Aira Nayara seorang putri tunggal dharma Aryasatya iya ditugaskan oleh ayahnya kembali ke tahun 2011 untuk mencari Siluman Bayangan—tanpa pernah tahu bahwa ibunya mati karena siluman yang sama. OPSIL, organisasi rahasia yang dipimpin ayahnya, punya satu aturan mutlak:
Manusia tidak boleh jatuh cinta pada siluman.
Aira berpikir itu mudah…
sampai ia bertemu Aksa Dirgantara, pria pendiam yang misterius, selalu muncul tepat ketika ia butuh pertolongan.
Aksa baik, tapi dingin.
Dekat, tapi selalu menjaga jarak, hanya hal hal tertentu yang membuat mereka dekat.
Aira jatuh cinta pelan-pelan.
Dan Aksa… merasakan hal yang sama, tapi memilih diam.
Karena ia tahu batasnya. Ia tahu siapa dirinya.
Siluman tidak boleh mencintai manusia.
Dan manusia tidak seharusnya mencintai siluman.
Namun hati tidak pernah tunduk pada aturan.
Ini kisah seseorang yang mencintai… sendirian,
dan seseorang yang mencintai… dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tara Yulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tatapan
Aira tertidur dengan sangat pulas. Rasa lelah benar-benar menguasai tubuhnya.
Melihat Aira yang terlelap di sofa, Aksa merasa kurang nyaman. Ia pun mengangkat tubuh Aira dengan hati-hati, membawanya ke kamar Azura.
Perlahan, Aksa membaringkan Aira di atas ranjang.
Saat hendak beranjak pergi, tiba-tiba tangan Aksa tergenggam oleh Aira. Gadis itu—yang masih berada di alam mimpi—menarik tangan Aksa tanpa sadar.
“Pangeran…” ucap Aira lirih.
Aksa terkejut. Siapa sebenarnya ‘pangeran’ itu? Nama itu bukan sekali dua kali Aira ucapkan, bahkan di hadapannya.
“Pangeran… aku cinta kamu…” lanjut Aira dalam mimpinya.
Genggaman di tangan Aksa semakin kuat. Bahkan, tanpa sadar Aira menarik Aksa lebih dekat; wajah mereka kini hanya berjarak beberapa sentimeter.
Siapa pangeran yang Aira maksud? batin Aksa, rasa penasaran mulai tumbuh.
Saat Aksa berusaha menjauh, Aira justru memeluknya dengan kedua tangan. Tubuh Aksa tertahan, dan kini hidung mereka bersentuhan. Aira masih tertidur—sementara Aksa satu-satunya yang sadar sepenuhnya.
Jantung Aksa berdetak cepat. “Kenapa jantungku berdetak seperti ini…?” gumamnya pelan.
Perlahan, Aira membuka mata. Pandangannya langsung bertemu tatapan tajam Aksa. Dalam keadaan setengah sadar, Aira memandangi mata itu—mata Aksa yang juga menatapnya tanpa berkedip.
Hingga ketika kesadaran Aira kembali sepenuhnya, ia terkejut.
“Aaaa…!!” teriaknya refleks, langsung mendorong Aksa hingga laki-laki itu jatuh ke lantai.
Brugh!
Aksa terjatuh ke lantai.
“So–sori, Ak! Gue refleks! Lagian lo ngapain sih tiba-tiba di depan muka gue? Gue kaget!” ujar Aira dengan napas masih terengah.
Di saat yang bersamaan, Azura datang bersama Elara. Keduanya masuk karena mendengar suara Aira.
“Kak Aira, Zura nggak salah denger kan?” tanya Azura polos. “Muka Bang Aksa… ada di depan muka Kakak? Kok bisa?”
Aira menghela napas panjang. “Kakak juga nggak tau…”
Elara memandang Aksa dengan alis terangkat. “Ada apa ini? Aksa, kamu ngapain? Kok Aira sampai teriak?”
Aksa berdiri sambil mengusap punggungnya. “Aksa jelasin ya, Bu, Zura, dan lo juga, Aira.”
