Hancurnya Dunia Aluna Aluna Seraphine, atau yang akrab dipanggil Luna, hanyalah seorang siswi SMA yang ingin hidup tenang. Namun, fisiknya yang dianggap "di bawah standar", rambut kusut, kacamata tebal, dan tubuh berisi, menjadikannya target empuk perundungan. Puncaknya adalah saat Luna memberanikan diri menyatakan cinta pada Reihan Dirgantara, sang kapten basket idola sekolah. Di depan ratusan siswa, Reihan membuang kado Luna ke tempat sampah dan tertawa sinis. "Sadar diri, Luna. Pacaran sama kamu itu aib buat reputasiku," ucapnya telak. Hari itu, Luna dipermalukan dengan siraman tepung dan air, sementara videonya viral dengan judul "Si Cupu yang Gak Tahu Diri." Luna hancur, dan ia bersumpah tidak akan pernah kembali menjadi orang yang sama.
Akankah Luna bisa membalaskan semua dendam itu? Nantikan keseruan Luna...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 : PEMBERSIHAN JIWA DAN RAGA
Mansion di pinggiran Danau Zurich itu terasa seperti museum yang hidup. Dinding-dindingnya dilapisi sutra, langit-langitnya dihiasi lukisan fresco bergaya Renaisans, dan setiap lantai marmer yang dipijak Luna seolah memancarkan hawa dingin yang aristokratik. Namun, bagi Luna, keindahan ini terasa mencekik.
Setelah dua puluh empat jam tidur dalam kelelahan yang luar biasa, Luna terbangun oleh ketukan pintu yang ritmis pada pukul lima pagi.
"Nona Aluna, waktunya pembersihan."
Suara itu bukan suara Xavier. Itu adalah suara seorang wanita paruh baya dengan seragam perawat yang kaku dan wajah tanpa ekspresi. Luna bangkit dari tempat tidur king size-nya yang empuk, masih merasa linglung. Sebelum ia sempat bertanya, dua pelayan lainnya sudah masuk, membawa nampan berisi berbagai macam cairan bening dan perangkat medis modern.
"Apa yang akan kalian lakukan?" tanya Luna waspada.
"Instruksi Madam," jawab perawat itu singkat. "Kami akan menghapus semua jejak masa lalu yang tertinggal di kulit Anda."
Selama lima jam berikutnya, Luna menjalani proses yang terasa seperti penyiksaan yang didekorasi dengan kemewahan. Ia direndam dalam bak mandi berisi air mineral pegunungan yang dicampur dengan minyak esensial langka untuk meluruhkan sel kulit mati yang kasar akibat debu pelabuhan. Rambutnya yang dipotong pendek secara berantakan oleh tangannya sendiri di Bab 12, kini dirapikan oleh penata rambut elit internasional.
Namun, bagian yang paling menyakitkan adalah saat tim medis mulai merawat bekas luka dan memar di tubuhnya.
"Luka di pergelangan tangan ini akibat tekanan tali yang kasar," gumam dokter pribadi Madam sambil menyuntikkan serum regenerasi kulit ke lengan Luna. "Akan butuh waktu seminggu untuk menghilangkan bekasnya secara total. Tapi trauma selulernya... itu urusan psikolog."
Luna menggigit bibirnya, menahan perih. Ia menatap pantulan dirinya di cermin besar kamar mandi. Air matanya perlahan luruh saat melihat kulitnya yang tadinya kusam dan penuh goresan kini mulai terlihat bersih, namun ia merasa seperti sedang kehilangan dirinya sendiri.
Siang harinya, setelah sesi perawatan tubuh, Luna dibawa ke ruang makan pribadi yang menghadap langsung ke danau yang membeku. Di sana, Madam sudah menunggu, sedang membaca laporan keuangan di tablet transparan.
"Duduklah, Aluna," ucap Madam tanpa mendongak.
Luna duduk dengan canggung. Ia kini mengenakan gaun rumah dari bahan kasmir lembut berwarna krem. Tidak ada lagi seragam sekolah yang kusam. Tidak ada lagi bau deterjen murah.
