Revan adalah pria tampan dan pengusaha muda yang sukses. Namun di balik pencapaiannya, hidup Revan selalu berada dalam kendali sang mama, termasuk urusan memilih pendamping hidup. Ketika hari pertunangan semakin dekat, calon tunangan pilihan mamanya justru menghilang tanpa jejak.
Untuk pertama kalinya, Revan melihat kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri. Bukan sekadar mencari pengganti, ia menginginkan seseorang yang benar-benar ingin ia perjuangkan.
Hingga ia teringat pada seorang gadis yang pernah ia lihat… sosok sederhana namun mencuri perhatiannya tanpa ia pahami alasannya.
Kini, Revan harus menemukan gadis itu. Namun mencari keberadaannya hanyalah langkah pertama. Yang lebih sulit adalah membuatnya percaya bahwa dirinya datang bukan sebagai lelaki yang membutuhkan pengganti, tetapi sebagai lelaki yang sungguh-sungguh ingin membangun masa depan.
Apa yang Revan lakukan untuk meyakinkan wanita pilihannya?Rahasia apa saja yang terkuak setelah bersatu nya mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Provokasi
Sudah hampir seminggu sejak pertunangan Revan dan Eliana berlangsung. Namun, keduanya jarang bertemu. Mereka hanya berkomunikasi lewat sambungan telepon, sekadar menanyakan kabar dan berbagi cerita singkat.
Keduanya sepakat untuk tidak sering bertemu sebelum menikah. Bagi mereka, menjaga batas tetap penting meski sudah resmi bertunangan.
Siang ini di butik Eliana tengah fokus memotong kain pesanan pelanggan. Namun, konsentrasinya buyar saat ponselnya yang tergeletak di meja kerja tiba-tiba berdering. Ia meletakkan gunting di tangan, menghapus sisa serat kain di jarinya, lalu mengambil ponsel yang masih bergetar.
Begitu melihat nama di layar, bibirnya otomatis tersenyum. Tanpa ragu, ia menekan tombol hijau. “Assalamu’alaikum,” sapa Eliana lembut.
“Wa’alaikumussalam,” jawab suara di seberang, suara Revan yang selalu terdengar tenang. “Maaf, aku ganggu, Kamu sibuk?”
Eliana terkekeh kecil. “Lumayan. Tapi nggak apa-apa. Ada apa, Re?”
“Nggak ada apa-apa,” jawab Revan pelan. “Aku cuma mau ngajak kamu jalan minggu besok. Kalau kamu sempat.”
“Jalan? Ke mana?” tanya Eliana penasaran.
“Kemana saja. Bisa ke bioskop, atau tempat yang kamu mau.”
Eliana berpikir sejenak lalu berkata, “Baiklah, tapi aku ajak Nadia, ya.”
“Boleh,” sahut Revan cepat. “Aku juga akan ajak Riki biar ramai.”
Sebelum menutup panggilan, Revan menambahkan, “Sudah dulu, ya. Ingat, jangan terlalu capek dan jangan lupa makan.”
Eliana tersenyum mendengar perhatian itu. “Kamu juga, jangan sampai telat makan, apalagi kurang tidur.”
Mereka saling berpamitan dan mengakhiri panggilan dengan salam yang lembut.
Sore harinya, saat makan siang bersama di ruang belakang butik, Eliana menceritakan kabar itu pada sahabatnya. “Nad, hari Minggu ikut aku jalan, ya,” ajak Eliana sambil mengaduk jus mangga di tangannya.
“Jalan? Ke mana?” tanya Nadia, mulutnya masih penuh dengan makanan.
“Tadi Revan nelpon, dia ngajak keluar minggu ini. Kamu ikut, ya.”
Nadia menaikkan alisnya. “Aku ikut kalian? Jadi obat nyamuk, dong.”
Eliana tertawa pelan. “Nggak kok, Nad. Kamu ikut aja. Biar rame. Ayolah, demi aku, ya.”
Nadia menghela napas pura-pura berat. “Ya sudah, baiklah. Demi kamu. Tapi kamu traktir aku nanti.”
Eliana terkekeh. “Deal.”
Menjelang sore, butik mereka tutup lebih cepat dari biasanya. Eliana dan Nadia berencana berbelanja keperluan rumah sebelum akhir pekan tiba.
Kini keduanya sudah berada di pusat perbelanjaan besar di kota. Suasana ramai, namun nyaman. Eliana mendorong troli, sementara Nadia memegang daftar belanja di tangannya.
“Pertama, kita cari bahan makanan dulu, ya.” kata Eliana.
Mereka berjalan ke bagian sayur dan buah segar. Eliana memilih beberapa ikat bayam, wortel, kentang, serta tomat merah yang masih segar. Sementara Nadia sibuk menimbang apel dan jeruk.
“El, kamu mau buah apa lagi? Ini mangga harum manis nya bagus banget, loh.” seru Nadia.
“Boleh deh, ambil dua kilo. Nanti buat jus di butik.”
Setelah selesai di bagian buah, mereka lanjut ke area bahan pokok. Eliana mengambil beras, minyak, dan tepung, sementara Nadia menambahkan mie instan dan kopi favorit mereka ke dalam troli.
“Kamu yakin ini semua cukup seminggu?” tanya Nadia sambil menatap troli yang mulai penuh.
“Nggak tahu, tapi kayaknya tiap minggu kita belanja segini terus.” jawab Eliana sambil tertawa kecil.
Setelah membayar belanjaan di kasir, Nadia menarik tangan Eliana. “El, kita mampir ke toko pakaian yuk. Aku mau cari piyama baru.”
“Lho, kamu kan baru beli minggu lalu.”