Ia menatap Aira sejenak sebelum bicara lagi.
“Lo tidur nyenyak banget di sofa. Jadi gue angkat lo pindahin ke kamar Azura. Pas gue mau pergi, lo malah megang tangan gue, narik gue, terus lo peluk gue. Lo mimpi… pangeran.” Jelas Aksa tegas tapi wajahnya agak memerah.
“Jadi begitu ternyata…” gumam Elara.
Azura langsung menyahut polos, “Kakak mimpi pangeran? Wah hebat banget! Zura juga pengen mimpi ketemu pangeran Zura sendiri.”
Aira menutup wajahnya malu.
Ibu Aksa mengibaskan tangan. “Sudah-sudah, Aira kamu lanjut istirahat, ya.”
Aira mengangguk pelan. “Hmm… iya, Bu. Maafin gue ya, Ak.”
“Iya,” jawab Aksa singkat.
Aira ragu sejenak sebelum memanggil, “Mmm… Bu…”
“Iya, Aira?”
“Aira… boleh pulang?”
“Tidak boleh,” jawab ibunya tegas. “Ini sudah larut banget. Mending kamu istirahat di sini. Besok berangkat kuliah bareng Aksa.”
Aira membelalakkan mata. Aksa juga kaget.
Namun keputusan ibu itu sudah final.
Aira memejamkan mata sejenak, tapi bayangan itu kembali muncul—detik ketika ia membuka mata dan mendapati sepasang mata tajam menatapnya dari jarak yang begitu dekat. Mata itu… mata Aksa.
Tatapan yang membuat jantungnya berdegup kacau dan wajahnya panas seketika.
Di ruangan lain, Aksa juga tidak bisa menyingkirkan bayangan itu dari pikirannya.
Mata Aira… mata indah yang bening, lembut, dan entah kenapa terasa menenangkan. Tatapan itu seolah menempel di kepala Aksa, membuatnya sulit bernapas setiap kali mengingatnya.
Keduanya sama-sama mengingat momen yang sama—momen singkat yang membuat hati mereka tidak lagi tenang.
Tak lama setelah Aira teringat mata Aksa, pintu kamar diketuk pelan. Elara masuk sambil membawa beberapa lipatan pakaian.
“Aira, ini pakaian ibu waktu masih seusia kamu. Kamu pakai untuk kuliah besok, ya,” ucap Elara lembut.
Aira tersenyum dan menerimanya. “Iya, Bu. Makasih banyak.”
Keesokan paginya
Aira bangun lebih awal dari semua penghuni rumah. Ia merapikan rambutnya yang masih acak-acakan, lalu keluar kamar dengan hati-hati agar tidak membangunkan siapa pun.
Pertama-tama, ia membersihkan ruang tamu dan dapur. Setelah itu, ia melihat bahan-bahan masakan yang sudah disiapkan di meja. Tanpa ragu, Aira mulai memasak nasi goreng. Aroma harum bumbu mulai memenuhi ruangan.
Setelah selesai memasak, Aira mandi lebih dulu.
****************
Azura terbangun dan mendapati kasur di sebelahnya kosong.
“Kak Aira? Kak Aira kemana?” gumamnya panik kecil.
Saat hendak keluar kamar, pintu justru terbuka dari luar. Aira muncul dengan rambut masih sedikit basah.
Azura menoleh cepat. “Kak Aira ternyata mandi!”
Aira tersenyum ramah. “Iya,Kakak habis mandi.”
Azura tiba-tiba mengendus. Aroma harum masakan tercium dari arah dapur.
“Mm… wangi banget. Masakan siapa?”
Aira menatapnya sambil tersenyum hangat. “Zura, kamu mandi dulu ya. Nanti kita sarapan bareng-bareng.”
Mata Azura berbinar. “Jadi itu Kakak yang masak?”
“Iya,” jawab Aira lembut.
Azura berlari kecil menuju kamar mandi dengan semangat. “Zura mandi dulu, Kak!” serunya riang.
Aira hanya tersenyum melihat tingkah adik Aksa itu. Ia lalu menuju dapur untuk menata nasi goreng di meja makan, menambahkan kerupuk, dan menyiapkan teh hangat untuk semua.
