NovelToon NovelToon
Object Of Desires

Object Of Desires

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / Pengganti / Crazy Rich/Konglomerat / Pengantin Pengganti / Romansa / Kaya Raya
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Elin Rhenore

Takdir kejam menuntutnya menjadi pengantin pengganti demi menebus sebuah kesalahan keluarga. Dan yang lebih menyakitkan, ia harus menikah dengan musuh bebuyutannya sendiri: Rendra Adiatmaharaja, pengacara ambisius yang berkali-kali menjadi lawannya di meja hijau. Terjebak dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan, Vanya dipaksa menyerahkan kebebasan yang selama ini ia perjuangkan. Bisakah ia menemukan jalan keluar dari sangkar emas Rendra? Ataukah kebencian yang tumbuh di antara mereka perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elin Rhenore, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

On To The Game

Tidak mudah bagi Vanya untuk menghilangkan ingatan tentang adegan panasnya di depan kantor firmanya dengan Rendra. Siapa yang akan menduga bahwa pria itu malah nekat membungkam mulut Vanya dengan bibirnya, panas dan menggairahkan. Vanya merasa dirinya sangat bodoh, dia sendiri mengikuti setiap gerakan dari bibir panas Rendra, menari dengan indah dalam pergulatan yang nikmat.

Itu bukan ciuman pertamanya, tapi rasanya jauh lebih menggiurkan dari Soto Banjar kesukaannya dan jauh lebih menyenangkan. Vanya bisa merasakan seolah ada kembang api yang sedang meledak-ledak di kepalanya setiap bibir Rendra bergerak. Hingga tanpa sadar dirinya yang masih mengingat adegan tak seronok itu selalu menyentuh bibirnya sendiri saat bekerja dan otaknya melayang kembali pada adegan tersebut.

"Sebenarnya ...." Suara Julia yang cukup lembut itu mengejutkan Vanya hingga dirinya terlonjak dan otomatis menurunkan tangannya, menyembunyikan imajinasi joroknya, meski bibirnya yang sedikit membengkak itu tak bisa ia sembunyikan begitu saja.

"Kamu mengagetkanku saja!" pekik Vanya sambil menata mejanya salah tingkah. Hal itu pun tak luput dari tatapan mata Julia. Wanita dengan warna lipstik yang menyala itu menyandarkan siku lengannya di atas kubikel tempat Vanya bekerja.

"Apakah ada sesuatu di antara kamu dan pengacara super ganteng itu?" tanya Julia menyelidik. Matanya menyipit menunggu jawaban dari Vanya yang terlihat berusaha untuk acuh tak acuh dengan pertanyaan itu.

"Hubungan kami sebatas rival di pengadilan, memangnya kami bisa berhubungan seperti apa?"

"Lalu kenapa tidak mengajaknya masuk ke dalam kantor kita? Kenapa kamu memilih untuk menjauh, apa ada pembicaraan yang tidak boleh kami dengar?" ada seringai nakal di wajah Julia, untuk sebuah informasi dia tidak akan berhenti mengoreknya sampai mendapat sebuah kebenaran. Di sisi lainnya, ada seseorang yang sedang menguping pembicaraan mereka, Henggar, tentu saja dia juga ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Persidangan yang melibatkan Vanya dan Rendra sudah selesai minggu lalu, semua urusan juga sudah selesai, terlebih lagi kantor Rendra berada di Jakarta, sangat jauh, untuk apa jauh-jauh ke tempat ini?

Vanya memutar otaknya, dia harus memberikan jawaban yang memuaskan Julia agar wanita itu berhenti menanyainya. Setelah beberapa saat, Vanya menghela nafasnya bersiap untuk mengatakan sesuatu. "Dia sedang berusaha untuk merekrutku ke firmanya ...." Saat itu juga ekspresi Julia sangat terkejut, bahkan Henggar yang sedari tadi hanya menguping jadi berdiri dan menatap Vanya. "Tapi kutolak! Aku menolaknya. Bagaimana bisa aku pergi begitu saja dari firma kita."

"Sungguh? Kamu menolaknya?" tanya Henggar dengan penuh rasa penasaran yang terlihat jelas di matanya. Tampak sekali dia tidak ingin harus berpisah jarak dengan Vanya. Selama ini pria itu sudah menyimpan rasa yang begitu dalam pada Vanya, tapi tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Jadi ia hanya bisa menjadi teman dekatnya, untuk merubah hubungan mereka menjadi sepasang kekasih, ia benar-benar tak memiliki keberaniannya.