“Itu kan piyama motif bunga, sekarang aku mau yang polos. Biar elegan kalau dipakai tidur.” jawab Nadia dengan nada serius, membuat Eliana tertawa.
Mereka pun masuk ke toko pakaian. Nadia sibuk mencoba beberapa piyama lucu dengan motif berbeda, sementara Eliana membantu memilihkan warna yang cocok.
“Yang ini lucu, tapi kayaknya terlalu cerah,” komentar Eliana sambil memegang piyama berwarna merah muda terang.
“Kalau gitu yang ini, deh. Abu-abu lembut, kelihatan adem.”
“Setuju,” kata Eliana. “Warna itu cocok banget sama kamu.”
Setelah selesai berbelanja, mereka keluar dari toko sambil membawa beberapa kantong belanjaan. Langit di luar mulai berubah jingga, menandakan hari hampir berakhir.
Nadia menatap Eliana sambil tersenyum. “Kamu kelihatan bahagia, El.”
Eliana menatap ke arah langit senja yang berwarna keemasan. “Iya, Nad. Aku cuma berharap semuanya tetap seperti ini. Tenang dan sederhana.”
Nadia mengangguk pelan. “Semoga aja. Tapi ingat, kalau ada apa-apa, kamu punya aku yang siap membantu mu.”
Eliana tersenyum hangat. “Iya, Nad. Aku tahu.”
Mereka pun melangkah keluar dari pusat perbelanjaan, membawa belanjaan dan tawa yang menutup hari itu dengan kebersamaan yang hangat.
---
Ketenangan mereka tidak bertahan lama. Baru saja Eliana dan Nadia melangkah keluar dari pusat perbelanjaan, tiba-tiba terdengar suara menyindir dari belakang.
“Ada yang baru selesai belanja nih. Bukankah sudah punya tunangan? Kok dibiarkan belanja sendiri?” ucap seseorang.
Eliana dan Nadia serempak menoleh. Eliana mengernyit, mencoba mengingat wajah perempuan yang berdiri di hadapan mereka.
Celin… gumam Eliana dalam hati. Ia mengenali wajah itu dari foto yang pernah ditunjukkan Revan, sebagai antisipasi jika Celin tiba-tiba muncul. Dan rupanya, dugaan Revan benar.
Nadia hanya diam sambil memperhatikan. Ia tidak mengenal gadis itu, tetapi nalurinya langsung mengatakan bahwa kemunculan perempuan ini pasti ada hubungannya dengan Eliana dan Revan.
Karena tidak mendapat respons, Celin melangkah lebih dekat kemudian mengulurkan tangan.
“Celin. Kekasih Revan,” ucapnya, sengaja menekan kata kekasih.
Eliana menyambut uluran tangan itu dengan tenang. “Eliana. Calon istri Revan,” balasnya lembut namun tegas.
Celin tertegun sesaat. Ia tidak menyangka Eliana akan tetap bersikap begitu tenang setelah apa yang diucapkannya, niat Celin ingin memprovokasi Eliana. Tapi malah ia yang merasa terprovokasi.
Nadia, yang berdiri di samping Eliana, tersenyum tipis. Dalam hati ia mengacungkan jempol pada sahabatnya, jawaban Eliana benar-benar keren. Dan kini ia semakin yakin bahwa perempuan ini adalah calon tunangan Revan yang dulu kabur
“Memangnya kenapa? Apa ada yang salah kalau aku belanja sendiri?” ucap Eliana santai.
Celin mendengus kecil. “Revan itu,dulu ya… dia nggak akan membiarkan aku pergi sendirian. Ke mana pun aku pergi, dia pasti menemani. Aneh saja kalau dia membiarkan wanita yang telah menjadi tunangan nya belanja sebanyak ini tanpa pengawasan.” Celin kembali memancing kemarahan Eliana.
Nadia langsung ikut campur. “Eh, lu buta ya? Eliana nggak sendirian. Kamu nggak lihat aku di sini?”
Celin menatap tajam, tapi Nadia belum selesai. “Lagian ya, paling kamu sendiri yang maksa Revan buat nganterin kamu ke mana-mana. Dan satu lagi itu dulu, kalau sekarang beda lagi.”
“Aku tidak bicara dengan mu. Dan aku tidak punya urusan dengan mu,” balas Celin ketus.
“Terserah, tapi aku juga nggak bakal diam kalau kamu ganggu Eliana. Revan sudah menugaskan aku buat jagain calon istri tercintanya,” sahut Nadia santai sambil memanasi Celin.
Mendengar itu, Celin mengepalkan tangan. Niat awalnya ingin membuat Eliana cemburu, malah dirinya sendiri yang terbakar emosi.
“Ayo, Nad. Tidak usah diladeni,” ujar Eliana pelan. Ia tidak ingin keributan terjadi, apalagi di tempat umum.
Nadia akhirnya mengikuti langkah Eliana menuju mobil.
Saat Eliana membuka pintu, Celin berteriak lantang, “Aku tidak akan menyerah! Aku akan merebut kembali apa yang seharusnya menjadi milikku!”
Eliana dan Nadia saling pandang sebentar, lalu sama-sama menggeleng. Tanpa menanggapi, mereka masuk ke mobil. Mesin dinyalakan, dan Eliana langsung melaju, meninggalkan Celin yang masih dipenuhi amarah.
Dalam perjalanan pulang, Nadia berkata, “Kamu harus hati-hati, El. Wanita itu sepertinya nggak akan tinggal diam.”
Eliana mengangguk sambil tetap fokus pada jalan. “Iya, Nad. Tenang saja, aku akan hati-hati.”
Dalam hati, Eliana tahu ancaman bukan hanya dari Celin. Bukan dia saja yang harus aku waspadai…