NovelToon NovelToon
Fragmen Yang Tertinggal

Fragmen Yang Tertinggal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Romansa / Enemy to Lovers / Cintapertama / Cinta Murni / Berbaikan
Popularitas:27
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

​Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
​Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21: Di Balik Topeng Ibu Ratu

​Matahari baru saja naik sepenggalah, tetapi suasana di Direksi Keet (kantor proyek) Hotel Menteng sudah panas membara. Bukan karena terik Jakarta, melainkan karena kedatangan tamu agung yang tidak diharapkan.

​Sebuah Mercedes-Benz S-Class hitam mengkilap berhenti tepat di depan pintu kontainer kantor yang berdebu. Sopir berseragam turun, membukakan pintu belakang, dan keluarlah Ratna Adhitama.

​Wanita itu mengenakan terusan batik sutra cokelat tua yang elegan, kacamata hitam besar, dan tas tangan yang harganya bisa untuk membayar gaji sepuluh tukang. Ia melangkah turun ke tanah becek proyek dengan ekspresi jijik yang tidak ditutupi, seolah sedang berjalan di atas kotoran.

​Di dalam kontainer, Kaluna sedang berdiskusi dengan Pak Hadi tentang penghematan material pasca penarikan dana Siska.

​"Bu Ratna datang," bisik Pak Hadi panik, melihat dari jendela.

​Kaluna menahan napas. Ia sudah menduga ini akan terjadi. Berita penundaan pertunangan Bara dan Siska pasti sudah sampai ke telinga Sang Ratu.

​"Pak Hadi, tolong tinggalkan kami berdua," pinta Kaluna tenang, meski tangannya dingin.

​"Tapi Bu..."

​"Tolong, Pak. Ini urusan pribadi."

​Pak Hadi mengangguk ragu, lalu keluar lewat pintu belakang tepat saat pintu depan didorong kasar oleh Ratna.

​Ratna masuk, melepas kacamata hitamnya. Matanya yang tajam langsung mengunci Kaluna. Ruangan sempit itu seketika terasa penuh oleh aura intimidasinya.

​"Saya dengar Bara membatalkan pertemuan dengan keluarga Maheswari pagi ini," Ratna memulai tanpa basa-basi. Suaranya tenang, tapi bergetar oleh amarah yang tertahan. "Dan Siska menelepon saya sambil menangis, bilang kalau dananya ditarik karena kamu masih bercokol di sini."

​"Selamat pagi, Bu Ratna," sapa Kaluna sopan, berdiri dari kursinya. "Silakan duduk."

​"Jangan sok sopan santun dengan saya!" bentak Ratna, menggebrak meja kerja Kaluna yang penuh debu. "Saya ke sini bukan untuk bertamu. Saya ke sini untuk mengusir hama."

​Ratna berjalan memutari meja, mendekati Kaluna hingga jarak mereka hanya sejengkal. Aroma parfum mahalnya mencekik udara.

​"Lima tahun lalu, saya pikir kamu cukup cerdas untuk mengerti posisi kamu," desis Ratna. "Saya sudah memberimu jalan keluar yang mudah. Tapi ternyata kamu kembali lagi. Apa uangnya kurang? Atau kamu memang tidak punya harga diri?"

​Kaluna menatap mata wanita paruh baya di depannya. Dulu, tatapan ini membuatnya gemetar ketakutan. Dulu, ia hanyalah mahasiswa miskin yang merasa kerdil di hadapan Nyonya Besar Adhitama.

​Tapi sekarang, Kaluna sudah berbeda.

​"Saya tidak pernah mengambil uang Ibu. Ibu tahu itu," jawab Kaluna tegas. "Dan saya kembali karena saya profesional. Saya memenangkan tender ini dengan kemampuan saya, bukan dengan belas kasihan."

​"Kemampuan?" Ratna tertawa sinis. "Kemampuanmu satu-satunya adalah merusak masa depan anak saya! Kamu lihat apa yang terjadi sekarang? Saham turun! Investor kabur! Bara jadi bahan tertawaan! Itu semua karena kamu!"

​"Itu semua karena Ibu memaksakan kehendak Ibu pada Bara!" balas Kaluna, suaranya meninggi. "Bara tidak bahagia dengan Siska. Apa Ibu pernah sekali saja bertanya apa yang Bara inginkan?"

​"Bara tidak tahu apa yang dia inginkan! Dia laki-laki naif yang berpikir cinta bisa membayar gaji karyawan!" sergah Ratna. "Tugas ibu adalah memastikan anaknya tidak jatuh miskin karena perempuan benalu sepertimu."

​Ratna mencengkeram lengan Kaluna, kuku-kukunya menancap sakit.

