Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Satu Tarikan Napas
Sabtu pagi di Masjid Agung.
Langit Jakarta tampak bersih, seolah merestui hari sakral ini. Sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah kubah masjid, menciptakan pilar-pilar cahaya yang jatuh tepat di area akad nikah.
Tidak ada ribuan bunga tulip impor. Tidak ada orkestra megah. Hanya ada karpet masjid yang harum, rangkaian bunga melati segar yang sederhana namun wangi, dan keheningan yang menenangkan jiwa.
Di ruang tunggu pengantin wanita, Nayla duduk di depan cermin. Ia mengenakan kebaya putih sederhana berbahan lace prancis, dipadukan dengan kain batik tulis motif Sido Mukti—lambang harapan akan kebahagiaan. Wajahnya dipoles riasan tipis, menonjolkan kecantikan alaminya yang selama ini sering tertutup lelah.
Nenek Ijah berdiri di belakangnya, merapikan kerudung putih yang menutupi kepala Nayla. Tangan keriput Nenek gemetar pelan.
"Cantik, Nduk. Persis almarhumah Ibumu dulu," bisik Nenek Ijah, matanya berkaca-kaca.
Nayla berbalik, memegang tangan Nenek. "Nek... Nayla takut. Nayla deg-degan."
"Nggak usah takut. Kamu mau nikah sama laki-laki baik. Laki-laki yang mau makan nasi uduk di pinggir jalan sama kamu, laki-laki yang ngelindungin kamu dari api. Insya Allah, dia imam yang tepat."
Nenek Ijah mencium kening cucunya. "Ingat pesen Nenek. Jadi istri yang taat, tapi tetep punya harga diri. Surga istri ada pada suami, tapi suami yang baik akan memuliakan istrinya."
"Iya, Nek," air mata Nayla menetes, jatuh di punggung tangan Nenek.
Di area utama masjid.
Aditya Rahardian duduk bersila di hadapan meja akad. Ia mengenakan beskap putih gading, peci hitam, dan kalung ronce melati.
Pria yang biasa memimpin rapat direksi dengan ribuan karyawan itu kini tampak gugup. Keringat dingin membasahi telapak tangannya. Berkali-kali ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu lebih cepat dari mobil sport-nya.
Di sampingnya, Nando duduk anteng mengenakan beskap mini yang senada. Bocah itu memegang kotak cincin dengan sangat hati-hati, seolah memegang bom nuklir.
"Om Adit... eh, Ayah," bisik Nando polos. "Tangannya gemeteran. Takut disuntik ya?"
Adit menoleh, tertawa kecil. Kepolosan Nando sedikit meredakan ketegangannya. "Nggak, Jagoan. Ayah nggak takut. Cuma... saking senengnya, jadi gemeteran."
"Ooh... Nando juga seneng. Nanti kita makan kue enak kan?"
"Pasti."
Penghulu datang, diikuti oleh Pak Wali Hakim (karena ayah Nayla sudah tiada dan tidak ada kerabat pria dekat). Bu Rina dan Pak Darmawan duduk di barisan belakang sebagai saksi keluarga Adit, mata Bu Rina sudah basah memegang tisu.
"Mempelai pria sudah siap?" tanya Pak Penghulu.
Adit menegakkan punggungnya. Wajahnya berubah serius. Tatapan matanya tajam dan fokus.
"Siap, Pak."
Nayla dituntun keluar dari ruang tunggu oleh Nenek Ijah. Ia berjalan perlahan menuju meja akad, menunduk malu.
Saat Adit menoleh dan melihat Nayla, napasnya tercekat.
Wanita itu... wanita yang ia temui di kafe dalam keadaan lelah, wanita yang ia lihat tertidur di samping gerobak nasi uduk, wanita yang menangis dalam pelukannya saat kebakaran... hari ini terlihat seperti bidadari yang turun ke bumi khusus untuknya.
Nayla duduk di samping Adit. Mereka tidak bersentuhan, tapi aura kehangatan mengalir di antara mereka.
"Bismillah," bisik Adit pelan ke arah Nayla.
Acara dimulai. Ayat suci Al-Quran dilantunkan. Suasana semakin syahdu.
Tibalah saatnya momen puncak.
Tangan kanan Adit menjabat erat tangan Pak Wali Hakim. Cengkeramannya kuat, mantap, menyalurkan keyakinan.
"Saudara Aditya Rahardian bin Heru Rahardian..."
"Saya."
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Nayla Anindya binti Rahmat Hidayat, dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat, logam mulia seberat 50 gram, dan uang tunai sebesar 29 Rupiah dibayar tunai."
(29 Rupiah—melambangkan tanggal hari ini, sebuah simbol kesederhanaan di tengah nilai emas yang tinggi).
Adit menarik napas dalam. Satu tarikan napas untuk sisa hidupnya.
"Saya terima nikah dan kawinnya Nayla Anindya binti Rahmat Hidayat dengan mas kawin tersebut, tunai."
Suara Adit lantang, jelas, dan tanpa getar sedikitpun. Menggema di seluruh ruangan masjid, menembus langit-langit, dicatat oleh para malaikat.
Hening sedetik.
