Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Hari itu, udara kota terasa lebih panas dari biasanya. Jalanan ramai, kendaraan saling bersahutan, dan toko-toko tampak penuh pengunjung yang mencari kebutuhan sehari-hari. Di salah satu pusat perbelanjaan, Galuh berjalan berdampingan dengan Bu Kania, calon mertuanya.
Galuh sebenarnya tidak terlalu paham Soalnya barang apa saja yang dibawa untuk “seserahan”. Dia hanya tahu itu tradisi yang harus ada menjelang pernikahan. Ketika Bu Kania mengajaknya memilih sendiri, dia agak canggung.
“Lebih baik kamu pilih sendiri, Nak,” kata Bu Kania tadi pagi. “Daripada ibu belikan, tapi nggak kepakai sama kamu. Kan, sayang kalau cuma jadi pajangan.”
Bagja tentu saja tidak mau melewatkan kesempatan emas ini. Tiga hari terakhir dia merasa hidupnya hambar, karena Galuh sibuk menjadi guru pendamping pramuka di acara kemah sekolah. Tidak ada wajah judes, tidak ada omelan, tidak ada ekspresi ngajak gelud yang biasanya justru membuat Bagja rindu setengah mati.
Begitu mereka masuk ke toko perhiasan, ruangan langsung terasa berkilauan. Lampu kristal di langit-langit memantul ke kaca-kaca etalase, membuat aneka cincin, gelang, kalung, dan anting terlihat berkilau seperti bintang.
“Cincin ini bagus untuk dijadikan cincin pernikahan,” ujar Bu Kania sambil menunjuk cincin bermata berlian.
“Iya, bagus, Bu,” jawab Galuh singkat.
Padahal dalam hati dia bingung. Semua cincin di etalase itu terlihat sama saja baginya, hanya beda warna batu dan bentuk sedikit. Entah kenapa wanita lain bisa mengagumi perhiasan sampai terpesona, sementara ia justru merasa aneh membayangkan memakai sesuatu yang berkilau di jarinya.
Bu Kania tidak berhenti di situ. Dia mengambil satu set perhiasan: kalung, gelang, dan anting. “Saya dengar dari Mama Euis kamu nggak suka pakai perhiasan. Tapi, siapa tahu nanti kamu perlu. Namanya juga hidup berumah tangga, ada acara resmi, ada undangan. Nggak ada salahnya disiapkan.”
“Iya, Bu," balas Galuh tersenyum kecil.
Begitu urusan perhiasan selesai, Bagja langsung menggandeng tangan Galuh. “Sekarang kita beli baju!” katanya riang, seolah ini bukan belanja seserahan, tetapi jalan-jalan kencan.
Galuh masih santai sampai langkah mereka berhenti di sebuah rak penuh baju tidur satin dengan renda-renda tipis. Begitu sadar apa yang dimaksud “baju”, matanya langsung melebar.
“Bu, beneran mau beli yang kayak gini?” tanya Galuh dengan wajah pucat.
Bagja nyaris tertawa keras mendengar pengakuan itu, tetapi buru-buru dia tutup mulut. Bu Kania hanya menggeleng. “Para suami suka melihat istrinya memakai baju yang seperti ini saat tidur.”
Galuh mengerutkan bibir. “Bu, baju kayak gini kan … seksi banget. Saya biasanya tidur pakai kaos belel sama kolor.”
Bu Kania tersenyum bijak, tetapi nadanya tegas. “Setelah jadi istri, wanita harus berpenampilan cantik dan menggoda. Biar suami betah dan nggak lirik wanita lain.”
Mendengar itu, Galuh mendengus. “Kalau suami aku ketahuan selingkuh, aku nggak segan-segan potong tuh burungnya! Apa masih ada wanita yang mau sama dia kalau udah buntung?”
Ucapan itu membuat Bu Kania melongo, sementara Bagja spontan menutup bagian paling vital tubuhnya dengan kedua tangan.
“Ya Allah, wanita macam apa yang bakal aku nikahi ini? Baru nyebut kata perselingkuhan saja udah ancam potong burung!” batin Bagja kacau.
Terjadi sesuatu di luar dugaan, tawa Bu Kania pecah. Gelak tawanya menggema di antara rak-rak pakaian, membuat beberapa pengunjung menoleh penasaran. Galuh dan Bagja saling melirik, bingung apa yang lucu dari ancaman barusan.