"Iya, tapi ...."

"Tapi apa? Apa dia mengancammu?"

"Iya, apa dia mengancammu?" imbuh Julia. Mereka semakin penasaran.

"Kantor pusat memintaku untuk bekerja di Jakarta, jadi meski tidak ke firma Pak Rendra aku tetap harus pergi." Akhirnya Vanya menggunakan kesempatan ini untuk berpamitan. Dia tidak sepenuhnya berbohong, karena sebelumnya Rendra sudah mengatakan bahwa dirinya telah bicara dengan Harun Murya untuk memindahkan Vanya ke kantor pusat.

"Kamu gila, kenapa kamu baru mengatakannya?" tuntut Julia. Di lain sisi, Henggar tampak sedih.

"Apa kamu benar-benar akan pindah?"

"Iya, Pak Harun sudah memintaku saat aku pulang kemaren," bohong Vanya. Dengan menggunakan nama Harun, dia berharap bahwa tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut karena semua orang tahu jika Vanya adalah anak angkat Harun Murya.

"Pak Tua itu, dulu dia menyingkirkanmu jauh kemari, sekarang dia memintamu untuk pulang. Sungguh aneh." Julia menggerutu. "Tapi itu lebih baik, setidaknya karirmu akan lebih terjamin di sana."

"Jika memang begitu, aku turut senang, Nya." Henggar terlihat begitu tulus meski jelas sekali terlihat di matanya ada kesedihan yang tak bisa dijelaskan. Ada ketidakrelaan yang begitu kuat tapi pria itu bijaksana menutupi perasaannya dan tidak membebani Vanya.

"Kapan kamu pindahnya?" tanya Julia lagi.

"Besok. Malam ini aku harus kembali ke Jakarta." Lagi-lagi ekspresi Julia dan Henggar seperti baru saja dijatuhi dengan bom atom. Mereka benar-benar terkejut.

"Secepat itu? Tidak ada farewell party? Membosankan!"

Sementara Henggar benar-benar tak bisa berkata apapun. Dia jelas-jelas terpukul. Vanya tak terbiasa menghadapi situasi yang seperti ini, ia hanya bisa tersenyum canggung. Berkat Rendra dia harus menghadapi situasi ini, sungguh bukan sesuatu yang dia inginkan. Awas saja jika nanti mereka bertemu, Vanya pasti akan membalas semuanya.

"Lain kali aku akan sungguh-sungguh mentraktir kalian makan. Lagipula aku masih harus bolak balik ke sini untuk menangani kasus sengketa tanah itu."

"Baiklah-baiklah." Akhirnya Julia pun menyerah. "Kamu harus berhati-hati di kantor pusat, ada seorang pria yang kejam sekali saat bekerja. Kamu berdoa saja tidak berurusan dengannya."

"Tenang saja, aku bisa menghadapi siapapun bahkan jika dia seganas gorila." Vanya cukup percaya diri, dia selalu percaya diri sejak usia muda hingga menjadi seorang pengacara, dia selalu percaya pada dirinya bahwa dia pasti bisa menghadapi apapun dalam situasi apapun. Henggar tersenyum mendengar kepercayaan diri Vanya.

"Tapi kamu tetap harus hati-hati, kantor pusat tidak sesantai kantor kita." Henggar memberikan petuahnya.

"Jangan khawatir, ingat panggilan kalian untukku apa, aku adalah cabe rawit!"

Julia dan Henggar terkekeh geli mendengar Vanya. "Sudah, semuanya kembali bekerja!" Julia mengingatkan. "Good luck, little Chilli."

Julia dan Henggar kembali ke tempat kerja mereka masing-masing, Vanya pun melanjutkan pekerjaannya sampai dia mendapatkan sebuah pesan dari seorang yang tak dikenal. Tapi melihat gaya tulisannya Vanya tahu jika itu dari Rendra, lagipula hanya Rendra yang dia beri kunci rumahnya. Rendra beralasan dia akan menunggu Vanya selesai bekerja dan pulang ke Jakarta bersama-sama.

Setelah memastikan tak ada lagi teror dari Rendra, dia pun kembali berkutat pada semua dokumen-dokumen yang ada di mejanya. Memilah mana pekerjaan yang akan dialihkan kepada pengacara lainnya sebelum ia menjalani hari-harinya di kantor barunya di Jakarta kelak. Rendra benar-benar membuatnya sibuk hari ini.

