NovelToon NovelToon
RAHIM TERPILIH

RAHIM TERPILIH

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Dosen / Identitas Tersembunyi / Poligami / Romansa / Konflik etika
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.

"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.

Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.

Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.

Aditya.

Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TERENYUH

Nadia turun dari kabin mobil taksi dengan langkah pelan. Angin pagi hari yang lembut menyentuh pipinya ketika ia menatap bangunan rumah sakit yang menjulang tenang di depannya. Poli kandungan berada di sayap kanan, dengan papan penunjuk arah berwarna biru muda yang menunjukkan jalur menuju ruang pemeriksaan. Tangannya sempat meremas tali tas kecil yang ia bawa—takut, cemas, tapi juga berharap. Berharap, bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Nadia!"

Baru beberapa langkah berjalan di koridor, suara yang sangat ia kenal memanggilnya dari belakang. Nadia lalu menoleh cepat. “Mas Adit?”

Adit berjalan mendekat, napasnya sedikit terengah seolah bergegas begitu melihat Nadia turun. Ia menghentikan langkah tepat di hadapannya.

Nadia menggigit bibir, menunduk sedikit. “Aku pikir, kamu gak...”

“Aku sudah bilang, aku nggak akan membiarkan kamu melewati ini sendirian. Sela Adit menggeleng pelan, suaranya tegas namun lembut. "Aku sudah janji untuk nemenin kamu periksa kandungan hari ini.”

Ada jeda kecil di mana Nadia hanya menatapnya—mata yang sebelumnya dipenuhi cemas kini mulai berpendar lega. Senyum itu muncul perlahan, kecil, tapi tulus. “Terima kasih, Mas…” Bisiknya hampir tak terdengar.

Mereka berdua mulai berjalan berdampingan memasuki area ke dalam rumah sakit. Aroma khas antiseptik menyambut mereka. Kursi tunggu berderet rapi, beberapa pasangan duduk sambil menggenggam nomor antrean. Suara panggilan dari pengeras suara bergema lembut di ruangan ber-AC itu.

Nadia menunjukkan layar ponselnya. “Nomor antreannya aku udah pesan online, Mas. Tinggal nunggu dipanggil.”

Adit hanya mengangguk dan mengarahkan Nadia mengambil tempat duduk. Ia memastikan wanita itu duduk dengan nyaman, agar kandungannya tetap terjaga. Tak lama kemudian, layar monitor memunculkan nomor mereka.

“Nomor 027, silahkan masuk.”

Adit bangkit lebih dulu, memberi isyarat kecil. “Ayo.”

“Kamu terlihat lebih semangat daripada aku, Mas.” Ucap Nadia ikut berdiri, mengangkat tasnya.

"“Kamu tahu kan… pernikahan kita ini sembunyi-sembunyi. Aku nggak mau kalau ada orang yang keburu tahu kalau kenal aku.” Jelas Adit.

Wanita itu hanya mengangguk kecil, menelan saliva yang rasanya pahit di tenggorokan. Ada sesuatu yang tergores halus di dadanya—bukan karena Adit bersikap buruk, tetapi karena kenyataan yang diucapkan lelaki itu barusan menampar perasaannya sendiri.

Pernyataan Adit barusan… seolah-olah dirinya adalah wanita yang tidak baik.

Seolah pernikahan mereka adalah sesuatu yang memalukan untuk dunia luar.

Seolah dirinya harus disembunyikan.

Kali ini, Nadia tak berani menatap Adit. Matanya hanya fokus pada lantai yang mengilap. Tanpa berkata apa pun lagi, ia menarik napas pelan dan melangkah lebih dulu. Tangannya merapikan helai rambut yang sedikit berantakan, lalu memutar kenop pintu perlahan.

Pintu ruang pemeriksaan akhirnya terbuka, memperlihatkan ruangan berbau antiseptik dengan cahaya putih yang lembut. Pintu tertutup pelan di belakangnya, sesaat Adit masuk dibelakangnya. Ia sempat menatap punggung Nadia, seperti menyadari ada sesuatu yang berubah, namun ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengambil posisi di sampingnya.

Nadia mengangkat wajah, memaksakan senyum sopan pada dokter, tetapi sorot matanya sedikit buram. Sementara, Adit memperhatikannya sekilas. Alisnya mengerut tipis, seolah baru menyadari ucapannya sebelumnya mungkin melukai tanpa ia sadari.

Namun Nadia tetap diam.

Menunggu dokter mulai bicara,

Menunggu pemeriksaan dimulai.

"Silahkan berbaring," Perintah sang dokter.

Di bantu seorang perawat, Nadia mulai berbaring di atas ranjang pemeriksaan. Gerakan perawat itu lembut, terlatih, memastikan Nadia nyaman sebelum menarik tirai tipis setengah sebagai pembatas. Suara plastik pelapis ranjang berdesir pelan saat tubuh Nadia menyesuaikan posisi.

