Melina Lamthana tak pernah merencanakan untuk jatuh cinta ditahun pertamanya kuliah. Ia hanya seorang mahasiswi biasa yang mencoba banyak hal baru dikampus. Mulai mengenali lingkungan kampus yang baru, beradaptasi kepada teman baru dan dosen. Gadis ini berasal dari SMA Chaya jurusan IPA dan Ia memilih jurusan biologi murnni sebagai program studi perkuliahannya dikarenakan juga dirinya menyatu dengan alam.
Sosok Melina selalu diperhatikan oleh Erick seorang dosen biologi muda yang dikenal dingin, cerdas, dan nyaris tak tersentuh gosip. Mahasiswi berbondong-bondong ingin mendapatkan hati sang dosen termasuk dosen perempuan muda. Namun, dihati Erick hanya terpikat oleh mahasiswa baru itu. Apakah mereka akan bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Greta Ela, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
@Devano12 melihat profil anda"
Malam itu, di sebuah kamar kos sederhana yang dipenuhi buku-buku referensi Biologi, Devano Larnh baru saja menyelesaikan laporan praktikumnya. Ia meregangkan otot lehernya yang kaku, lalu merebahkan tubuh di ranjang. Tangannya meraih ponsel secara refleks. Setelah ragu sejenak, ia membuka aplikasi Instagram dan mengetikkan sebuah nama yang belakangan ini memenuhi pikirannya Melina.
Saat profil itu terbuka, Devano tertegun. Ia melihat unggahan Melina satu per satu. Ada foto senja, foto buku catatan yang rapi, dan beberapa foto di kafe.
Tanpa sadar profilnya muncul di notifikasi Melina.
Di sisi lain, di apartemennya, Melina tercengang menatap layar ponselnya.
"@Devano12 mengikuti Anda."
"@Devano12 melihat profil Anda."
Jantung Melina berdegup kencang. Kenapa Devano tiba-tiba sekali stalking instagram miliknya. Raut wajahnya yang murung membuat Bunga heran
"Kenapa Mel? Ada masalah?" tanya Bunga
"Oh, enggak kok. Aku hanya lelah." ujarnya
"Ya udah, tidur aja."
Melina lalu dengan cepat menyelesaikan laporannya dan mematikan laptopnya lalu segera pergi tidur. Ia merasa tubuhnya sangat capek.
Besok paginya, tepat hari kamis Erick mengajar dikelas Biologi Melina.
Pagi itu, kelas Biologi terasa canggung. Pak Erick masuk dengan langkah tegap, rapi seperti biasa dalam balutan kemeja abu-abu gelap yang pas di tubuh atletisnya. Wajahnya datar, memancarkan aura yang membuat mahasiswa seketika bungkam.
Melina duduk di tempat biasanya, berusaha menghindari kontak mata yang terlalu lama dengan Erick agar tidak mengundang curiga. Di depannya, Devano duduk dengan tenang.
Erick membuka laptopnya, matanya melihat seluruh ruangan. Ia sedang mencari satu target. Satu nama yang sejak semalam mengganggu pikirannya, Devano. Ia ingin tahu siapa laki-laki yang berani berbagi payung dengan gadisnya.
"Hari ini kita akan membahas tentang regulasi hormon pada manusia," suara Erick menggema, berat dan penuh penekanan.
"Saya ingin tahu sejauh mana kalian membaca materi sebelum kelas dimulai."
Para mahasiswa mulai mencatat. Tak ada yang berbisik, tak ada yang mengeluarkan ponsel. Takut akan ketahuan oleh dosen kejam Pak Erick.
Erick berjalan ke tengah ruangan, matanya berhenti tepat di belakang kepala seorang mahasiswa yang duduk tegak.
"Saudara yang memakai kemeja cokelat di depan Melina, siapa namamu?"
Mahasiswa itu berdiri dengan tenang. Ia memakai kemeja cokelat bumi dengan celana kain hitam. Penampilannya sangat rapi, rambutnya disisir ke samping dengan potongan rapi. Wajahnya tidak setampan Erick yang matang, tapi memiliki keteduhan yang membuat orang nyaman melihatnya.
"Devano, Pak. Devano Larnh," jawabnya singkat.
Visual Devano
"Jadi ini Devano," pikirnya.
Erick kemudian mengajukan sebuah pertanyaan teknis yang sangat sulit, pertanyaan yang biasanya hanya bisa dijawab oleh mahasiswa tingkat akhir atau asisten laboratorium.
Devano terdiam sejenak, berpikir. Kelas menjadi sangat hening. Melina menahan napas, ia takut Devano akan dipermalukan oleh sifat kejam Erick.
Namun, dengan suara yang tetap tenang, Devano mulai memberikan penjelasan. Ia menjabarkan siklus umpan balik negatif pada hormon dengan sangat sistematis dan akurat. Tidak ada kegugupan dalam suaranya.