***

Masuk ke dalam rumahnya, Vanya tidak menemukan Rendra di ruang tamunya yang sempit. Mengingat kembali pesan yang dikirimkan oleh Rendra, ia pun langsung bergegas menuju ke satu-satunya kamar di rumahnya yang kecil. Benar saja, di sanalah dirinya menemukan pria itu—di atas kasurnya yang berukuran 180x120, pria itu terlihat seperti seorang raksasa. Anehnya, kamarnya yang biasa berantakan itu kini lebih rapi.

"Apa dia membersihkan kamarku?" gumam Vanya.

Penasaran karena kedatangannya tidak mengganggu ketenangan tidur si raksasa itu, Vanya akhirnya berjalan mendekat dan berjongkok di sampingnya. Dia memperhatikan pria itu sedang begitu pulas, bahkan mendengkur halus, seolah-olah mimpinya lebih menyenangkan daripada kehidupan nyata. Tapi di sisi lain, Vanya juga melihat sosok yang tampak begitu lelah hingga tidur menjadi satu-satunya tempat menghilangkan rasa lelah.

"Kenapa bisa tidur pulas sekali di kamar orang lain," lirih Vanya.

Vanya masih memperhatikan damainya wajah Rendra, dipandanginya semua lekuk di wajah itu. Semuanya terlihat sempurna, bahkan goresan di dahi yang biasanya menghiasi saat Rendra bicara atau menatap lawan bicaranya itu lenyap. Sepertinya, Rendra benar-benar lelah sampai dia begitu pulas.

Tak hanya Rendra, tubuh Vanya pun terasa lelah. Dia pergi dari Jakarta malam-malam dan tiba saat matahari sudah menyingsing. Dia belum tidur sama sekali sejak datang ke Nusantara. Belum lagi ia harus menyelesaikan semua pekerjaannya untuk mengalihkan kepada pegawai lainnya. Tapi melihat Rendra menguasai kasurnya, ia hanya bisa menghela nafasnya lalu bersandar di sisi ranjang dan meletakkan kepalanya di ranjang hingga matanya pun terlelap.

***

Mencium aroma gurih yang nikmat membuat perut Vanya mendadak berbunyi, menuntut pemiliknya untuk bangun dari mimpi indahnya. Vanya membuka matanya, ia merasakan kehangatan tubuhnya, ia menyadari bahwa ia tidak lagi tidur di lantai, ia sudah ada di atas ranjang dengan selimut membungkus tubuhnya. Dia melihat sekelilingnya, tidak ada tanda-tanda keberadaan Rendra.

Aroma gurih ini menarik Vanya keluar dari balik selimutnya, ia bergegas keluar dari kamarnya dan pergi ke dapur kecil miliknya. Di sana ia melihat sosok raksasa menggunakan celemek yang tidak muat di tubuhnya yang kekar sedang memasak. Sungguh keberadaan Rendra di dapurnya yang kecil terasa sangat tidak cocok. Namun apa yang bisa dia lakukan, tampaknya pria itu sangat menikmati kegiatannya di dapur kecil itu.

"Kamu sudah bangun, duduklah. Saya sudah buatkan kamu makanan."

Vanya melihat ke arah meja makan dan melihat sepiring nasi goreng tersedia di atas meja. Tapi ia masih penasaran dengan apa yang dimasak oleh Rendra.

"Kamu masak apalagi, mas?"

"Kamu hanya punya telur di dalam kulkas, bisa masak apalagi memangnya."

"Oh."

"Oh?" Rendra tampak tidak terima Vanya meremehkan omelet buatannya.

"Ya memangnya aku harus ngomong WOW gitu?"

Rendra hanya mendengus, perempuan di hadapannya dengan rambut acak-acakan itu sungguh berhasil membuatnya kesal. Dia tidak pernah sekesal ini dalam hidupnya kepada seorang perempuan. Tapi Vanya sepertinya pengecualian, keras kepalanya gadis itu benar-benar sesuatu, mirip dengan kakaknya. Mungkin keras kepala memang turun temurun di keluarganya.

"Terserah apa kata kamu, yang jelas kamu makan dulu lalu siap-siap."

"Jam berapa pesawatnya?" tanya Vanya sembari mencuri cium aroma omelet yang baru saja diletakkan Rendra ke atas piring dan disodorkan ke hadapannya itu.

Rendra melepaskan celemeknya lalu duduk berhadapan dengan Vanya, ia melihat pada jam tangannya. "Dua jam lagi, kenapa? Apa kamu tidak rela pergi secepat ini?"

