Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
Malam telah larut ketika Anna duduk di sisi ranjang kayu sederhana, memandangi wajah putri kecilnya yang tertidur pulas. Setelah obat terakhir diminum, napas Lili terdengar lebih teratur. Wajah polos itu tampak begitu damai, seolah tak menyimpan rasa sakit apa pun. Pemandangan itulah yang selama ini menjadi alasan Anna tetap bertahan, meski hidup terasa semakin berat dari hari ke hari.
Hanya saat seperti inilah, ketika Lili tidur Anna mengizinkan pundaknya merosot lemas.
Dua tahun lalu, dunia Anna seolah kiamat. Ia masih ingat kepanikan saat Lili yang baru berusia empat tahun menggigil karena demam hebat. Obat sirup yang ia beli dengan harapan menyembuhkan, justru menjadi racun yang menggerogoti tubuh kecil itu. Diagnosis dokter di rumah sakit kota menghantamnya tanpa ampun, gagal ginjal akut. Obat yang dikonsumsi Lili ternyata mengandung zat berbahaya.
Sejak saat itu, hidup Anna berubah menjadi perlombaan melawan waktu dan biaya.
Pagi buta ia harus berkutat dengan adonan kue, lalu siangnya ia habiskan dengan memetik pucuk teh di bawah terik atau hujan. Semua demi biaya cuci darah yang angkanya sering kali membuat Anna ingin menyerah. Namun, ia tidak punya pilihan. Lili tidak memiliki jaminan kesehatan. Karena ia lahir tanpa status yang jelas. Anna melahirkan Lili tanpa ikatan pernikahan yang sah di mata hukum, membuat bocah itu tak terdaftar sebagai warga sipil.
Anna membelai pipi Lili yang tirus. Dadanya sesak luar biasa. Di usianya yang baru 24 tahun, saat wanita lain mungkin sedang menikmati masa muda, Anna sudah memikul beban hidup yang sanggup mematahkan tulang.
"Maafkan Ibu, Nak..." bisiknya lirih.
Satu tetes air mata jatuh, namun Anna dengan sigap mengusapnya dengan punggung tangan. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan menangis lagi, air mata tidak akan membayar biaya rumah sakit, jadi untuk apa dibuang-buang?
Ia bangkit, merapikan botol-botol obat di atas meja kayu yang sudah usang, lalu melangkah keluar kamar. Masih ada pekerjaan yang menanti. Ponsel bututnya tadi bergetar, menampilkan pesan singkat dari Kevin yang meminta pesanan kue untuk diantar besok pagi.
Keesokan paginya, Anna telah siap dengan keranjang dagangannya. Kue-kue buatan tangannya tersusun rapi, masih hangat dan harum. Setelah memastikan semuanya cukup, ia beralih pada Lili yang sudah rapi mengenakan seragam sekolahnya.
Meski kekhawatiran tentang kondisi kesehatan putrinya terus berputar di benaknya, tawa ceria Lili saat bercanda dengan teman-temannya membuat hati Anna sedikit lebih ringan.
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang masih basah oleh embun. Tangan kecil Lili menggenggam tangan Anna erat, sementara tangan Anna yang lain menenteng keranjang kue.
Di depan gerbang sekolah, Anna berlutut. Ia merapikan kerah baju Lili dan mengusap pucuk kepalanya dengan penuh kasih.
“Semangat sekolahnya, ya,” ucapnya lembut.
Lili mengangguk antusias, senyumnya merekah.
“Ibu juga semangat. Semoga kue jualan Ibu habis,” balasnya polos.
Anna tersenyum. “Amin.”
Lili berlari kecil menuju ruang kelas, sesekali menoleh ke belakang sambil melambaikan tangan. Anna membalas lambaian itu sampai sosok kecil itu menghilang dari pandangannya.
Barulah ia berbalik dan melanjutkan langkah. Tujuan utamanya hari ini adalah vila tempat Kevin tinggal.
Sesampainya di depan vila, Anna menarik napas dalam. Senyum tipis terpasang di wajahnya, penuh semangat yang ia bangun dengan susah payah. Ia mengetuk pintu, lalu menunduk membuka penutup keranjang.
"Ini pesanan kuenya..." ucapnya sambil mengangkat wajah. Namun kata-kata itu terhenti di tenggorokan.
