara Nabil terdengar lirih.
“Mah, siapa presiden pertama Indonesia?” tanya Nabil pelan, duduk bersila di lantai dengan mata berbinar.
“Ir. Soekarno, Nak,” jawab Santi sambil tetap menghitung lembaran uang yang sudah dipisah-pisahkan menurut nominalnya.
“Aku ceritakan ya, Mah? Selama ini kan Mamah suka cerita si Kancil dan si Buaya. Sekarang, aku yang cerita. Tapi ini tokoh nyata ya, Mah.”
Santi tersenyum. Ia merapikan lembar lima ribuan yang agak lecek.
“Ya, ceritakanlah, Nak. Mamah sambil hitung uang, ya.”
“Iya Mah. Tapi pisahkan dulu gambar yang sama, biar Mamah gampang hitungnya.”
“Wah, ide bagus, Nak. Terima kasih.” Santi menatap wajah anak itu sejenak. Ada sinar kecerdasan yang tak biasa di balik matanya yang polos.
Nabil menarik napas pelan. Seolah memutar sebuah pita dalam kepalanya.
“Soekarno lahir 6 Juni 1901, di Surabaya. Ayahnya Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru. Ibunya Ida Ayu Nyoman Rai, keturunan bangsawan Bali. Soekarno kecil tinggal di Mojokerto. Ia pintar berpidato sejak remaja.”
Santi berhenti menghitung. Uangnya masih tergenggam, tapi matanya tak lepas dari Nabil.
“Tahun 1934, beliau diasingkan ke Ende, lalu ke Bengkulu tahun 1938. Di sanalah ia bertemu Fatmawati, istri yang kemudian menjahit bendera pusaka.”
Nabil melanjutkan, matanya menatap langit-langit kamar. Tidak pada buku. Tidak pada catatan. Tapi isi ceritanya begitu lengkap, rinci, dan runtut.
“Proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, pada 17 Agustus 1945, pukul 10.00 pagi. Naskah ditulis malam sebelumnya, di rumah Laksamana Maeda, Jalan Imam Bonjol.”
“Nabil…” gumam Santi, perlahan meletakkan uangnya. “Kamu ingat semua itu dari mana?”
“Dari koran bekas bungkus tahu. Sama dari buku sejarah cetakan 1987 yang kita beli di pasar loak. Halaman 17 sampai 22. Tapi halaman 21-nya sobek.”
Santi tercekat. Ia mendekat, menatap Nabil dengan mata berkaca-kaca.
Anaknya tidak seperti anak-anak lain. Ia tak pandai mengancingkan baju sendiri. Sering salah pakai sandal. Tapi jika ditanya soal sejarah, atau menghitung, atau mengingat percakapan yang pernah terjadi sebulan lalu—jawabannya selalu tepat.
Itulah Nabil. Anak yang pernah disebut “buto ijo” oleh orang-orang. Yang ditolak sekolah karena dianggap aneh. Tapi justru menyimpan keajaiban yang tak dimengerti dunia.
“Nak… kamu tahu kamu luar biasa?” bisik Santi, memeluknya dari belakang.
“Aku hanya baca, Mah.”
“Bukan, Nak. Kamu bukan sekadar membaca. Kamu menghidupkan apa yang kamu baca. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh anak-anak hebat.”
Nabil tersenyum. “Kalau aku hebat, boleh minta satu buku lagi, Mah?”
Santi tertawa kecil. “Bukan satu. Kalau kita cukup uang, Mamah akan belikan sepuluh.”
Di atas lantai sederhana, dengan buku usang dan uang receh yang belum genap empat juta, keajaiban kecil bernama Nabil menyala pelan-pelan. Dalam sunyi, tapi tak pernah padam.
karya bagus
Up yg byk thor seruu