Rama dan Ayana dulunya adalah sahabat sejak kecil. Namun karena insiden kecelakaan yang menewaskan Kakaknya-Arsayd, membuat Rama pada saat itu memutuskan untuk membenci keluarga Ayana, karena kesalahpahaman.
Dalih membenci, rupanya Rama malah di jodohkan sang Ayah dengan Ayana sendiri.
Sering mendapat perlakuan buruk, bahkan tidak di akui, membuat Ayana harus menerima getirnya hidup, ketika sang buah hati lahir kedunia.
"Ibu... Dimana Ayah Zeva? Kenapa Zeva tidak pelnah beltemu Ayah?"
Zeva Arfana-bocah kecil berusia 3 tahun itu tidak pernah tahu siapa Ayah kandungnya sendiri. Bahkan, Rama selalu menunjukan sikap dinginya pada sang buah hati.
Ayana yang sudah lelah karena tahu suaminya secara terbuka menjalin hubungan dengan Mawar, justru memutuskan menerima tawaran Devan-untuk menjadi pacar sewaan Dokter tampan itu.
"Kamu berkhianat-aku juga bisa berkhianat, Mas! Jadi kita impas!"
Mampukah Ayana melewati prahara rumah tangganya? Atau dia dihadapkan pada pilihan sulit nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 6
Di Paviliun, Ayana menyudahi tatapanya kearah rumah utama. Ia terduduk lemah diatas sofa ruang tengah. Aya mencoba mengusir rasa yang tidak seharusnya ia letakan pada hatinya sejak dulu. Meski sekuat tenaga menyangkal, namun sebagai istri... Ayana tetap saja merasa sesak kala melihat suaminya sendiri begitu mencintai wanita lain.
'Nggak! Aku nggak boleh jatuh cinta terlalu dalam dengan Mas Rama. Aku tahu siapa Mawar. Dia wanita yang sangat baik. Akulah duri dalam hubungan mereka. Maafkan aku, Mawar!'
Ayana memejamkan mata dalam-dalam sebelum ia bangkit menuju nakas televisi, sebab gawainya begetar tanda ada notif pesan masuk.
'Nomor siapa ini?' Aya hanya membaca dari pintasan pesan dilayar terkunci sebelum ia benar-benar membukanya. Disana ada salah satu nomor asing yang menginformasikan perihal terapi Bu Ratih.
"Selamat malam untuk keluarga pasien Ibu Ratih. Saya Dokter Devan selaku Dokter spesialis tulang, ingin menginformasikan kepada keluarga pasien, adanya perubahan jadwal untuk terhapinya. Untuk Ibu Ratih, yang biasanya hari selasa, maka akan di ganti menjadi hari sabtu. Untuk jamnya masih sama, yakni pukul 13.30-14.30 wib. Terimakasih."
Begitulah kira-kira pesan dari Dokter Devan mengenai perubahan jadwal terhapi Bu Ratih.
"Oh, jadi ini nomornya Dokter baru itu ya? Nanti aku kasih tahu dulu sama Ibu, biar nggak ngarep-ngarep di terhapi terus," gumam Ayana sambil menyimpan gawainya kembali.
Selagi Ayana memberitahu Ibunya, kini kehampaan tengah menyelimuti hati Rama, meskipun ia saat ini tengah berhadapan langsung dengan kekasihnya, Mawar.
Rama yang duduk membelakangi dinding kaca, sejak tadi menoleh, seakan tengah menahan cemas perihal kesakitan Zeva. Bahkan, sejak tadi Rama hanya mengaduk-aduk makanannya saja. Tiada gairah hanya sekedar mengunyah, bahkan untuk menelan.
Diatas meja itu terdapat beberapa menu, yaitu, sate ayam lengkap dengan bumbunya. Rendang daging, gulai ikan, berbagai tumis sayuran, dan tak lupa lauk pendamping lainnya. Meja makan panjang itu tampak penuh dengan hidangan makanan tadi.
Namun itu semua tidak menarik dalam pandangan Rama malam ini.
"Maaf ya, Jeng... Mas Arman... Kalau Papahnya Rama belum bisa pulang untuk membahas acara pernikahan putra putri kita," celetuk Bu Anita menatap kedua calon besanya secara bergantian.
Nonya Imelda menoleh suaminya sekilas. Ia sama sekali tidak mempermasalahkan akan hal itu. Sorot matanya begitu teduh, tenang, bahkan bibirnya melekuk senyum hangat.
"Kami tahu, jika Mas Ibrahim orang yang sangat sibuk. Tidak apa-apa, jeng." Barulah setelah itu Nonya Imelda menatap putrinya, "Mawar juga sangat memaklumi... Benar 'kan, Sayang?"
