Mursyidah Awaliyah adalah seorang TKW yang sudah lima tahun bekerja di luar negeri dan memutuskan untuk pulang ke kampungnya. Tanpa dia tahu ternyata suaminya menikah lagi diam-diam dengan mantan kekasihnya di masa sekolah. Suami Mursyidah membawa istri mudanya itu tinggal di rumah yang dibangun dari uang gaji Mursyidah dan bahkan semua biaya hidup suaminya dan juga istrinya itu dari gaji Mursyidah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENEMUI SAHABAT LAMA
Mursyidah terus berjalan tanpa peduli lelaki yang sempat berhenti dan memperhatikannya. Bahkan lelaki itu sempat menyapanya.
"Kamu?"
Lelaki itu mengamati Mursyidah sekilas, tapi Mursyidah tidak mengacuhkan. Mursyidah terus saja berjalan, dia tidak mau melihat lelaki itu karena lelaki itu turut berkontribusi membuat Rukmini semakin membencinya. Lelaki itu adalah Hermawan, suami Samirah kakak Gunadi.
"Hei kamu, cantik! Siapa namamu?!"
Hermawan berhenti berjalan, dia mengamati Mursyidah yang terus saja melewatinya.
"Mas Her, kamu kok gitu?"
Astuti setengah berteriak, terdengar kesal dan nada suaranya sedikit manja. Sepertinya Astuti sudah sangat dekat dan akrab dengan Hermawan. Mursyidah tidak menoleh sama sekali, ia terus saja berjalan menuju motornya ingin segera berlalu dari tempat itu. Mursyidah menoleh ke arah Astuti saat mendengar wanita itu berteriak dan sesuatu yang di pukul. Jarak mereka tidak terlalu jauh. Sekilas Mursyidah melihat Hermawan yang memukul bokong Astuti. Lelaki itu tertawa mesum.
"Kurang ajar kamu mas, nanti aku bilang mas Gun baru tau rasa kamu!" Astuti mendorong dada Hermawan kesal, tapi lelaki itu tidak marah sama sekali. Hermawan malah memajukan bibirnya seolah hendak mencium Astuti.
"Aku teriak nih ya, biar istrimu dengar!" ancam Astuti.
Mursyidah menyalakan mesin motornya dan keluar dari halaman rumah itu. Dia tidak mau tahu apa yang terjadi selanjutnya. Dulu, dia pun pernah mengalami seperti yang terjadi pada Astuti barusan dan saat ia mengatakan pada suaminya, bukan pembelaan yang dia dapatkan. Gunadi memarahinya dan menyampaikan pada Rukmini dan juga Samirah. Mursyidah dikata-katai oleh kedua wanita itu perempuan gatal dan penggoda suami orang. Sejak saat itu Mursyidah berusaha sendiri melindungi dirinya dan selalu menjauh dari Hermawan. Saat melihat Hermawan ada ketakutan sendiri dalam dirinya.
Mursyidah melajukan motornya dengan agak kencang agar cepat menjauh dari rumah Gunadi. Dia memperlambat laju motornya saat melewati kios tempat usaha Gunadi. lelaki itu sedang mengobrol dengan seseorang di depan kiosnya. Entah siapa, mungkin pembeli di kiosnya.
Mursyidah terus saja melajukan motornya menuju sebuah rumah yang tidak jauh dari desa itu. Hanya beberapa menit berkendara Mursyidah sudah sampai di sana. Sebuah rumah kayu yang ada di ujung desa, nyaris di tepi hutan. Sama seperti tempat tinggal Mursyidah, rumah itu juga agak terpencil dari rumah warga lainnya. Mursyidah turun dari motornya setelah mematikan mesin kendaraan itu. Seorang lelaki yang sedang meraut lidi daun kelapa menoleh pada Mursyidah. Lelaki itu adalah Nurdin, kakak Kinasih sahabat Mursyidah saat di bangku sekolah menengah pertama. Nurdin mengalami keterlambatan intelektual dan agak kesulitan berbicara dan sedikit gagap, tapi lelaki itu sangat rajin bekerja.
"Assalamualaikum mas Nuy... Kinasih ada di rumah?"
"Da ada, a-gi ke a-ung?" jawab Nurdin setelah diam sejenak menatap Mursyidah. lelaki itu memang bengong saat melihat Mursyidah karena merasa tidak pernah melihat.
"Mas, i-ni A-li-ya. Teman Kinasih." Mursyidah mengejanya namanya sambil menunjuk dadanya. Nurdin sempat melongo tidak percaya, sesaat kemudian dia tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
Kinasih yang baru saja pulang dari warung mengernyitkan keningnya saat melihat seseorang yang duduk di balai-balai yang ada di depan rumahnya, sementara Nurdin kakaknya sedang asyik bekerja. Perempuan itu sedang menunduk menatap serius pada ponselnya.
"Mas Nuy, itu siapa?" Kinasih sedikit berjongkok dan berbisik pada kakaknya.
"A-a li-yah," jawab Nurdin sambil melihat sekilas pada
Mursyidah.
Di saat yang sama Mursyidah pun menoleh karena mendengar namanya disebut.
"Asih?"
"Aliya?"
Dua orang sahabat yang sudah lama tidak bertemu itu hanya diam dan saling pandang. Beberapa saat kemudian mereka saling berjabat tangan dan berpelukan. Mursyidah yang lebih dulu mendekat setelah dia bangkit dari duduknya. Mursyidah merangkul Kinasih yang tampak meragu melihatnya.