"Makanlah. Nutrisimu selama belasan tahun ini sangat buruk. Pertumbuhanmu terhambat karena kemiskinan," kata Madam. "Mulai hari ini, setiap kalori yang masuk ke tubuhmu dihitung untuk membentuk otak dan fisik yang kuat. Seorang Seraphine tidak boleh terlihat lemah hanya karena kurang gizi."
Luna mulai makan dalam diam. Makanan di depannya terlihat indah—salmon liar, sayuran organik, dan jus yang rasanya asing namun menyegarkan.
"Madam," panggil Luna pelan. "Kapan aku bisa kembali? Aku ingin melihat Reihan jatuh."
Madam meletakkan tabletnya. Ia menatap Luna dengan mata elangnya yang tajam. "Kamu ingin kembali dengan kondisi seperti ini? Hanya bermodalkan dendam dan wajah yang sedikit lebih cantik? Reihan akan menertawakanmu lagi dalam hitungan detik."
Madam berdiri, berjalan mendekati Luna. "Musuhmu bukan hanya anak remaja bodoh itu. Di luar sana, orang-orang yang membuat ibumu terusir sedang menunggu mangsa baru. Kamu akan kembali ke sekolah itu sebagai 'Dewi' yang mereka takuti, bukan sebagai korban yang beruntung."
Madam memberi isyarat ke arah pintu. Xavier masuk. Ia tidak lagi memakai kemeja santai. Ia mengenakan seragam instruktur taktis berwarna gelap. Wajahnya yang "cupu" benar-benar hilang, digantikan oleh ekspresi seorang prajurit yang tidak mengenal belas kasihan.
"Xavier akan melatihmu," lanjut Madam. "Bukan hanya bela diri untuk melindungi diri sendiri, tapi juga cara berpikir secara strategis. Kamu akan belajar lima bahasa, sejarah ekonomi dunia, dan cara membaca kebohongan dari gerakan mata lawanmu."
Luna menatap Xavier. "Kamu akan melatihku?"
"Tugas saya telah berubah, Nona Muda," jawab Xavier dengan suara berat yang formal. "Dulu saya adalah bayangan yang melindungi Anda. Sekarang, saya adalah pelatih yang akan menempa Anda menjadi pedang."
Sore itu juga, latihan dimulai. Di ruang olahraga mansion yang sangat luas, Xavier meletakkan sebuah buku tebal dan sepasang sarung tinju di depan Luna.
"Kita mulai dengan yang paling dasar," kata Xavier. "Disiplin."
Luna harus berlari di atas treadmill dengan kemiringan tinggi selama satu jam, diikuti dengan latihan kekuatan inti. Tubuh Luna yang kurus dan lemah segera protes. Napasnya tersengal-sengal, kakinya terasa seperti terbakar.
"Aku... aku tidak kuat lagi, Xavier," keluh Luna sambil terduduk di lantai, keringat membasahi gaun olahraganya.
Xavier tidak membantunya berdiri. Ia justru berdiri di depan Luna dengan tangan bersedekap. "Bayangkan wajah Maya saat dia menyirammu dengan air kotor di Bab 11. Bayangkan tawa Reihan saat dia memegang gunting di lehermu. Apakah rasa lelah di kakimu ini lebih sakit daripada hinaan mereka?"
Luna terdiam. Bayangan-bayangan itu muncul kembali rasa malu di koridor, bau amis air toilet, dan tangis bibinya. Sesuatu yang panas meledak di dalam dada Luna.
Ia berdiri kembali. Dengan kaki yang gemetar, ia menaiki treadmill itu lagi.
"Bagus," gumam Xavier. "Jangan pernah biarkan rasa sakit fisik mengalahkan rasa lapar akan pembalasan."
Setelah latihan fisik, mereka pindah ke meja belajar. Xavier mengajarkan Luna tentang struktur kekuasaan di SMA Pelita Bangsa dari sisi yang berbeda. Ia menunjukkan data bahwa hampir semua orang tua dari pengikut Reihan memiliki ketergantungan bisnis pada anak perusahaan Seraphine tanpa mereka sadari.