"Bagaimana saksi? Sah?"
"SAH!" seru saksi kompak.
"Alhamdulillah..."
Doa dilantunkan. Air mata haru tumpah ruah. Bu Rina menangis tersedu di bahu kerabatnya. Nenek Ijah mengusap wajahnya dengan tangan gemetar, mengucap syukur tak henti-henti.
Nayla menunduk dalam, air matanya jatuh membasahi kebaya putihnya.
Ia bukan lagi janda. Ia bukan lagi wanita yang berjuang sendirian.
Ia adalah seorang istri.
Setelah doa selesai, Adit berbalik menghadap Nayla.
Untuk pertama kalinya sebagai suami istri yang sah, mereka saling memandang tanpa penghalang.
Nayla meraih tangan kanan Adit, lalu mencium punggung tangan suaminya dengan takzim. Sebuah tanda bakti dan penghormatan.
Adit meletakkan telapak tangannya di ubun-ubun Nayla yang tertutup kerudung. Ia memejamkan mata, membacakan doa suami untuk istri.
"Allahumma inni as'aluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha 'alaiha..." (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan tabiatnya...)
Sentuhan tangan Adit terasa hangat, mengalirkan rasa aman ke seluruh tubuh Nayla.
Setelah itu, Adit mengangkat wajah Nayla pelan. Ia menyeka sisa air mata di pipi istrinya dengan ibu jarinya.
"Assalamualaikum, Istriku," bisik Adit lembut.
Nayla tersenyum, senyum paling bahagia yang pernah ia miliki. "Waalaikumsalam, Suamiku."
Adit mengecup kening Nayla. Lama dan penuh perasaan. Kilatan kamera fotografer mengabadikan momen itu, tapi bagi mereka, dunia seolah berhenti berputar.
"Ehem... Ayah, Nando belum dipeluk?"
Suara cempreng Nando memecah suasana romantis itu. Semua orang di masjid tertawa.
Adit dan Nayla tertawa, lalu membuka tangan mereka lebar-lebar. Nando melompat masuk ke pelukan mereka bertiga.
"Sekarang Nando punya Ayah beneran!" seru Nando bangga.
Momen paling emosional terjadi saat sesi sungkeman.
Nayla bersimpuh di kaki Nenek Ijah. Tangisnya pecah tak terbendung.
"Nek... makasih udah ngerawat Nayla... makasih udah jadi bapak dan ibu buat Nayla... maafin semua salah Nayla..."
Nenek Ijah memeluk cucunya erat, bahunya terguncang hebat. "Nggak ada yang perlu dimaafin, Nduk. Kamu cucu terbaik. Bahagia ya, Nduk. Bahagia..."
Lalu giliran Adit yang bersimpuh di depan Nenek Ijah.
Nenek Ijah menangkup wajah tampan Adit dengan kedua tangannya yang kasar. Ia menatap mata Adit tajam.
"Adit," suara Nenek serak.
"Iya, Nek."
"Nayla itu permata Nenek. Dia udah banyak menderita. Dia udah kenyang sama air mata. Sekarang, Nenek serahkan dia ke kamu. Tolong... tolong bahagiakan dia. Kalau dia salah, tuntun dia, jangan dibentak. Kalau dia sedih, peluk dia."
"Saya janji, Nek. Demi Allah, saya akan jaga Nayla dan Nando dengan nyawa saya. Nenek jangan khawatir."
Nenek Ijah mengangguk, lalu mencium kening Adit. "Nenek percaya. Ridho Nenek menyertai kalian."
Tangisan haru memenuhi masjid itu. Sebuah babak baru telah dimulai.
Siang harinya, di rumah Nayla di Tebet, acara syukuran sederhana digelar. Tumpeng nasi kuning, ayam goreng, dan tentu saja—nasi uduk Dapur Nando menjadi menu utama.
Adit sudah melepas beskapnya, berganti kemeja batik santai. Ia duduk di teras, memangku Nando, sambil menyuapi bocah itu makan.
Nayla memperhatikannya dari kejauhan sambil melayani tamu tetangga. Hatinya penuh.
Tiba-tiba, ponsel Nayla bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor kantor.
HRD Rahardian Group (Pak Hadi):
Selamat menempuh hidup baru, Bu Nayla. Oh ya, sebagai hadiah pernikahan dari kantor, SK Pengangkatan Tetap Bapak Aditya sebagai 'Suami & Ayah Siaga' sudah ditandatangani seumur hidup. Tidak ada opsi resign. Selamat berbahagia!
Nayla tertawa kecil membaca pesan itu. Ia memandang langit biru Jakarta.
Tidak ada lagi mendung. Tidak ada lagi badai.
Hanya ada hari ini, dan hari-hari esok yang akan mereka jalani bersama.
"Mas Adit!" panggil Nayla.
Adit menoleh. "Ya, Sayang?"
"Nasi uduknya enak?"
Adit mengedipkan sebelah matanya. "Paling enak sedunia. Apalagi bumbunya pake cinta."
Nayla geleng-geleng kepala. Suaminya memang raja gombal. Tapi kali ini, gombalan itu miliknya seorang. Selamanya.
...****************...
Bersambung....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️