NovelToon NovelToon
MENJADI PILIHAN KEDUA SAHABATKU

MENJADI PILIHAN KEDUA SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pengantin Pengganti / Nikah Kontrak
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ibu Cantik

Sadewa dan Gendis sudah bersahabat dari kecil. Terbiasa bersama membuat Gendis memendam perasaan kepada Sadewa sayang tidak dengan Sadewa,dia memiliki gadis lain sebagai tambatan hatinya yang merupakan sahabat Gendis.

Setelah sepuluh tahun berpacaran Sadewa memutuskan untuk menikahi kekasihnya,tapi saat hari H wanita itu pergi meninggalkannya, orang tua Sadewa yang tidak ingin menanggung malu memutuskan agar Gendis menjadi pengantin pengganti.

Sadewa menolak usulan keluarganya karena apapun yang terjadi dia hanya ingin menikah dengan kekasihnya,tapi melihat orangtuanya yang sangat memohon kepadanya membuat dia akhirnya menyetujui keputusan tersebut.

Lali bagaimana kisah perjalanan Sadewa dan Gendis dalam menjalani pernikahan paksa ini, akankah persahabatan mereka tetap berlanjut atau usai sampai di sini?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bagian 15

Sudah satu minggu Bianca menjadi istri Sadewa.

Namun tidak ada yang berubah kecuali status di atas kertas.

Hari-hari Bianca berjalan dalam pola yang sama. Pagi dimulai dengan apartemen yang masih gelap dan sunyi. Sadewa selalu berangkat lebih dulu, sering kali bahkan sebelum matahari terbit. Tidak ada pamit, tidak ada sarapan bersama. Hanya bunyi pintu yang tertutup pelan, lalu sunyi kembali menguasai ruang.

Bianca menjalani paginya sendiri.

Ia bekerja dari rumah, duduk berjam-jam di depan laptop, tenggelam dalam desain dan rapat daring. Siang hari ia keluar sebentar ke kafe, ke taman, atau sekadar berjalan kaki menghirup udara kota. Sore ia kembali, menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri.

Tidak pernah untuk dua orang.

Sadewa pulang selalu larut. Kadang hampir tengah malam. Kadang bahkan lebih. Saat Bianca masih terjaga, ia hanya mendengar langkah kaki singkat, bunyi kunci kamar utama, lalu kesunyian lagi.

Mereka hidup di satu atap, tapi seperti dua garis sejajar yang tidak pernah bersinggungan.

Sesekali, mereka bertemu di dapur atau lorong sempit. Pertukaran kata mereka singkat, fungsional.

“Aku ke kantor.”

“Iya.”

“Aku pulang larut.”

“Baik.”

Tidak ada tanya kabar. Tidak ada perhatian kecil. Tidak ada pertengkaran juga karena bahkan untuk bertengkar, mereka terlalu jauh.

Bagi Bianca, ini seperti hidup dengan orang asing yang namanya ia kenal sejak kecil.

Ia sering berdiri di depan jendela apartemen saat malam, menatap cahaya kota yang berkelip. Ada saat-saat di mana dadanya terasa sesak, bukan karena Sadewa kejam, tapi karena ia sama sekali tidak hadir.

Tidak dibenci.

Tidak dicintai.

Hanya diabaikan.

Dan entah mana yang lebih menyakitkan.

Di sisi lain, Sadewa juga hidup dalam kekacauan yang ia bungkam. Pekerjaan menumpuk, emosi tidak tertata, dan rumah yang seharusnya menjadi tempat pulang justru terasa seperti ruang transit.

Ia tahu Bianca ada di sana.

Ia melihat jejak keberadaannya gelas bersih di rak, aroma sabun di kamar mandi, lampu ruang tamu yang sering masih menyala.

Tapi ia memilih tidak mendekat.

Karena mendekat berarti harus menghadapi sesuatu yang belum siap ia terima.

Satu minggu berlalu.

Tanpa kemajuan.

Tanpa kejelasan.

Dan dengan jarak yang semakin terasa nyata.

Namun di balik semua itu, sesuatu perlahan terbentuk bukan cinta, belum.

Melainkan kesadaran diam-diam bahwa mengabaikan seseorang yang tulus… membutuhkan tenaga yang jauh lebih besar daripada membencinya.

 

Malam itu terasa berbeda bagi Bianca.

Biasanya, ia sudah berada di kamar sejak pukul sepuluh, menutup hari dengan pekerjaan atau membaca sebelum tidur. Tapi malam ini, ia memilih menunggu. Duduk di sofa ruang tamu, punggungnya bersandar, mata sesekali melirik jam dinding yang terus bergerak.

Ada sesuatu yang harus ia bicarakan dengan Sadewa.

Kelopak matanya mulai terasa berat ketika suara pintu apartemen terbuka terdengar pelan. Bianca langsung tersentak. Kantuknya menguap seketika.

Sadewa masuk dengan langkah lelah. Jasnya disampirkan di lengan, tas kerja tergantung di bahu. Ketika ia melihat Bianca berdiri dari sofa, satu alisnya terangkat samar ekspresi heran yang jarang ia tunjukkan.

“Kamu belum tidur?” tanyanya.

Bianca mengangguk. “Aku nunggu kamu.”

Sadewa menatapnya sejenak, lalu menghela napas pendek. Ia meletakkan tasnya, menarik kursi, dan duduk di seberang Bianca. Wajahnya lelah, matanya redup, seolah tidak punya sisa energi untuk hal-hal yang tidak penting.

“Ada yang mau dibahas?” tanyanya datar.

Bianca meremas ujung bajunya sebentar sebelum bicara.

“Aku mau minta izin… buat kerja.”

Sadewa tidak bereaksi seperti yang Bianca bayangkan. Tidak ada keterkejutan. Tidak ada pertanyaan lanjutan. Bahkan alisnya tidak bergerak.

“Terserah kamu,” jawabnya ringan, hampir acuh. “Selama nggak ganggu.”

Itu saja.

Sadewa berdiri kembali, berjalan menuju lorong tanpa menunggu respons Bianca. Pintu kamar utamanya terbuka dan tertutup, meninggalkan Bianca sendirian di ruang tamu.

Bianca menatap kursi kosong di depannya.

Serius?

Nunggu berjam-jam cuma buat jawaban segitu?

Ia menghela napas panjang, lalu bergumam pelan pada dirinya sendiri, “Tau gitu aku tidur aja dari tadi.”

Dengan langkah sedikit kesal, Bianca masuk ke kamarnya. Ia menutup pintu dengan lebih keras dari biasanya tidak dibanting, tapi cukup untuk melampiaskan kekesalannya.

Di dalam kamar, Bianca menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang sambil cemberut.

Bodoh, Bianca.

Masih aja berharap lebih.

Di kamar sebelah, Sadewa berdiri di balik pintu tertutup. Ia menatap lantai, wajahnya kosong.

Ia mendengar pintu kamar Bianca tertutup.

Dan entah kenapa, ada rasa ganjil di dadanya bukan lega, melainkan seperti melewatkan sesuatu yang seharusnya ia perhatikan.

 

1
Dewi Susanti
lanjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!