​"Dengar, Kaluna. Saya peringatkan kamu sekali lagi. Pergi dari hidup Bara. Sekarang. Atau..."

​"Atau apa?" tantang Kaluna, menepis tangan Ratna kasar. "Ibu mau mengancam saya lagi? Seperti lima tahun lalu?"

​Pintu belakang kontainer terbuka sedikit tanpa suara. Bara berdiri di sana. Ia baru saja kembali dari inspeksi lapangan, helm proyek masih di tangannya. Ia hendak masuk, tapi suara ibunya menghentikan langkahnya.

​Bara membeku di balik pintu yang setengah terbuka, mendengarkan.

​"Oh, kamu menantang saya?" Ratna tersenyum kejam. "Kamu pikir karena sekarang kamu punya karir, kamu bisa melawan? Ingat baik-baik kenapa kamu pergi dulu, Kaluna. Ingat siapa yang kamu selamatkan."

​"Saya ingat," suara Kaluna bergetar, air mata kemarahan menggenang di pelupuknya. "Ibu bilang kalau saya tidak pergi, Ibu akan menghentikan pengobatan Pak Suryo di Singapura."

​Bara di balik pintu merasa jantungnya berhenti berdetak. Helm proyek di tangannya hampir jatuh, tapi ia mencengkeramnya kuat-kuat. Ayah?

​"Betul," jawab Ratna dingin, tanpa penyesalan. "Waktu itu Ayah Bara baru saja stroke kedua. Kritis. Butuh operasi bypass dan perawatan intensif di Mount Elizabeth yang biayanya miliaran per bulan. Perusahaan sedang goyah. Uang tunai menipis."

​Ratna melangkah maju, menunjuk wajah Kaluna.

​"Saya bilang padamu: Jika kamu tetap memacari Bara dan membuatnya bermimpi jadi seniman miskin, saya akan pastikan Bara dicoret dari hak waris. Dan tanpa uang warisan, dia tidak akan bisa membayar biaya rumah sakit Ayahnya. Saya akan biarkan suami saya mati perlahan di bangsal kelas tiga, dan saya akan pastikan Bara tahu bahwa Ayahnya mati karena dia memilih pacaran sama kamu."

​Di balik pintu, tubuh Bara merosot bersandar ke dinding kontainer. Napasnya sesak. Kakinya lemas.

​Selama ini dia mengira Kaluna pergi karena takut miskin. Atau karena takut diancam karirnya.

​Ternyata tidak.

Kaluna pergi untuk menyelamatkan nyawa Ayahnya.

Kaluna pergi agar Bara tidak menjadi anak durhaka yang membiarkan ayahnya meninggal karena kekurangan biaya.

​"Kejam," bisik Kaluna, air matanya jatuh. "Ibu menggunakan nyawa suami Ibu sendiri sebagai alat negosiasi. Ibu monster."

​"Saya realistis!" bentak Ratna. "Dan lihat hasilnya? Kamu pergi. Bara patah hati, lalu dia marah. Kemarahannya membuatnya bekerja keras. Dia mengambil alih perusahaan, dia sukses, dan Ayahnya mendapat perawatan terbaik sampai hari ini. Semua karena kamu pergi!"

​Ratna merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, kembali memasang wajah angkuh.

​"Jadi jangan rusak karya saya, Kaluna. Pergi lagi. Lakukan pengorbanan itu sekali lagi. Karena kalau tidak..." Ratna mendekatkan wajahnya ke telinga Kaluna. "...saya masih memegang kendali atas dana perwalian obat Ayah Bara. Kamu mau membunuh Pak Suryo sekarang?"

​"Cukup."

​Satu kata itu terucap lirih, tapi memiliki kekuatan yang menghancurkan ruangan itu.

​Ratna dan Kaluna menoleh serentak ke arah pintu belakang.

​Bara berdiri di sana. Wajahnya pucat pasi, matanya merah, tapi tatapannya kosong. Seperti orang yang jiwanya baru saja dicabut paksa.

​"Bara..." wajah Ratna berubah pias. Topeng ratunya retak. "Sayang... sejak kapan kamu..."

​Bara melangkah masuk pelan-pelan. Ia tidak melihat Kaluna. Ia menatap lurus ke arah ibunya. Wanita yang melahirkannya. Wanita yang selama ini ia hormati meski sering berbeda pendapat.

​"Mama mengancam akan membunuh Papa?" tanya Bara, suaranya pecah.

​"Bukan begitu, Bara. Kamu salah dengar. Itu cuma gertakan..." Ratna mencoba meraih tangan anaknya, tapi Bara mundur selangkah, seolah tangan ibunya beracun.