Erick mendengarkan dengan seksama. Dalam hati, ia harus mengakui mahasiswa ini sangat pintar. IPK tinggi itu bukan sekadar angka. Devano memiliki logika yang tajam.
"Jawaban yang cukup baik, Devano. Silakan duduk," ujar Erick dingin, berusaha menyembunyikan kekesalannya.
Erick lalu memberikan nilai A+ pada Devano di catatan daftar nilainya.
Namun, tepat saat Devano akan duduk, sebuah gerakan kecil terjadi. Devano secara tidak sadar menoleh sedikit ke arah belakang, melirik ke arah Melina seolah ingin memastikan apakah penjelasannya tadi terdengar bagus di telinga gadis itu. Ia memberikan senyum tipis yang hampir tak terlihat kepada Melina.
Melina tidak menyadarinya karena ia sedang menunduk menulis catatan, tapi Erick melihatnya.
Erick menangkap tatapan itu. Tatapan seorang pria yang mengagumi seorang wanita. Seketika, rasa cemburu yang panas membakar dada Erick. Ia merasa terancam.
Devano bukan sekadar mahasiswa biasa, dia adalah ancaman yang nyata karena dia sebaya dengan Melina, berada di lingkungan yang sama setiap hari, dan memiliki kecerdasan yang sepadan.
Erick mengepalkan tangannya di balik meja dosen. Ia merasa posesifnya bangkit berkali-kali lipat.
"Dia menatap Melina dengan cara yang sama seperti aku menatapnya," batin Erick geram.
Selama sisa jam pelajaran, fokus Erick terpecah. Ia terus memberikan penjelasan, namun matanya tak lepas mengawasi setiap gerak-gerik Devano. Ia melihat bagaimana Devano sesekali membetulkan posisi duduknya, dan bagaimana Melina tampak nyaman berada di dekat mahasiswa itu.
Di sisi lain, Melina mulai merasakan perasaan yang aneh. Ia bisa merasakan aura kemarahan yang tertahan dari arah meja dosen. Setiap kali Erick memandang ke arahnya, tatapan itu tidak lagi penuh cinta rahasia, melainkan penuh peringatan dan kecurigaan.
Melina pura-pura tidak tahu. Ia bersikap seolah Devano hanyalah teman sekelompok biasa. Namun, di dalam hatinya, ia takut. Ia takut Erick akan melakukan sesuatu yang nekat di kampus.
Selesai kelas, Erick menutup pelajarannya dengan singkat.
"Melina, tolong bawa berkas absensi ke ruangan saya setelah ini."
Bunga menyenggol lengan Melina.
"Tumben banget Pak Erick minta kamu yang antar. Biasanya kan ketua kelas."
Melina hanya bisa tersenyum kaku.
"Mungkin karena aku asisten kelompok praktikum kemarin, Bunga." ujarnya
Saat Melina berjalan keluar, Devano berdiri di dekat pintu, menunggunya.
"Mel, soal laporan kelompok tadi, apa ada yang mau kamu tambahin sebelum dikumpul?"
Melina melirik ke arah Erick yang masih di depan kelas, memperhatikan mereka.
"Eh, enggak ada Dev. Udah bagus kok. Aku duluan ya, takut Pak Erick nunggu."
Devano mengangguk, namun matanya menatap punggung Melina dengan tatapan yang dalam. Ia juga tahu bahwa Pak Erick tak suka menunggu. Ia juga takut kalau Melina bermasalah dengan Pak Erick yang kejam itu.
Erick yang masih berada di depan kelas, melihat interaksi singkat itu dengan rahang yang mengeras. Ia sadar, libur panjang telah berakhir, dan kini ia harus berhadapan dengan kenyataan bahwa Melina adalah gadis yang juga ingin didekati oleh orang lain khususnya oleh mahasiswa pintar bernama Devano ini.
Sesampainya diruangan dosen (Ruang Pak Erick), Melina merasa gugup. Ia meletakkan absensi itu diatas meja Pak Erick.
"Aku tidak suka jika milikku diambil orang" gumam Erick tiba-tiba
Suaranya kecil, tak terdengar oleh dosen lain.
"Maaf Pak." ucap Melina pelan.
Erick menatap Melina lama. Rasanya Ia ingin menerkam gadis itu saat itu juga supaya orang tahu bahwa Melina itu miliknya.
"Tahan Erick. Jangan gila! Kau ini dosen." ujarnya dalam hati yang tegang.
"Kembalilah. Terima kasih." ujar Erick cetus.
Wajah Melina menunjukkan kesedihan. Ia tahu bahwa Erick mungkin cemburu kalau Devano dekat-dekat dengannya. Padahal Melina tak merasakan perasaan apapun pada Devano.
Saat itu, Melina keluar dari ruangan Pak Erick dan menemui Bunga didepan kelas.
"Udah, Mel? Ayok pulang."
"Ayo."