Mawar mengangguk, "Benar, Tante! Tante Anita nggak usah kepikiran. Yang penting 'kan... Hubungan Mawar sama Rama berjalan lancar, Tante," Mawar sampai mencondongkan setengah badannya sambil menyentuh tangan Rama. "Benar 'kan, Sayang?"
'Bagaimana keadaan Bocah kecil itu? Kenapa Ayana sejak tadi nggak kelihatan. Padahal dia tahu, saat ini waktunya aku makan malam. Atau... Apa separah itu keadaan putranya?'
Rama masih terdiam. Pikirannya sibuk menerka, hingga usapan lembut tangan Mawar mampu menyadarkan fokusnya.
"Sayang, hei... Kamu baik-baik saja 'kan? Emangnya ngalamuni apa sih?" Bisik Mawar ketika orang tuanya sibuk bercengkrama dengan Bu Anita.
Rama memaksakan melipat kedua bibirnya. Ia menggelengkan kepala kecil sebagai jawaban jika dirinya baik-baik saja.
"Kamu tidak perlu cemas, Mawar? Aku hanya memikirkan bagaimana nanti jika aku menjadi seorang Suami sekaligus Ayah untuk anak kita kelak. Rasanya... Aku masih belum mampu."
Mawar mencoba menenangkan Rama. Suara lembut Mawar rupanya mampu mengusir rasa cemas yang berlebihan dalam hatinya kini.
"Rama... Kamu nggak sendiri! Ada aku. Aku akan selalu mendampingi kamu. Aku yakin, kamu pasti akan menjadi Suami sekaligus Ayah yang hebat kelak."
Lagi-lagi Rama hanya menanggapinya dengan anggukan kecil saja.
Dan sejak tadi, Rama hanya mengaduk-aduk makannya saja. Ia sesekali menoleh ke arah pintu samping, berharap istrinya itu akan datang. Dan lebih sialnya, Rama rupanya sudah menggantungkan kebiasaanya kepada Ayana. Ia tidak akan bisa makan jika tidak di temani istrinya itu.
Bik Sumi, Bik Siti, dan para pelayan lainnya sudah stand bay duduk di dapur. Karena sebentar lagi mereka akan mengganti menu hidangan pertama dengan makanan penutup (Dessert).
Tetiba, Bik Sumi dan para pelayan di kejutkan dengan kedatangan Ayana ke dapur itu. Aya sengaja tidak lewat pintu samping dekat meja makan, sebab Bu Anita sudah mewanti-wantinya.
Kedatangan Ayana bukan di sengaja. Putranya-Zeva, bocah kecil itu sejak tadi merengek ingin makan puding coklat. Sementara di Paviliun tidak ada bahannya. Jadi, mau tidak mau Aya harus ke dapur utama untuk membuatkan Zeva puding sebentar.
"Loh, Non Aya... Den Zeva sama siapa kok di tinggalin sendiri?!" Cemas Bik Sumi yang sudah menghampiri Nona mudanya.
Ayana masih berdiri agak berjarak dari posisi para pelayan lainnya. Dan reflek saja, matanya langsung menatap kearah meja makan di sebrang.
"Zeva di tungguin Ibu, Bik. Tadi Aya sudah pindahkan Zeva ke kamar Ibu," balas Aya sembari memutus pandanganya dari arah ruang makan. "Ini, Bik... Zeva minta di buatkan puding coklat.".
Di antara para pelayan, hanya Bik Sumi lah yang paling paham akan perasaan Ayana. Sejak tadi pun Bik Sumi sudah merasa cemas mendengar obrolan tentang pernikahan Rama dengan Mawar.
"Non... Biar Bibi bikinin saja! Non lebih baik temani saja Den Zeva. Takutnya nanti nangis," kata Bik Sumi seraya melirik cemas kearah meja makan.
Mendengar sedikit keributan itu, membuat fokus Rama teralihkan. Ayah Zeva itu reflek menoleh, dan untuk kesekian detik tatapan matanya bertemu dengan Ayana. Namun, Aya langsung berjalan menuju dapur, hingga Rama tak dapat lagi melihatnya.
"Rama... Apa kamu memerlukan sesutu?" Mawar langsung faham kala kekasihnya itu menatap ke arah dapur.
Bu Anita sudah merasa geram perihal larangannya di terjang oleh Ayana.
"Rama...." lirih Mawar kembali sambil mengusap lengan Rama.
Rama menoleh. Wajahnya menahan cemas, antara gugup dan salah tingkah. "Oh... I-iya! Aku ingin mengambil coffe ku. Sebentar," jawab Rama seraya bangkit.
