Bagi Aditya, Reina bukan sekadar kekasihnya tapi ia adalah rumahnya.
Namun dunia tak mengizinkan mereka bersama.
Tekanan keluarga, perjodohan yang sudah ditentukan, dan kehormatan keluarga besar membuat Aditya terjebak di antara tanggung jawab dan juga cinta.
Dalam keputusasaan, Aditya mengambil keputusan yang mengubah segalanya. Ia nekat menodai Reina berkali kali demi bisa membuatnya hamil serta mendapatkan restu dari orang tuanya.
Cinta yang seharusnya suci, kini ternodai oleh ketakutan dan ambisi. Mampukah Aditya dan Reina mengatasi masalah yang menghalang cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
“Sudah cukup!”
Reina akhirnya bersuara, suaranya pelan namun tegas, meski matanya berkaca-kaca.
“Tolong hentikan semua perdebatan kalian. Jangan hina aku dengan seperti itu. Aku tidak pernah bermaksud untuk menghancurkan siapa pun.”
Namun Pak Arman menatapnya dengan dingin, tanpa empati sedikit pun.
“Kau sudah cukup menghancurkan satu keluarga, Nak. Sekarang diam lah dan jangan pernah ikut campur dalam urusan ini.”
Reina menunduk lagi, menahan tangisnya yang hampir pecah. Aditya melangkah maju, wajahnya kini benar-benar terlihat merah oleh amarah yang ditahan.
“Cukup, Ayah! Hentikan semua penghinaan ayah yang kotor itu! Jangan sekali-sekali Ayah menghina Reina di hadapanku lagi.” seru Aditya dengan lantang.
Suara Aditya menggema, membuat semua orang di sana terdiam. Bahkan Dika yang berdiri di dekat mobil tampak terpaku, tak pernah menyangka kalau majikannya itu akan berbicara sekeras itu kepada ayahnya sendiri.
Pak Arman mendengus pelan.
“Berani sekali kau bicara seperti itu kepada ayahmu sendiri, Aditya.”
“Ayah yang sudah memaksaku untuk berbicara seperti ini.” ucap Aditya dengan nada getir. “Aku sudah cukup menuruti semua keinginan Ayah, semuanya aku lakukan tanpa pernah bertanya kenapa. Tapi kali ini, aku tidak bisa lagi, Ayah. Aku sudah lelah hidup di bawah kendali orang lain.”
Matanya kini basah, suaranya bergetar namun tetap kuat. “Aku hanya ingin satu hal, ayah. Yaitu bisa hidup dengan orang yang aku cintai. Hanya itu yang aku minta. Apakah itu terlalu berlebihan untuk seorang anak sepertiku?”
Pak Arman menatap anaknya lama sekali. Ada gejolak di matanya antara marah dan kecewa. Namun egonya masih terlalu besar untuk di luluhkan.
“Ya, Aditya,” jawab pak Arman dengan dingin. “Itu berlebihan. Karena gadis itu tidak pantas untukmu. Dia tidak akan pernah cocok menjadi bagian dari keluarga Wiranegara. Aku tidak akan membiarkan namamu dan nama keluarga kita, ternoda hanya karena perasaan bodoh.”
Aditya tersenyum kecil, senyum getir yang nyaris seperti ejekan terhadap nasibnya sendiri.
“Itu dia, Ayah. Sifat Ayah yang seperti inilah yang membuatku muak. Ayah selalu menilai orang dari status, dari nama besar, dan juga hartanya. Tapi Ayah lupa kalau manusia tidak bisa diukur dari seberapa tinggi derajatnya.” ucap Aditya pelan.
Wajah Pak Arman memucat sejenak, tapi ia menahan diri agar tidak terpancing dengan kata kata Aditya.
“Hentikan Aditya, kau sudah cukup melewati batas.?”
“Aku hanya bicara jujur, ayah.” jawab Aditya dengan mantap. “Aku sudah cukup hidup di bawah bayang-bayang Ayah. Sudah cukup untuk menjadi boneka yang hanya bergerak sesuai kemauan Ayah. Mulai sekarang, aku akan hidup dengan pilihanku sendiri, meski itu berarti aku harus kehilangan segalanya.”
Reina menatap Aditya dengan mata terbelalak. Ia bisa merasakan ketulusan dan keberanian dalam suara itu, meski di hatinya masih ada luka yang belum sembuh. Sementara itu di sisi lain Pak Arman menatap putranya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada kemarahan, tapi juga rasa kehilangan. Namun ia tak bisa membiarkan perasaannya menguasai logika.