​"Gertakan?" Bara tertawa hambar, air mata jatuh dari sudut matanya. "Mama bilang ke Kaluna kalau Mama akan membiarkan Papa mati di bangsal kelas tiga kalau aku nggak putus sama dia? Mama menjadikan nyawa Papa sebagai sandera?"

​"Itu demi masa depanmu!" seru Ratna panik. "Lihat kamu sekarang! Kamu CEO sukses! Kalau kamu nikah sama dia dulu, kamu cuma bakal jadi arsitek gaji pas-pasan! Papa kamu butuh uang, Bara!"

​"AKU BISA CARI UANG DENGAN CARAKU SENDIRI!" teriak Bara. Suaranya menggelegar, membuat dinding kontainer bergetar.

​Ratna terlonjak kaget. Ia belum pernah melihat Bara semarah ini seumur hidupnya.

​Bara menunjuk ibunya dengan tangan gemetar.

​"Selama lima tahun... aku membencinya," Bara menunjuk Kaluna tanpa menoleh. "Aku membenci wanita yang paling aku cintai. Aku pikir dia meninggalkanku karena uang. Aku pikir dia tidak mau hidup susah bersamaku. Ternyata..."

​Napas Bara tersendat. Ia menatap Kaluna. Tatapan penuh penyesalan dan rasa sakit yang tak terlukiskan.

​"...ternyata dia pergi untuk menyelamatkan Ayahku. Dia menanggung kebencianku sendirian selama lima tahun demi melindungi keluargaku."

​Bara kembali menatap Ratna. Tatapannya kini dingin. Mati rasa.

​"Mama bukan cuma memisahkan kami. Mama membuatku membenci penyelamat Ayahku sendiri."

​"Bara, Mama lakukan ini karena Mama sayang kamu..." Ratna mulai menangis, menyadari dia kehilangan kendali.

​"Simpan sayangmu itu, Ma," ucap Bara datar. "Mulai detik ini, jangan pernah campuri urusan pribadiku lagi. Jangan pernah injakkan kaki di kantor ini, atau di apartemenku."

​"Bara! Aku ibumu!"

​"Dan dia wanitaku," potong Bara, berjalan ke sisi Kaluna dan merangkul bahunya erat. "Kalau Mama menyentuhnya lagi, atau mengancam soal biaya obat Papa lagi... aku bersumpah, Ma. Aku akan jual seluruh sahamku di Adhitama, aku akan bawa Papa pergi, dan Mama tidak akan pernah melihat kami lagi."

​Ratna ternganga. Ancaman itu nyata.

​"Pulang, Ma," usir Bara. "Sebelum aku benar-benar lupa kalau aku anak Mama."

​Ratna menatap Bara, lalu menatap Kaluna yang menangis dalam rangkulan Bara. Ia tahu ia sudah kalah. Senjatanya makan tuan.

​Dengan sisa harga dirinya, Ratna memungut kacamata hitamnya, berbalik, dan berjalan keluar dari kontainer dengan langkah cepat namun gemetar.

​Suara pintu mobil ditutup terdengar di luar, diikuti deru mesin yang menjauh.

​Di dalam kontainer, keheningan menyakitkan turun kembali.

​Bara melepaskan rangkulannya, lalu berbalik memunggungi Kaluna. Bahunya berguncang hebat. Pria itu menangis tanpa suara.

​"Bara..." panggil Kaluna lirih, menyentuh punggungnya.

​Bara berbalik dan langsung memeluk Kaluna erat-erat. Ia membenamkan wajahnya di leher Kaluna, menangis seperti anak kecil yang kehilangan arah.

​"Maafkan aku, Lun... Ya Tuhan, maafkan aku..." isak Bara. "Aku bodoh... aku bodoh sekali..."

​Kaluna membalas pelukan itu, mengusap rambut Bara yang berkeringat. "Sshhh... nggak apa-apa, Bar. Bukan salahmu. Kamu nggak tahu."

​"Kamu menanggung itu sendirian... lima tahun..." racau Bara di sela tangisnya. "Kenapa kamu nggak bilang? Kenapa kamu sekuat itu?"

​"Karena aku mencintaimu, Bara," bisik Kaluna, air matanya ikut menetes membasahi kemeja Bara. "Dan aku juga sayang Papamu. Aku nggak bisa biarkan beliau menderita."

​Bara mengeratkan pelukannya, seolah ingin menyatukan tubuh mereka agar tidak terpisahkan lagi oleh ancaman apa pun.

​Hari itu, di tengah debu proyek dan bisingnya suara truk, semua kesalahpahaman terhapus sudah. Tidak ada lagi rahasia. Tidak ada lagi dendam.

​Hanya ada dua orang yang babak belur oleh takdir, tapi akhirnya menemukan jalan pulang ke pelukan satu sama lain.

BERSAMBUNG....

Terima kasih telah membaca 💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!