Semua orang melihat Kenji Kazuma sebagai anak lemah dan penakut, tapi apa jadinya jika anak yang selalu dibully itu ternyata pewaris keluarga mafia paling berbahaya di Jepang.
Ketika masa lalu ayahnya muncul kembali lewat seorang siswa bernama Ren Hirano, Kenji terjebak di antara rahasia berdarah, dendam lama, dan perasaan yang tak seharusnya tumbuh.
Bisakah seseorang yang hidup dalam bayangan, benar-benar memilih menjadi manusia biasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hime_Hikari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 – Rantai Kebohongan
Udara malam di pinggiran kota terasa lebih dingin dari biasanya. Jalan setapak menuju rumah tua itu dipenuhi daun kering yang menimbun, berdesir setiap kali angin lewat seolah rumah itu sendiri sedang berdesis marah pada siapa pun yang mendekat. Ren berdiri di depan rumah tersebut, napasnya berhembus dalam asap putih tipis. Tangannya gemetar, bukan karena cuaca, tetapi karena kecemasan yang menari di dadanya. Sangat jarang ia merasa takut, tetapi malam ini, ketakutan itu terasa sangat manusiawi.
Ia sudah yakin kalau Ryuga ada di dalam. Ren menggenggam gagang pintu karat itu dan mendorongnya. Pintu berderit panjang, seperti mengeluh setelah sekian lama tidak tersentuh. Gelap menyambutnya. Debu berterbangan. Rumah itu seperti reruntuhan masa lalu yang sengaja dipertahankan agar luka-luka lama tidak pernah tertutup.
“Ryuga! ” Ren memanggil, suaranya pelan namun bergetar.
Hening, lalu terdengar suara langkah perlahan terdengar dari lorong gelap. Seorang pria muncul dari bayangan mantel hitamnya basah oleh hujan. Rambut panjangnya terurai, dan mata abu-abunya menatap Ren dengan tenang. Tenang yang menakutkan orang tersebut adalah Ryuga Hirano.
“Ren.” Hanya satu kata, tetapi cukup membuat napas Ren terhenti sejenak.
Ren mengepalkan tangan. “Kau kabur begitu saja setelah apa yang terjadi di sekolah. Kau pikir aku tidak akan mengejarmu?”
Ryuga hanya menatap adiknya tanpa bergerak. “Kau seharusnya tidak datang.”
“Jangan bodoh!” Ren melangkah maju.
“Kenji hampir mati! Kau menahan peluru itu, jadi kenapa sekarang kau malah menghilang?! Apa kau merasa bersalah? Atau kau?” Ren menelan ludah, suaranya menegang.
“Kau sebenarnya bagian dari Takatori?” tanya Ren.
Ryuga menundukkan kepala sedikit, seperti seseorang yang kelelahan melihat anak kecil melempar tuduhan sembarangan. “Aku bukan bagian dari mereka.”
“Tapi kau pernah menjadi Orion!” bentak Ren.
“Aku tidak pernah setuju,” jawab Ryuga tenang. “Aku hanya dipaksa memainkan peran.”
Kata “dipaksa” itu membuat Ren berhenti marah. Ada getaran getir dalam suara Ryuga. Luka lama yang tidak pernah dia lihat.
Ren menghembuskan napas berat. “Ryuga … kita saudara. Kenapa kau tidak pernah cerita? Kenapa kau hilang? Kenapa kau biarkan aku percaya kau mati?”
Ryuga terdiam lama, tetapi sangat amat lama. Ia memikirkan perkataan yang dilontarkan oleh Ren, ia bingung harus menjawab apa.
Kemudian ia berkata lirih, “Karena hilang lebih mudah daripada hidup sebagai seseorang yang tak diinginkan.” Ren membeku. Dadanya terasa diremas.
“Tidak diinginkan?” Ren hampir berbisik.
“Oleh siapa?” tanya Ren kembali.
Ryuga berjalan menuju ruangan dalam. “Ikut aku.”
Ren menelan kekesalannya dan mengikuti dari belakang. Mereka memasuki sebuah ruang tamu kecil. Papan kayu retak, jendela pecah sebagian. Di tengah ruangan, ada meja tua dengan tumpukan dokumen, map cokelat, dan foto-foto lama.
Ryuga menepuk map paling atas. “Jawaban yang kau cari … ada di sini.”
Ren mendekat perlahan. Ia membuka map itu dan dunia seakan runtuh tepat di depan matanya. Dokumen pertama menampilkan dua tanda tangan yaitu Kazuma Kazuma dan Yukihiro Takatori.
Di bawah tanda tangan itu tertulis
Perjanjian Pemisah Pewaris — Proyek Kembar.
Ren mendadak sulit bernapas. Tangannya bergetar hebat saat ia memegang dokumen tersebut, dan ia mulai membaca paragraf pertama:
Untuk stabilitas tiga keluarga, kedua bayi akan dipisahkan.
Satu berada di bawah pengawasan keluarga Kazuma.
Satu akan dipersiapkan sebagai cadangan oleh keluarga Takatori.
Ren memandang Ryuga dengan mata melebar tidak percaya. Bagaimana tidak Ren tidak percaya kalau Kazuma menandatangani dokumen tersebut tanpa diketahui oleh Kenji.
“Ini apa ini? Kenapa Kazuma … Papa Kenji,” kata Ren dengan suaranya patah.
“Menandatangani ini?!” Ryuga tidak menjawab.
Ia hanya menatap Ren dengan sorot yang sangat lelah. Ren membalik halaman berikutnya. Ada catatan tambahan, tulisan tangan:
Anak kedua menunjukkan potensi yang lebih stabil.