Suasana rumah masih sunyi… sampai terdengar suara langkah kaki dari arah koridor.
Aksa turun dengan rambut acak-acakan, kaus yang sedikit kusut, dan wajah masih setengah mengantuk.
Dia mengucek matanya.
Wangi apa ini pagi-pagi? Enak banget…
Begitu tiba di depan ruang makan, langkahnya terhenti.
Ia menemukan Aira—dengan rambut masih sedikit basah, mengenakan baju pinjaman Elara—sedang memindahkan nasi goreng ke piring saji.
Aksa terpaku.
Aira menoleh sekilas. “Eh… pagi, Ak.”
“P–pagi…” Aksa berdeham, mencoba menyembunyikan rasa groginya. “Ini… lo yang masak?”
Aira mengangguk, masih sibuk mengatur meja. “Iya. Biar nggak repot. Lagian aku bangun duluan.”
Aksa diam beberapa detik. Tatapannya tidak lepas dari Aira.
Aira peremluan cantik dan hebat…
Sekarang ada di dapur rumahnya… memasak sarapan… memakai baju ibunya…
Terlihat dewasa dan… manis.
“Wangi banget…” gumam Aksa tanpa sadar.
Aira menoleh cepat. “Hmm?”
Aksa langsung gelagapan. “Maksud gue… nasi gorengnya! Nasi goreng lo wangi.”
Aira tersenyum kecil. “Ya bagus kalau wangi.”
Suasana jadi canggung sesaat.
Tidak lama kemudian, Elara keluar dari kamar, lalu Azura menyusul sambil rambutnya masih menetes air.
“Waaaah! Sarapan!” seru Azura langsung duduk.
Elara tersenyum melihat meja makan yang tertata rapi. “Aira… kamu repot-repot banget, Nak.”
Aira menggeleng pelan. “Nggak apa-apa, Bu.”
Aksa diam, tapi tersenyum kecil. Ada sesuatu di pagi itu yang membuatnya merasa… hangat.
Sangat hangat.
Mereka mulai sarapan bersama. Suasana hangat, sederhana, tapi terasa berbeda. Aksa mengambil satu sendok nasi goreng buatan Aira. Begitu rasa itu menyentuh lidahnya, ia membeku sejenak.
Masakannya enak banget… batin Aksa takjub.
Belum sempat ia berkata apa pun, Azura mengangkat tangan sambil bicara lantang, “Mmm! Masakan Kak Aira the best! Ya kan, Bang?”
Azura melirik abangnya dengan penuh arti.
Aira terdiam sejenak, menoleh perlahan, menunggu reaksi Aksa. Tatapannya mencari-cari jawaban di wajah pria itu.
Aksa akhirnya memberikan jawaban singkat, tapi tulus, “Iya… enak.”
Tanpa aba-aba, mata Aira dan Aksa bertemu. Hanya beberapa detik—Detik yang membuat keduanya sama-sama panik.
Aira buru-buru fokus pada piringnya, sementara Aksa langsung menunduk, pura-pura sibuk mengaduk nasi goreng.
Keheningan tipis menyelimuti meja makan.
Azura, yang tak tahan suasana canggung itu, langsung menoleh pada ibunya.
“Kalau Ibu gimana? Masakan Kak Aira?”
Aira dan Aksa sama-sama ikut menoleh pada Elara, menunggu jawabannya.
Elara tersenyum lebar. “Enak poll. Cocok jadi mantu Ibu.”
Aksa tersedak seketika.
“Uhuk… uhuk…!”
Ia memegangi tenggorokannya, mata langsung membesar karena kaget bercampur malu.
Aira ikut pucat, wajahnya memanas, dan cepat-cepat menunduk.
Sekali lagi, tanpa sengaja, mata mereka bertemu.
Dan lagi-lagi, keduanya buru-buru berpaling.
Mamaa kenapa bilang gitu sih… batin Aksa frustasi.
Sementara Aira menunduk makin dalam, pipinya merah sampai telinga.