Suasana hening menelan udara sore yang baru saja diwarnai pertengkaran hebat antara ayah dan anak itu. Hanya suara angin yang berdesir pelan melewati sela pepohonan di pinggir jalan, membawa debu dan sisa kemarahan yang belum benar-benar reda.
Pak Arman berdiri tegap di sisi jalan, wajahnya terlihat keras dan tak menunjukkan emosi selain dingin yang menusuk. Tatapannya terlihat lurus pada Aditya, putranya yang kini berdiri berhadapan dengannya dengan napas terengah-engah, pakaian kusut, dan luka di ujung bibirnya akibat insiden sebelumnya.
“Kalau kau tidak mau pulang dengan baik-baik, maka aku tidak punya pilihan lain, Aditya.” ucap pak Arman yang suaranya terdengar, dalam, berat, dan tajam seperti sebilah baja.
Aditya menatap ayahnya dengan sorot mata yang keras.
“Apa maksud Ayah?”
Pak Arman kemudian menatap ke arah Surya, pengawal kepercayaannya yang mencoba berdiri setelah dihajar oleh Aditya sebelumnya.
“Kalian semua, cepat bawa dia pulang sekarang. Bagaimanapun caranya.” perintah pak Arman dengan dingin.
Surya sempat tertegun, menatap ke arah Aditya dengan raut wajah yang penuh dilema. Ia tahu siapa Aditya. Ia telah bekerja di rumah Wiranegara sejak lama dan mengenal bocah itu sejak kecil. Namun perintah adalah perintah. Ia tidak berhak membantah.
“Baik, Pak,” jawabnya pelan namun tegas. Ia lalu memberi isyarat pada beberapa pengawal lainnya untuk maju.
“Aditya, jangan—!” seru Reina dengan nada putus asa, tapi laki-laki itu sudah melangkah maju, berdiri tegap, menantang mereka semua dengan keberanian yang lahir dari cinta.
Pertarungan itu pun tak terelakkan.
Suara benturan terdengar keras ketika salah satu pengawal mencoba memegang bahunya, namun Aditya langsung menepis tangan itu dan membalas dengan pukulan keras ke rahangnya. Pengawal itu tersungkur mundur, darah menetes dari bibirnya.
Dua orang lainnya datang menyerang dari sisi berbeda. Aditya menangkis, memutar tubuhnya, dan menendang salah satu di antaranya hingga terjatuh. Namun tenaga mereka jauh lebih banyak. Dalam sekejap, tiga pengawal lain ikut mengepungnya, membuat Aditya kewalahan.
“Berhenti! Tolong berhenti!” teriak Reina histeris. Ia menatap Aditya yang kini terdesak, wajahnya mulai lebam, tubuhnya limbung, namun sorot matanya sama sekali tidak padam.
“Reina…” suara Aditya terdengar parau namun tegas. “Jangan takut. Aku tidak akan mundur. Aku akan terus memperjuangkan mu sampai akhir. Sampai titik darah penghabisan.”
Kata-kata itu membuat air mata Reina mengalir deras. Hatinya bergetar hebat. Semua kemarahan, semua kebencian yang sempat ia rasakan terhadap Aditya yang sudah menodainya dengan paksa akhirnya lenyap begitu saja. Yang tersisa hanyalah cinta dan ketakutan bahwa ia akan kehilangan laki-laki itu.
Surya melangkah maju, mencoba menghentikan perlawanan Aditya dengan gerakan cepat. Ia berhasil menangkis serangan terakhir Aditya dan melumpuhkan langkahnya dengan satu pukulan keras ke bahu. Tubuh Aditya terdorong mundur dan jatuh tersungkur ke tanah berdebu.
“Cukup!” seru Surya dengan napas terengah. “Tolong berhenti melawan, Tuan Aditya. Anda hanya akan semakin terluka.”
Namun Aditya tetap berusaha bangkit. Dengan tubuh yang sudah lemah dan darah menetes dari pelipisnya, ia menatap Surya dengan mata merah.
“Selama aku masih bisa berdiri, aku tidak akan pernah kembali ke rumah itu, Surya. Tidak selama Ayah memperlakukan kami seperti ini!”
Pak Arman menatap pemandangan itu dengan rahang mengeras. Ia mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya. Dadanya terasa sesak antara amarah dan rasa bersalah yang bercampur jadi satu. Tapi ia tetap menahan diri, meski suara hatinya sudah berteriak ingin menghentikan semua ini.
“Aditya…” suaranya kini lebih berat dan serak. “Cukup, Nak. Berhentilah melawan dan pulanglah bersama Ayah. Aku tidak ingin kau terluka lebih parah.”
/Speechless//Speechless//Speechless//Speechless/