Nadia memejamkan mata sesaat, mencoba menahan riuhnya perasaan yang menumbuk di dalam dada. Pikirannya masih terngiang pada ucapan Adit barusan—ucapan yang tak bermaksud menyakiti, tetapi tetap meninggalkan bekas. Meski begitu, ia menarik napas panjang, berusaha fokus pada detik ini. Pada bayinya.

Adit berdiri di samping, satu tangan dimasukkan ke saku celana, mencoba terlihat tenang. Tapi matanya terus mengikuti setiap gerak Nadia—tatapan yang penuh kekhawatiran diam-diam.

Gel dingin mulai menyentuh kulitnya saat sang dokter menumpahkan botol gel bening pada bagian bawah perutnya. Pria paruh baya itu sedikit menarik kursi ke dekat mesin USG, lalu mengambil probe dan mulai menekan lembut di atas perut Nadia.

Hening beberapa detik..

Suara mesin USG berdengung lembut.

Layar monitor mulai menampilkan bayangan abu-abu yang bergerak samar—awal dari sebuah kehidupan yang begitu kecil namun mengguncang dunia dua manusia yang berdiri di ruangan itu.

Adit menahan napas. Tubuhnya tampak kaku, tapi matanya… matanya justru menunjukkan badai yang tak bisa ia sembunyikan.

Di layar, bentuk mungil janin mulai terlihat jelas. Detak jantungnya muncul sebagai kedipan ritmis—cepat, kuat, tak terbantahkan.

Untuk sesaat, dunia seakan mengecil menjadi hanya dua hal, suara detak itu… dan hatinya sendiri yang ikut bergetar.

Ia terpaku. Sorot matanya meredup, bukan karena sedih, tapi karena perasaan yang membanjir begitu deras sampai ia tak menemukan kata untuk menampungnya.

Sosok janin itu—itulah yang selama ini ia impikan. Yang seharusnya ada dalam kandungan Asha, darah dagingnya.

Anak yang ia bayangkan lahir dari perempuan yang ia nikahi dengan sah, yang ia cinta tanpa ragu.

Tapi kini, bayangan itu menatap balik dari layar, bersemayam di perut Nadia.

Janin yang bukan darah dagingnya.

Namun anehnya, justru membuat hatinya terenyuh lebih dalam dari yang ia duga.

Ada sesuatu di dalam dirinya yang bergerak—perlahan, tapi sangat nyata. Batin yang mendorong, seperti tangan tak terlihat yang menekan dadanya. Bukan penyesalan. Bukan pula penolakan.

Melainkan…

naluri.

Naluri untuk melindungi. Untuk menjaga. Untuk tidak membiarkan makhluk sekecil itu terluka meski ia tak memiliki hubungan darah. Adit menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering.

“Kandungannya sehat.” Ucap sang dokter Sambil menatap layar USG dengan fokus profesional sebelum mulai menjelaskan rinciannya. “Ini detak jantungnya,” katanya, menunjuk bagian monitor yang berdenyut cepat. “Ritmenya stabil, sekitar 160 per menit, normal untuk usia kehamilan awal.”

“Usia janinnya sekitar delapan minggu lebih dua atau tiga hari. Perkembangannya bagus. Terlihat jelas bagian kepala, ini calon tulang belakangnya…”

Dokter mengarahkan pointer kecil ke bayangan memanjang yang samar namun nyata.

“…dan ini bakal anggota tubuhnya, masih kecil sekali tapi sudah mulai terbentuk.”

Nadia menutup mulut, terisak kecil. Sementara, Adit merasakan dadanya menghangat aneh—seperti ada sesuatu yang menekan dari dalam.

“Oke, cukup,” Ucap sang dokter sambil melepas sarung tangannya dan menepuk ringan sisi meja sebagai tanda pemeriksaan berakhir. Suaranya tetap hangat namun profesional. “Nanti akan saya cetak fotonya dan saya berikan vitamin tambahan. Kalau tidak ada keluhan, pemeriksaan berikutnya empat minggu lagi.”

Perawat mengangguk cepat, lalu mulai membersihkan gel di perut Nadia dengan tisu hangat. Di saat yang bersamaan, Nadia merapikan bajunya perlahan, kemudian mengangkat tubuhnya untuk duduk. Gerakannya hati-hati, seolah ia masih berada dalam gelembung rapuh setelah melihat wujud kecil itu di layar.

Sementara, Adit segera mendekat, memegangi siku Nadia agar ia bangun dengan mudah. Tidak berlebihan, tidak memaksa—sekadar memberi dukungan yang terasa sangat nyata. Hingga, tatapan keduanya saling bertemu. Ada sesuatu yang tidak mereka ucapkan. Sesuatu yang menggantung di udara.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!