Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.
Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.
Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Cahaya matahari menyelinap masuk dari sela-sela korden di jendela kamar Quin. Quin yang tidur terlentang, membuka matanya pelan. Semalam, orang tuanya memaksa untuk tetap mengikuti kontes menyanyi yang disiarkan di Image Fiction TV berjudul You Are My Idol. Sudah hampir sejuta alasan Quin utarakan, bahwa dia tidak mau jadi penyanyi. Tetapi orang tuanya merasa Quin akan menyesal jika tidak mencobanya.
Dari pertama acara itu tayang, semua orang langsung menyukainya. Acara itu merupakan acara pencarian bakat menyanyi sederhana. Para peserta diaudisi, kemudian diharuskan melalui tantangan demi tantangan menyanyi di setiap babaknya, sampai akhirnya di babak final akan dipilih seorang yang dianggap memiliki bakat menjadi seorang idol. Bedanya YAMI tidak dipilih memalui voting. Pemenang YAMI dipilih oleh juri-juri berbakat yang terdiri dari ratusan penyanyi top di Indonesia. Juara YAMI tahun lalu, mendapatkan voting 58% suara juri dan sekarang lagunya viral di tiktok. Dan yang bisa mendaftar YAMI hanyalah anak kelas 10 atau 11 SMA. Jadi kalau tidak sekarang, Quin tidak akan pernah bisa mencobanya lagi.
Terdengar ketukan pintu.
“Quin, udah bangun?” Suara mamanya di luar kamar terdengar pelan.
“Hmmm,” Quin berusaha bangkit dan duduk di kasur.
“Quin?”
“Sudah, Ma,” jawab Quin akhirnya berdiri dan membuka pintu.
“Makan, yuk? Udah jam 7. Kalau kamu telat sarapan, nanti maagnya kambuh.”
“Iya.”
Quin mengikuti mamanya turun ke lantai satu. Papanya sedang duduk menonton berita di depan tv. Quin dan mamanya duduk di kursi meja makan. Quin mengambil telur rebus dan membukanya perhalan dengan serius.
Mamanya tidak berani menanyakan lagi soal YAMI. Padahal Pak Adam sudah meneleponnya untuk mengatur jadwal latihan besok di sekolah.
Terdengar suara iklan YAMI di televisi. Pendaftaran sebentar lagi ditutup.
Quin memakan telurnya pelan, tidak bicara.
“Mau lemon madu apa coklat?” Tanya mamanya memecah keheningan.
“Lemon madu aja,” jawab Quin pelan.
Ketika mamanya pergi ke dapur, papanya mematikan tv lalu beranjak dari sofa ruang tengah, kemudian datang ke ruang makan dan duduk di kursi meja makan. Diambilnya segelas kopi yang sudah sisa setengah, lalu diseruputnya.
Quin bisa merasakan papanya hendak bertanya lagi soal YAMI. Kakinya seolah memberikan sinyal untuk bergerak pergi ke kamar. ‘Mungkin dengan alasan mau ke kamar mandi,’ kata otaknya pada Quin.
Tapi sebelum Quin bisa melakukannya, papanya berkata, “Nenek kamu pasti senang sekali kalau kamu mau mencoba ikut YAMI.”
Hanya perlu satu kalimat, Quin pun meledak, “Justru karena nenek! Aku nggak mau ikutan YAMI!”
Quin bangkit dan pergi ke kamarnya. Mamanya datang membawa lemon madu dari dapur, hanya bisa menghela napas menatap papanya Quin yang terlalu berusaha membujuk Quin.
–
AC kamarnya yang dinyalakan sejak malam membuat kamarnya dingin seperti di kutub selatan. Quin duduk di lantai kamarnya, memeluk bantal pinknya sambil menunduk dan menangis.
Perlahan pintu kamarnya terbuka. Quin mengintip dari balik tangannya yang masih memeluk bantal, terlihat mamanya datang membawakan segelas lemon madu hangat. Tanpa bicara, disimpannya lemon madu itu di atas meja. Dibukanya korden dan jendela kamar Quin. Terasa usapan lembut menyentuh kepala Quin. Kemudian terdengar langkah kaki menjauh dan pintu kamar tertutup kembali.
Quin mengambil hape di atas mejanya, lalu menghubungi Nisa.
Quin : Kenapa sih semua orang pengen aku nyanyi lagi?
Nisa : Kenapa?
Quin : Aku nggak mau ikutan YAMI.
Nisa tidak membalas, melainkan menelepon Quin. Quin menempelkan hape ke telinganya.