Kinasih menangis terharu melihat Mursyidah yang begitu berbeda, sahabatnya itu sangat cantik dan terawat. Begitu pun dengan Mursyidah, wanita itu pun menangis melihat Kinasih sang sahabat. Mursyidah merasa sedih melihat Kinasih yang tampak kurus dan lusuh.
"Aliya? Ini beneran kamu?" Bisik Kinasih di telinga Mursyidah. Rasanya tidak percaya, bagaimana mungkin Mursyidah yang ada di luar negeri tiba-tiba saja ada di hadapannya.
"Iya... Kamu nggak lupa kan sama aku?" Mursyidah mengurai pelukannya dan menatap Kinasih lalu pada anak kecil yang ada dalam gendongannya. Anak itu mungkin baru berumur sekitar satu tahun karena badannya terlihat sangat kecil dan ringkih "Anak siapa yang kamu gendong Asih"
."Ya anak aku, memang anak siapa lagi? Nggak mungkin anak Mas Nuy, dia kan belum menikah."
"Jadi kamu sudah menikah? Kapan? Kok aku nggak dikasih tau?" Mursyidah memberungut dan memalingkan wajahnya berpura-pura marah pada Kinasih. Sahabatnya itu tidak tersinggung sama sekali, Kinasih malah tersenyum geli melihat tingkah Mursyidah.
"Aliya kamu cantik sekali, aku sampai pangling dan tidak mengenali kamu," ucap Kinasih tanpa menjawab pertanyaan Mursyidah. "Kapan kamu pulang? Saya nggak mimpi kan? Apa kamu sudah bertemu dengan suamimu?"
Mursyidah cepat menganggukkan kepalanya sambil tersenyum getir. "Udah nggak usah bahas itu, jawab dulu pertanyaanku. Kapan kamu menikah?"
"Sudah hampir tiga tahun, maaf aku nggak mengabari kamu. Gimana aku mau menghubungi kamu, wong hape aja aku nggak punya, ya mau--"
Kinasih berusaha menjelaskan untuk membela diri khawatir Mursyidah tersinggung padanya karena tidak memberi tahu kabar pernikahannya. Namun Mursyidah cepat memotong kalimatnya.
"kamu kan bisa kasih tau ibu aku, Asih" protes Mursyidah. Kinasih menggelengkan kepalanya.
"Aku malu mengundang ibumu, aku juga nggak mengadakan pesta hanya ijab kabul di KUA saja."
Kinasih kembali berusaha menjelaskan. Jangan
Sampai Mursyidah memperpanjang masalah hanya karena dia tidak memberi kabar.
"Nggak apa-apa kok Sih. Aku senang kamu sudah menikah, aku turut bahagia. Aku tau kamu malu bertemu ibuku kan?"
Mursyidah menepuk-nepuk pelan punggung Kinasih. Dia sangat tahu temannya itu sangat pemalu. Kinasih belum pernah ke rumah Mursyidah sendiri, temannya itu selalu datang bersama Mursyidah jika ingin berkunjung dan itu pun dapat diganti-ganti hitung dengan jari. Berbeda dengan Mursyidah yang sering datang ke rumah Kinasih. Begitu pun saat sudah menikah dan punya anak, Mursyidah sering bermain ke rumah Kinasih untuk sekedar berkeluh kesah tentang rumah tangganya. Semua permasalahan rumah tangganya tidak pernah dia ceritakan pada ibunya, tapi pada Kinasih lah dia ungkapkan semuanya. Jadi Kinasih tahu betul bagaimana keadaan Mursyidah saat menikah dan Kinasih pun tahu penolakan dari keluarga suami Mursyidah.
"Aliya, ayo masuk dulu. Cerita kapan kamu pulang?
Apa kontrak kerja kamu sudah habis? Aku dengar katanya mau diperpanjang?"
Kinasih mengajak Mursyidah masuk ke dalam rumahnya, tapi mulutnya tidak berhenti berbicara. Ada saja pertanyaan yang dikeluarkan.
"Loh Asih, siapa ini?"
Mbok Sarni ibu Kinasih muncul dari ruang belakang,
Terpaksa menatap wanita cantik yang masuk bersama anaknya.
"Ini Aliya mbok? Mboke masih ingat nggak? Dulu dia sering ke sini main?"
"Eyalah... Aliya? Ini beneran kamu toh? Kamu cantik sekali mbok sampai pangling."
Mbok Sarni memegang tangan Mursyidah yang baru saja menyalaminya lalu menggoyang-goyangkannya.
Matanya masih menatap tidak percaya.
"Iya mbok, ini aku. Aku kangen ingin ketemu sahabat baikku," jawab Mursyidah sambil tersenyum.
"Tuh kan Al, bukan aku saja yang bilang kamu berubah. Mbok juga tuh," timpal Kinasih.
"Iya, iya... Terimakasih pujiannya. Ngomong-ngomong suamimu mana? Apa sedang bekerja? Bekerja di mana?"
Mursyidah bertanya sambil melihat sekeliling ruangan rumah Kinasih. Tanpa dia tahu sahabatnya itu sudah meneteskan airmata. Kinasih ingin menjawab dan bercerita pada Mursyidah, tapi rasanya sulit dan suaranya seperti sulit keluar.
Kinasih???
aku suka cerita halu yg realitis.