Vanya baru saja menyendokkan potongan omelet ke mulutnya, ia mengunyahnya agak lama, memang disengaja untuk menggoda Rendra. Karena rupanya Rendra adalah orang yang tidak sabaran sehingga mendapatkan jawaban lama pasti menguji kesabarannya.

"Kamu tidak rela berpisah dengan kekasih gelap kamu itu?"

Kali ini pertanyaan Rendra berhasil membuat Vanya tersedak hingga ia terbatuk. Rendra begitu sigap, ia berdiri dan mendekat pada Vanya, menepuk-nepuk punggungnya. Usai memastikan bahwa Vanya tidak dalam bahaya, ia mengambilkan minum dan membantunya.

"Makan pelan-pelan, tidak ada yang akan merebut makananmu." Rendra kembali ke tempat duduknya.

"Bukan itu, kamu bilang siapa kekasih gelapku tadi?"

"Iya itu pria yang berjalan bersama kamu tadi. Saya punya mata, saya bisa lihat dia menaruh hati padamu."

"Kayaknya kamu perlu pergi ke dokter mata."

"Mata saya masih normal, Little Cat."

"Bisa nggak sih, jangan panggil aku begitu."

"Tidak bisa. Saya akan memanggil kamu sesuka hati saya." Rendra kini memainkan kartu keras kepalanya, ingin tahu sampai kapan perempuan di hadapannya ini akan menentangnya.

"Sudahlah, terserah kamu aja mas. Lagipula ...." Vanya tak ingin melanjutkan ucapannya, ia tahu saat ini semua ucapannya hanya sia-sia belaka. Saat ini Rendra yang menguasai permainan ini, sementara dirinya benar-benar tak memiliki petunjuk apapun untuk memberi perlawanan.

"Lanjutkan!"

"Apa?" tanya Vanya pura-pura tidak mengerti.

"Katakan apa yang ingin kamu katakan, saya mendengarkan."

"Benarkah? Kalau kamu mendengarkan, kamu tidak mungkin menjebakku dalam pernikahan ini."

Rendra meletakkan alat makanannya, terlihat rahangnya mengatup keras. Ia mengambil piring milik Vanya juga, lalu pergi menuju ke tempat cuci piring.

"Mas, aku belum selesai makan." Tapi Rendra tidak memberikan jawabannya. Ia hanya membuang sisa makanan di atas piring Vanya dan mencuci semua piring itu dalam diam.

Merasa diabaikan begitu saja dan Vanya paling tak suka jika dirinya diabaikan, ia pun berjalan mendekat ke tempat Rendra sedang mencuci piring bekas makan mereka.

"Kenapa sekarang kamu diam? Kenapa kamu tidak menyombongkan diri jika ini semua adalah bagian dari permainanmu, mas?"

"Kamu sudah tahu jawabannya, kenapa masih menuntut jawaban?" Rendra asuh tak acuh, ia menaruh semua piring bersih ke tempatnya. Kali ini Vanya begitu tidak sabar, ia meraih lengan Rendra dan menariknya hingga pria yang menjulang tinggi itu menoleh padanya.

"Biarkan aku bermain."

Mata Rendra agak melebar mendengarnya. Ia menatap mata Vanya yang memandanginya tajam.

"Jangan katakan sesuatu yang tidak sesuai dengan hatimu."

"Jika aku melakukannya sesuai dengan keinginan hatiku, aku tidak akan terjebak pada pernikahan palsu ini."

"Kamu bilang ini pernikahan palsu?" tampaknya emosi Rendra tersulut, ia maju selangkah mendekat pada Vanya, nafasnya pun menjadi memburu.

"Iya, pernikahan ini hanya sebuah kepalsuan belaka!" Vanya meninggikan suaranya.

Saat itu juga, tangan kekar Rendra menyambar leher Vanya dan mencengkramnya kuat hingga wajah gadis itu memerah dibuatnya.

"Mas, apa yang kamu lakukan."

"Jadi kamu anggap setiap ucapan saya palsu?"

"M-mas ... le-lepaskan."

Bukan melepaskan cengkramannya pada leher Vanya, dia menariknya mendekat hingga bibirnya berada di sebelah telinga Vanya untuk memastikan bahwa gadis itu pasti akan mendengarnya.

"Mungkin bagi saya semua ini adalah bagian dari permainan, tapi tidak ada kepalsuan di dalamnya." Rendra berbisik dengan suara serak bagaikan geraman singa yang siap menerkam mangsanya. Setelah menyampaikan pesan itu, ia melepaskan leher Vanya dan menimbulkan bekas kemerahan di sepanjang lingkar leher putih Vanya.