"Kamu tidak perlu memukul mereka satu per satu," jelas Xavier sambil menunjuk peta kekuatan ekonomi. "Kamu hanya perlu menarik satu benang, dan seluruh menara mereka akan runtuh. Itulah cara seorang penguasa bekerja."
Luna mendengarkan dengan seksama. Ia menyadari bahwa selama ini ia hanya melihat permukaan. Ia melihat sekolah sebagai tempat perundungan, sementara Xavier melihatnya sebagai papan catur.
Malam harinya, sebelum tidur, Luna berdiri di balkon kamarnya, menatap cahaya lampu Zurich yang terpantul di permukaan danau. Xavier berdiri di bayang-bayang pintu balkon, menjaga jarak yang sopan namun tetap waspada.
"Xavier," panggil Luna tanpa menoleh.
"Ya, Nona Muda?"
"Panggil aku Luna. Seperti dulu."
Xavier terdiam cukup lama. Angin dingin Zurich menerbangkan rambutnya. "Nama itu sudah mati di pelabuhan, Nona. Anda adalah Seraphine sekarang. Dan saya adalah kaki tangan Anda."
Luna menoleh, menatap Xavier dengan tatapan sedih. "Bahkan kamu juga berubah? Apakah kemewahan ini memang harus dibayar dengan kehilangan satu-satunya teman dan sahabat yang aku miliki?"
Xavier melangkah maju ke arah cahaya lampu balkon. Matanya yang tajam menatap Luna, dan untuk sesaat, dinding dingin di wajahnya retak. "Saya tidak berubah, Luna. Saya hanya memastikan bahwa saat kita kembali ke sana nanti, tidak ada satu pun celah yang bisa mereka gunakan untuk menyakitimu lagi. Jika menjadi 'pelatih yang kejam' adalah cara untuk menjagamu tetap hidup, maka aku akan melakukannya."
Luna tersenyum pahit. Ia mengerti sekarang. Di dunia Madam, cinta dan kepedulian ditunjukkan melalui kekuatan dan perlindungan yang keras.
"Berapa lama lagi?" tanya Luna.
"Enam bulan masa latihan intensif. Selama itu, identitasmu akan dihapus dari sistem pendidikan Indonesia. Kamu akan tercatat sedang menjalani pertukaran pelajar di Swiss."
"Dan Reihan?"
"Dia sedang menikmati masa-masa kehancurannya. Ayahnya mulai menjual aset-aset pribadi untuk membayar pengacara. Mereka masih kaya dibandingkan rakyat biasa, tapi di mata elit, mereka sudah menjadi paria," Xavier menjelaskan. "Tapi kita akan membiarkan mereka bernapas sedikit. Agar saat kamu kembali nanti, mereka punya cukup tenaga untuk merasakan keputusasaan yang sesungguhnya."
Di ruang kerja rahasia Madam, Xavier menyerahkan sebuah dokumen baru.
"Laporan hari pertama, Madam. Mentalitasnya sangat kuat. Dia sudah berhenti menangis," lapor Xavier.
Madam Celine mengangguk, namun matanya tertuju pada monitor yang menampilkan rekaman CCTV dari Indonesia. Di sana, di depan rumah kontrakan Luna yang sudah kosong, terlihat sosok gadis berambut pirang platinum, Valerie Seraphine.
Valerie sedang berdiri di sana, menatap sisa-sisa kemiskinan Luna dengan senyum meremehkan. Ia memegang sebuah foto Luna yang lama.
"Jadi ini sainganku?" gumam Valerie dalam rekaman audio tersebut. "Kasihan sekali. Nenek benar-benar sudah pikun jika ingin menggantikan aku dengan sampah seperti ini."
Madam Celine mematikan layar itu. "Xavier, percepat latihannya. Valerie sudah mulai bergerak. Jangan biarkan Aluna kalah sebelum dia sempat menginjakkan kaki kembali di sekolah itu."