Anak pertama terlalu emosional, tidak cocok untuk pewaris.
Ren menggigit bibir hingga hampir berdarah. “A-anak pertama itu … Kenji.”
Ryuga mengangguk sekali. Ia membenarkan apa yang dikatakan oleh Ren, karena memang itulah yang sebenarnya terjadi.
“Anak kedua itu aku,” jawab Ryuga datar.
Ren merasakan dadanya kosong. Dunia Ren, yang ia jalani selama ini, terasa seperti panggung sandiwara besar yang semua aktornya membohongi dirinya.
“Papaku adalah Papanya Kenji … keluarga Takatori.” Ren terdengar seperti orang yang kehilangan arah.
“Mereka memisahkan kalian. Mereka menjadikan kalian eksperimen. Kenji tidak tahu apa-apa.” Dan saat Ren menutup map itu, ia sadar:
Selama ini, seluruh hidup Kenji rasa sakitnya, luka batinnya, perlakuan Kazuma bukan karena suatu kebetulan. Melainkan Itu semua direncanakan, dipahat dan dirancang.
“Ryuga.” Ren menatapnya dengan mata berkaca.
“Kenapa mereka lakukan ini padamu? Pada Kenji?” tanya Ren.
Ryuga menarik napas panjang. “Karena keluarga kita, keluarga Hirano … hanya anak panah. Digunakan untuk menembak keluarga Kazuma setiap kali Takatori ingin menyalakan perang.”
Ren merasakan jantungnya mencelos. Ia mundur satu langkah. Ren cukup kaget mendengar pengakuan yang dilontarkan oleh Ryuga.
“Jadi … selama ini” Ren terisak marah. “Keluarga Hirano dan Kazuma bukan musuh?!”
“Tidak,” jawaban Ryuga seperti pisau dingin yang menusuk.
“Kita hanya pion. Dipaksa saling bunuh.” Ryuga menoleh pada Ren.
“Mama Kenji dibakar bukan oleh keluarga kita, Ren. Itu dilakukan oleh orang yang memakai mantel Takatori. Dan Kazuma tahu, tetapi dia memilih diam.” Ren menutup wajah dengan kedua tangannya. Tubuhnya bergetar hebat.
“Jadi semua kematian itu semua dendam itu … sia-sia?” Ryuga menjawab lirih.
“Mereka membuat kita percaya bahwa kita musuh agar mereka tetap berkuasa.” Ren tersandar pada dinding, terengah.
Sementara Ryuga memandangnya dengan tatapan sedih. “Aku tidak menyalahkanmu, Ren. Kita berdua korban. Bahkan Kenji … yang paling menderita.”
Rasa bersalah menghantam Ren begitu keras hingga lututnya lemas. Selama ini ia merasakan perbuatan yang ia lakukan itu sia-sia, ternyata selama ini ia hanyalah korban saja.
“Kenji harus tahu,” katanya lirih.
Ryuga menggeleng pelan. “Belum.”
“Kenapa?!” Ren membentak, kali ini dengan suara pecah.
Karena Ryuga tahu sesuatu yang belum siap diterima siapa pun. Ia menatap Ren dalam-dalam, mata abu-abunya menyala oleh sesuatu yang Ren belum pernah lihat yaitu ketakutan.
“Karena … Whisperer masih hidup.” Ucapannya terpotong oleh suara berat dari pintu belakang rumah.
Seseorang menutup pintu, datangnya tanpa suara dengan langkah pelan,tenang, dan berwibawa. Ren dan Ryuga langsung menoleh. Siluet tinggi berdiri di ambang pintu, mantel hitam panjang, rambut terikat, wajah tidak terlihat dalam bayangan. Namun suara itu Ren langsung mengenalinya.
“Ren.” Ren membeku.
Darahnya berhenti mengalir. Ryuga memundurkan diri ke depan Ren, sikapnya defensif, seolah menghadapi predator. Sosok itu melangkah masuk ke cahaya. Dan Ren akhirnya melihat wajahnya. Dunia Ren berhenti bergerak, karena ia melihat papanya, Daisuke Hirano.
Namun bukan itu yang membuat Ren terhuyung, yang membuatnya hampir muntah karena ngeri adalah Di mantel papanya terdapat terukir simbol T merah—simbol Takatori. Ren hampir berteriak. Namun suaranya tercekat.
“Pa-papa?” Daisuke tersenyum kecil, tenang, dan dingin, anaknya yang terkejut melihat keberadaannya.
“Itu semua benar, Ren,” katanya pelan.
“Papa … sudah lama berdiri di sisi Takatori? “ tanya Ren.
Ryuga memaki lirih. “Pengkhianat.”
Daisuke menatap keduanya lembut. “Bukan pengkhianat.”
Ia menatap Ren. “Pencipta perang.”
Daisuke melangkah maju. Wajahnya tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. “Ren … Ryuga, anak-anakku.”
Ia menatap mereka dengan mata yang sangat gelap. “Perang baru dimulai, dan kalian berdua akan berada di pihak yang berbeda.”
Ren mundur dengan tubuh bergetar. Ryuga menyiapkan pisau kecil di tangannya. Daisuke mengangkat tangan, dan dari luar rumah puluhan langkah kaki terdengar pasukan Takatori mengepung rumah.
“Bawa Ren Hirano.” Daisuke tersenyum tipis.
“Biarkan Ryuga mati,” tambah Daisuke.
Ren menjerit. “Papa, Tidak!”