Namun Mawar menahan lengannya, "Kamu disini saja, biar aku yang ambilkan." Dan setelah itu, Mawar langsung bangkit berjalan elegant menuju dapur.
Belum sampai, namun wangi dari parfum mahalnya mampu membuat para pelayan termasuk Ayana terpukau.
Bahkan, suara hentakan heelnya pun terdengar teratur tanpa paksaan.
"Permisi... Bibi-Bibi semua," sapa Mawar dengan sopan.
Dua pelayan termasuk Bik Siti yang sedang menatap dessert pun menoleh. Begitu juga Bik Sumi dan Ayana yang masih sibuk membuat puding untuk Zeva.
Senyum manis menyamai wajah cerahnya. Tidak ada guratan kemarahan, atau paksaan dari sikap berkelasnya. Sorot matanya begitu teduh. Bulu mata lentik. Hidung mancung. Apalagi satu lesung di sebelah kanan pipinya, hal itu membuat Ayana sebagai istri sah semakin terasa tak ada apa-apanya.
"Eh, Non Mawar... Ada yang bisa Bibi bantu, Non?" Bik Siti lebih dulu mendekat dengan senyum bangganya.
"Saya mau mengambilkan Coffe buat Rama, Bik!" Ucapnya pelan.
'Coffe? Sejak kapan Mas Rama meminum coffe?' batin Ayana seraya mengaduk puding diatas kompor.
Melihat kebingungan Bik Siti, sontak saja Bik Sumi berjalan sedikit mendekat dan menyahuti, "Non... Kan Den Rama nggak minum cofee? Masak Non Mawar lupa."
Mawar agak sedikit berpikir. Dan memang, setelah bertahun-tahun menjalin hubungan dengannya, tak pernah sekali pun ia melihat Rama menyesap coffe.
"Iya juga ya, Bik," gumamnya. Setelah itu ia menoleh kearah meja makan sekilas. Tak mempedulikan akan masalah coffe, rupanya fokus Mawar teralihkan oleh harumnya puding coklat yang tengah di aduk Ayana.
Mawar berjalan mendekat kearah wanita cantik itu.
Semua pelayan sudah ketar ketir melihat pemandangan itu. Bik Sumi salah satunya.
"Kamu Ayana, kan?" sapa Mawar menepuk bahu Ayana.
Aya menoleh. Ia melipat kedua bibirnya sambil mengangguk lemah. Tangannya masih sibuk mengaduk, hingga puding tadi meletup-meletup tanda sudah matang.
"Hem... Itu apa, Ayana? Baunya wangi banget," celetuk Mawar lagi sambil menikmati harumnya puding matang tadi.
Ayana mematikan kompor itu dan mulai menuangkan puding coklat itu ke dalam dua cup wadah. Tak ingin membuat kecewa kekasih suaminya, Ayana hanya menjawab. "Zeva ingin makan puding coklat, Mawar. Jadi aku membuatkannya."
"Zeva? Kamu sudah memiliki anak, Ayana?"
Deg!
Ayana keceplosan. Kedua matanya terbuka lebar merutuki kebodohannya sendiri.
Pantas saja Mawar tidak pernah tahu. Setelah kehamilan besar Ayana, Mawar sudah jarang sekali datang ke rumah Rama, karena harus menempuh study dan modelling ke LN selama 3 tahun lamanya. Dan itu seusia putra Ayana.
"Kenapa kamu menikah tidak memberitahuku, Ayana? Dimana suamimu, dan... Putramu? Aku ingin bertemu dengannya." Mawar masih terus memasang wajah berbinarnya, masih mencoba menepuk lengan Ayana kembali.
Ehem!
Mendengar suara deheman bariton itu, sontak saja membuat Ayana dan juga Mawar menoleh bersamaan.
"Mawar, ayo kita kembali makan. Biarkan pelayan tenang membuat dessertnya."
Rupanya itu suara Rama.
Dada Ayana berdesir nyeri melihat bagaimana cara Rama dengan lembut menjabarkan kalimatnya kepada sang kekasih. Ayana segera membalikan badan, menghindar tatap dari mata Suaminya.
"Rama, kamu membohongiku, ya? Kamu nggak minum cofee, tapi kenapa bilang mau ambil cofee?!" Mawar menatapnya dengan sorot intimidasi.
Rama terkekeh renyah, lalu langsung saja merengkuh pundak sang kekasih untuk di ajaknya menyingkir. Mereka berdua kini sudah berjalan meninggalkan dapur.
"Aku hanya ingin saja, Mawar! Karena memang sudah lama aku tidak menyesap segarnya aroma cofee," kekeh Rama.
Sementara Ayana, ia masih mencoba menguatkan hatinya berkali-kali. Pemandangan itu bukan hal yang asing lagi bagi mata serta hatinya.