Rendra berbalik hendak pergi, namun Vanya menahan tangannya. Rendra berhenti melangkah tapi ia sama sekali tidak menoleh ke belakang. Ia hanya merasakan jika Vanya saat ini sedang menatap punggungnya.

"Kalau begitu ijinkan aku ikut bermain. Aku tidak ingin menjadi pion yang menghibur kalian."

Batin Rendra tergugah hingga akhirnya ia berbalik dan menghadap Vanya. Jari tangannya yang perkasa itu menyentuh dagu Vanya dan membuatnya mendongak hingga kedua pasang mata mereka saling bertubrukan dalam ritme yang tak beraturan.

"Jika itu keinginanmu, pilih sisi mana kamu ingin bermain. Menjadi sekutuku atau musuhku." Hembusan nafas Rendra menyapu seluruh wajah Vanya, membuat perempuan itu sepenuhnya sadar, dia harus cermat dalam memilih. Tapi saat ini, Vanya tak tahu apapun, apa sebenarnya yang dilakukan Rendra hingga Harun Murya—ayah angkatnya—hingga membuat kesepakatan seperti itu, dan apa sebenarnya yang mereka hadapi.

Vanya mengepalkan tangan di kedua sisinya, kepalanya berpikir dengan sangat keras. Dia harus cermat dalam memilih. Salah memilih maka hancur sudah, kemungkinan dia tidak akan bisa terlepas dari pernikahan gila ini. Dia harus menyelamatkan dirinya dan mungkin keluarga angkatnya juga.

"Siapa yang kamu pilih, Little Cat?"

"Aku memilih diriku sendiri."

"Bodoh." Rendra melepaskan dagu Vanya dengan kasar, lalu ia pun beranjak pergi. Namun sekali lagi Vanya menahan Rendra untuk pergi.

"Tapi aku juga tidak memilih menjadi musuhmu, aku ingin bermain dengan kakiku sendiri, jika aku sudah mengetahui keseluruhan situasinya, mungkin aku akan..."

"Tidak perlu dilanjutkan, aku mengerti." Rendra pun melangkah pergi.

"Dasar pemarah! Memangnya apa yang dia mengerti?" gerutu Vanya sembari berbalik dan pergi untuk bersiap-siap kembali ke Jakarta. 

...*Bersambung*...

1
👣Sandaria🦋
baca satu bab, Kakak. asik nih cerita pengacara saling bakutikam di ruang sidang, kemudian saling bakugoyang di ranjang👍😆
Elin Rhenore: terima kasih kakak /Hey/
total 1 replies
d_midah
selain cantik, yang aku bayangin pipinya yang gemoy☺️☺️🤭
Tulisan_nic
sidangnya siaran langsung apa gimana Thor?
Elin Rhenore: sidangnya siaran langsung, karena sifatnya terbuka untuk umum.
total 1 replies
Tulisan_nic
Baca bab 1 udah keren banget,aku paling suka cerita lawyer² begini.Lanjut ah
Elin Rhenore: terima kasih yaaa, semoga sukaa
total 1 replies
Ayleen Davina
😍
Sweet Moon |ig:@sweet.moon2025
Hallo Kak. Semangat berkarya ya 🫶
Sweet Moon |ig:@sweet.moon2025: seru ceritanya 🫶
total 2 replies
Mike_Shrye ❀∂я⒋ⷨ͢⚤
"istri saya" kulanjutin dah😂
Mei Saroha
ayooo kakak othorr lanjutkaann... yukkk bisa yuukkk
Elin Rhenore: sabar yaaaa hehehehe
total 1 replies
Mei Saroha
rendra bertekad untuk lindungi Vanya..
Mei Saroha
alurnya keren thorr
semangat nulisnyaa yaaaa
Mei Saroha
hareudangg euyyy
Mei Saroha
morning wood itu apa kak 😃😀😁
Mei Saroha
apakah keluarga rendra membunuh orangtua Vanya?
Siti Nina
Lanjut thor jgn di gantung cerita nya
Siti Nina
Nah lho perang akan segera di mulai
Siti Nina
Oke ceritanya 👍👍👍
Siti Nina
Meleleh gak tuh mendengar ucapan Renrda manis banget
Mei Saroha
wahh.. ini masuk KDRT bukan sih
Mike_Shrye ❀∂я⒋ⷨ͢⚤
good
Mike_Shrye ❀∂я⒋ⷨ͢⚤
nah, sumber masalah nya harus diusut nih
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!