“Kenapa, Neng?” tanya Nisa yang tahu bahwa sahabatnya itu sedang tidak baik-baik saja.
“Ortu maksa aku ikutan YAMI,” jawab Quin kembali duduk menundukkan kepala di antara kedua lututnya.
“Kamu masih keingetan nenek?” tanya Nisa yang juga tahu cerita kenapa Quin tidak mau bernyanyi apalagi melakukan sesuatu yang berhubungan dengan idol.
“Iya. Aku juga nggak suka ada orang iseng daftarin aku ikutan YAMI. Aku nggak suka disuruh ngerjain sesuatu yang bukan dari keputusan aku.”
“Iya. Paham. Ya udah, ikutin kata hati kamu aja. Kalau kamu emang nggak mau, ya udah. Ortu atau guru, pasti ngerti kok.”
“Kamu cerita semua sama Dima?” Tanya Quin tiba-tiba membicarakan Dima. Quin sendiri kaget kenapa hal itu yang ditanyakannya.
“Cerita apa?” Tanya Nisa balik, memastikan dia tidak salah paham dan mengerti apa maksud pertanyaan Quin.
“Soal aku nggak mau nyanyi, kamu cerita semuanya?”
“Nggak. Aku cuma bilang, kamu nggak mau nyanyi di depan umum karena trauma. Gitu doang.”
Quin terdiam sejenak lalu berkata, “Terus dia bilang apa?”
“Dia bilang, sayang banget. Soalnya kamu pasti bisa jadi penyanyi.”
Sambil masih menempelkan hape di telinganya, Quin merebahkan kepala di pinggir kasur. Dia termenung melihat langit yang cerah. Di hati kecilnya terbesit keinginan untuk ikutan YAMI, tapi entah kenapa seperti ada tembok yang menghalangnya.
“Halo?” tanya Nisa memastikan telepon masih tersambung.
“Pak Adam ngajak aku latihan besok di sekolah.”
“Terus?”
“Belum aku bales.”
“Mau aku temenin?”
“Nggak usah. Aku bakalan bilang, aku nggak mau ikutan YAMI. Jadi besok nggak usah latihan.”
“Oke.”
Quin mematikan teleponnya. Dia melihat di chat grup sekolahnya, Dima memberikan emot kucing joget-joget merespon tebak-tebakan murid lainnya.
–
Setiap Sabtu pagi, Dima dan geng sering main basket three on three di sebuah lapangan basket kotor di belakang komplek perumahan Quin. Setelah satu jam bermain, mereka duduk di pinggir lapangan sambil makan es cincau. Mereka membicarakan berbagai macam hal; dari motor, game, sampai anime. Tapi Dima diam termenung, tidak terlibat percakapan apapun.
Givan melirik Danu, memberikan kode untuk bicara pada Dima. Danu menggelengkan kepala, memberikan kode tidak mau mengganggu Dima. Jejen, Al, dan Randy tidak mengerti apa yang Givan dan Danu lakukan.
“Motor lu gimana?” tanya Givan dengan mulut penuh cincau, akhirnya mengajak Dima bicara.
“Udah bener,” jawab Dima.
“Udah ngojek lagi bokap?” tanya Danu sebelum menghabiskan air es cincaunya.
“Udah,” jawab Dima singkat, lalu mengeluarkan hapenya yang bergetar karena ada telepon masuk. Dima pergi menjauhi teman-temannya.
“Buku puisinya ilang lagi?” tanya Al pada Jejen.
“Nggak tau,” jawab Jejen mengelap keringat yang ada di wajahnya dengan ujung bajunya.
Dekat ring basket, Dima menjawab telepon dari Pak Adam. Dia bisa merasakan teman-temannya tidak sedang memperhatikannya teleponan.
“Halo, Pak?” tanya Dima pada Pak Adam.
Terdengar suara teman-temannya tertawa seru.
“Kamu besok bisa ke sekolah?” tanya Pak Adam.
“Bisa. Ada apa ya?” Dima melihat teman-temannya bangkit dan bersiap untuk main basket lagi. Dima bergerak menjauhi ring basket untuk bisa mendengarkan perkataan Pak Adam.
“Bantuin iringin Quin latihan nyanyi, bisa?”
Timbul beribu pertanyaan dalam hati Dima. Kenapa harus saya, apakah Quin mau kalau saya yang mengirinya latihan, apa ini artinya Quin mau ikutan YAMI, apa yang terjadi kalau Quin tahu, saya yang mendaftarkannya. Mungkin akan pecah perang dunia ketiga.
queen Bima
mantep sih