“Kenapa, Bu?” tanya Galuh heran.
Bu Kania masih tergelak. “Ibu jadi ingat. Dulu waktu muda, saya juga ngomong gitu sama Pak Wira. Ibu bilang kalau dia selingkuh, burungnya akan ibu potong. Mungkin karena itu sampai sekarang dia setia. Nggak pernah ada kabar miring.”
Galuh langsung terdiam. Bagja makin pucat.
“Bagja, kamu dengar, kan, apa yang dibilang Galuh?” tanya Bu Kania sambil menepuk bahu anaknya.
Bagja mengangguk lemas. “Dengar, Bu ....”
“Nah, jangan kasih peluang sedikit pun ke wanita lain masuk dalam hubungan kalian. Kalau berani macam-macam, resikonya burung kamu yang cuma ada satu itu.”
Bagja hanya bisa menelan ludah. Sementara Galuh menambahkan, “Yang beresiko bukan cuma dia saja, Bu. Kalau ada wanita yang berani ngajak selingkuh, taruhannya nyawa juga!”
Untuk pertama kalinya, Bagja merasa hidupnya seperti film horor. Calon istri dan ibunya seolah bersatu padu jadi algojo yang siap menghukum kapan saja.
Setelah urusan pakaian selesai, mereka melanjutkan belanja ke toko lain. Hampir semua barang diambil oleh Bu Kania: perlengkapan dapur, set sprei, handuk, sampai hiasan dinding. Galuh hanya bisa mengangkat alis setiap kali troli belanja makin penuh. Bagja, meski ikut mengangkat barang, diam-diam merasa senang. Ini tanda ibunya benar-benar serius menerima Galuh sebagai menantu.
Beberapa jam kemudian, mobil mereka nyaris penuh dengan belanjaan. Semua barang untuk seserahan tersusun sampai ke kursi belakang, menyisakan ruang sempit bagi Galuh untuk duduk.
“Banyak sekali, Bu,” ucap Galuh sambil memandang tumpukan barang.
“Namanya juga sekali seumur hidup,” jawab Bu Kania mantap. “Ibu cuma ingin yang terbaik untuk kamu.”
Kata-kata itu membuat Galuh terdiam. Bu Kania dengan tulus memperlakukannya seperti anak kandung sendiri. Ada rasa hangat yang merayap ke hatinya.
Saat perjalanan pulang, Bu Kania berkata, “Rumah kalian sudah selesai dibangun. Nanti tinggal beli furniture sama kebutuhan lainnya.”
“Sudah, Bu,” sahut Bagja. “Aku sama Galuh mau beli perabotan setelah menikah aja. Biar seru, milih bareng.”
Galuh melirik sekilas. Dia tahu dirinya dan Bagja punya selera yang berbeda, takutnya rumah mereka nanti penuh furnitur aneh. Namun, di sisi lain, dia merasa tertantang membayangkan bagaimana mereka akan berdebat soal sofa, warna cat, atau bentuk meja makan.
“O iya, cepat juga rumahnya selesai. Padahal baru mulai dibangun setelah kalian tunangan,” kata Bu Kania.
“Kalau bangun dari nol memang lebih cepat, Bu,” jawab Bagja. “Lagian rumah kita nggak terlalu besar. Aku nggak mau Galuh capek-capek nanti bersih-bersih rumah.”
Galuh menyeringai, menatap Bagja dengan sorot mata menyebalkan. “Oh, jadi selama ini kamu sering dengar aku ngomel kalau disuruh bersihin rumah, ya?”
Bagja tertawa kecil. “Ya, kan, begitu kenyataan. Aku cuma nggak mau kamu ribet.”
Galuh memutar bola matanya, tetapi dalam hati dia tak bisa menahan senyum. Ada rasa lega mengetahui Bagja bukan cuma ingin menikah dengannya, tetapi juga memikirkan kesehariannya kelak.
Hari itu, meski lelah karena belanja seharian, ada perasaan bahagia yang sulit diungkapkan. Galuh merasa selangkah lebih dekat menuju kehidupan baru yang penuh kejutan atau mungkin juga penuh ancaman potong burung jika Bagja macam-macam.
***
❤❤❤❤😍😙😗
teeharu...
❤❤❤😍😙😙😭😭😘
semoga yg baca semakin banyak....