Dunia seolah berhenti berputar saat pintu terbuka. Di hadapannya, berdiri seorang pria yang kehadirannya adalah definisi dari neraka masa lalunya. Napas Anna tercekat. Jantungnya berdegup kencang hingga terasa menyakitkan. Matanya membulat sesaat, keterkejutan jelas terpancar sebelum segera ia tekan dalam-dalam. Wajahnya kembali datar. Jemarinya mencengkeram keranjang kuat-kuat, menahan gemetar yang ingin menyeruak.
Di sisi lain, Leo berdiri membeku di ambang pintu, Wajah itu. Wajah yang selama tujuh tahun terakhir menghantui pikirannya. Wajah perempuan yang ia yakini telah mati bersama dosa dan penyesalannya.
"Raya..." bisik Leo, suaranya parau dan bergetar hebat. "Raya, ini kamu? Kamu... kamu masih hidup?"
Leo maju satu langkah, tangannya yang gemetar terangkat seolah ingin menyentuh bayangan di depannya.
Anna menatapnya tanpa ekspresi. Dingin. Jauh. “Maaf, Tuan,” katanya tegas. “Nama saya Anna. Sepertinya Anda salah orang.”
"Saya kemari hanya untuk mengantarkan pesanan kue."
Leo seolah kehilangan kewarasannya. Ia tidak mendengar penolakan itu. Rasa bersalah yang membusuk selama bertahun-tahun meledak seketika. "Raya, maaf... Maafkan aku!"
Tanpa aba-aba, Leo merangsek maju dan menarik tubuh Anna ke dalam pelukan yang menyesakkan. Anna meronta panik. Sentuhan itu... aroma itu... seketika memicu kilas balik yang mengerikan di kepalanya.
"Lepaskan! Anda salah orang! Lepas!" teriak Anna.
“Leo!”
Kevin yang mendengar keributan segera berlari keluar. Matanya membelalak melihat apa yang terjadi. Ia langsung menarik Leo menjauh dari Anna dengan kasar.
“Sudah cukup!”
Anna terhuyung. Napasnya terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat. Ingatan kelam tentang sentuhan yang menjijikkan, teriakan yang memekakkan telinga, dan rasa sakit tujuh tahun lalu, menghujam kepalanya hingga ia merasa sangat pusing
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Kevin cemas melihat wajah Anna yang memucat.
"Maafkan temanku... mentalnya sedikit terganggu karena kehilangan orang yang sangat berharga di masa lalunya."
Anna hanya mampu mengangguk pelan, meski dalam hati ia ingin berteriak. Orang yang berharga? Sungguh lelucon yang menjijikkan.
Setelah menerima pembayaran dengan tangan yang masih gemetar, Anna segera berbalik. Ia melangkah pergi secepat mungkin, tanpa sekali pun menoleh ke belakang. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, mencoba menelan gejolak mual di perutnya.
“Orang yang berharga…” desisnya pelan, senyum pahit terlukis di wajahnya.
“Omong kosong.”
Di dalam vila, suasana berubah mencekam. Leo duduk terjatuh di sofa, wajahnya tersembunyi di balik telapak tangannya, meracau tak keruan.
“Dia Raya, Kevin! Dia hidup!” Leo meracau. “Aku tahu wajah itu. Aku tak pernah melupakannya!”
“Leo, tenanglah!” Kevin memegang bahu sahabatnya kuat-kuat.
“Aku harus menyusulnya! Aku harus minta maaf...” ucap Leo lalu bangkit dari duduknya, dan hendak berlari untuk mengejar Anna.
“LEO, HENTIKAN!” bentak Kevin. Menahan tubuh sahabatnya itu.
Kata-kata itu menghantam kesadaran Leo.
“Raya sudah mati,” lanjut Kevin tegas. “Sampai kapan kamu mau terjebak di masa lalu? Lupakan dia.”
Leo terduduk lemas di sofa.
Ia ingin membantah. Ingin berteriak bahwa Kevin salah. Karena perempuan bernama Anna itu, wajahnya, posturnya, terlalu mirip dengan Raya.
Namun ada satu hal yang tak bisa ia sangkal.
Sorot matanya.
Tak ada lagi ketakutan di sana. Tak ada lagi gadis yang selalu menunduk. Tatapan itu tajam, dingin, dan penuh keteguhan, tatapan seorang perempuan yang telah melewati neraka dan berhasil bertahan.