Cincin Hitam itu bukan sembarangan perhiasan.
Cincin itu adalah sebuah kunci bagi seseorang untuk merubah hidupnya dalam waktu yang sangat singkat.
karena cincin itu adalah sebuah kunci untuk mewarisi kekayaan dari seseorang yang teramat kaya.
Dan dari sekian banyak orang yang mencarinya cincin itu malah jatuh pada seorang pemuda yang mana pemuda itu akan jadi ahli waris dari kekayaan yang tidak terhingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Di Persingkat Saja DPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Setelah sadar Carl langsung kabur
"Dia sudah di sini sejak pagi dan meminta di ajari cara memasak!" Mataku terbelalak karena saking terkejutnya aku.
"Gimana?... Di ajari memasak?"
"Kan ada yang namanya chef dan sekolah memasang jadi kenapa malah datang ke sini dan minta ibu buat mengajarinya?!" Terheran-heran. Itulah yang aku rasakan pada saat itu.
"Kalau chef paling-paling cuma di ajari memasak tapi kalau ibu yang mengajari sekalian juga mengajari cara jadi istri yang baik!?" Ketika itu alis mataku terangkat.
Dalam hati aku bergumam. 'Dengan kepribadian yang seperti itu apa dia mau berkeluarga dan di atur-atur suami?."
'Aku curiga kalau nanti dia menikah suaminya akan di peralat.'
Alis mata Karina seketika berkerut karena menyadari apa yang aku pikirkan sekarang.
"Kok muka kamu kayak begitu? Lagi mikir aku bakal dapat suami atau tidak ya di masa depan karena watak dan sifatku!" Wajahnya masih datar tapi kata-katanya di penuhi dengan rasa kesal dan amarah.
"Kok tahu!?... Eh! Enggak kok, aku keceplosan tadi!" Sambil tersenyum keting Ari berkata.
Karena keceplosan itu Ibuku sampai marah-marah padaku. "Kamu gak sopan sekali sama teman kamu Raihan. Siapa yang ngajarin kamu kayak begitu!"
Telingaku langsung di jewer oleh Ibuku tepat di hadapan keluarga dan para santri yang masih ada di sini. "Aduduh! Aduduh!!"
"Asal kamu tahu ya. Karina itu anak baik dan penurut, pasti nanti banyak yang mau jadi suaminya dan kamu malah memikirkan hal buruk tentangnya!"
"Iya, iya, iya. Aku salah, aku salah!" meskipun begitu Ibundaku ini masih belum juga melepaskan telingaku.
Ketika aku masih meringis kesakitan si Karina tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat semua orang terdiam dengan mata terbelalak saling terkejutnya semua orang itu.
"Kalau tidak ada orang lain kan masih ada kamu!..." Dengan suara dan tampang yang datar ia mengatakan itu.
Saking terkejutnya aku sendiri tidak bisa berkata dan hanya bisa diam sambil melihatnya bersama semua orang.
'Ini orang omongannya suka ngawur!'
Sejenak kita berpindah tempat pada orang bernama Carl yang mana pada saat itu ia baru saja sadar.
Ia membuka matanya secara perlahan dan melihat-lihat sekeliling untuk memastikan dimana ia berada sekarang.
"Ini... Sepertinya rumah sakit!?..."
"Jadi ada yang menolongku dan membawaku ke sini yah!" Ia pun duduk di sambil terus melihat sekeliling.
Setelah berpikir sejenak ia pun berkata.
"Akan jadi masalah kalau aku terus berada di sini karena pastinya aku akan di interogasi. Sebaiknya segera pergi sebelum datang pihak kepolisian...!" Batu juga ia berpikir untuk pergi tiba-tiba saja pintu terlihat terbuka.
Refleks ia langsung berbaring dan pura-pura masih pingsan di sana.
"Silahkan masuk pak. Ini adalah orang yang di temukan beberapa pemuda itu!" Ucap seorang dokter yang datang dengan seorang polisi.
Mereka pun berdiri di samping Carl yang sedang pura-pura masih tidak sadarkan diri.
"... Apa sudah di cari identitas orang ini!?" Tanyanya pada polisi lain yang ada di sampingnya yang pangkatnya lebih rendah darinya.
"Sudah pak, tapi kami tidak menemukan apa-apa. Tapi satu hal yang pasti orang ini bukan buronan karena ciri-cirinya tidak terdata di daftar buronan!" Ucap polisi itu.
"Syukurlah kalau bukan kriminal. Sekarang yang perlu kita lakukan cuma menunggunya bangun kemudian interogasi secara perlahan-lahan!" Setelah itu mereka pun pergi meninggalkan Carl.
Namun tak lama setelah orang-orang tadi pergi Carl bangun dan tanpa basa-basi lagi ia langsung keluar lewat jendela.
Dengan skill parkournya iya tentu dapat dengan mudah memanjat hingga ke atap gedung rumah sakit.
Setelah di atas ia melihat-lihat sekitar untuk memastikan di daerah mana ia berada.
Tapi karena ia tidak pernah datang ke sini ia mana mungkin tahu sedang ada di daerah mana sekarang.
"... Sebaiknya aku segera mencari tempat untuk bersembunyi sambil mencari berita Cincin itu jatuh ke tangan siapa!" Setelah bergumam sejenak Carl pun pergi.
Berhari-hari kemudian.
Malam ini ada acara pengajian di tempat yang jauh yang akan di isi oleh bapakku jadi kami berangkat pagi-pagi sekali.
Untuk kali ini cuma aku yang ikut karena kakak-kakakku sedang tidak bisa.
Setelah barang-barang di masukkan ke dalam mobil aku melihat-lihat untuk memastikan apakah ada yang kurang.
Tapi tak lama ibuku datang dan berkata.
"Nak. Kalian cuma akan pergi sehari saja dan besok juga kembali, terus kenapa barang yang kamu bawa banyak sekali!?"
"Itu lagi. Kamu bawa-bawa golok buat apa!?" Tidak cuma Ibuku tapi semua saudaraku juga tampak penasaran kenapa aku bawa-bawa golok.
Aku pun menjawab. "Karena kan kita akan pergi ke daerah perkampungan jadi aku bawa golok buat jaga!"
Dengan alis mata yang terangkat kakakku tertuaku menjawab. "Lah. Apa itu artinya kamu kau mengambil kayu dari perkampungan?!"
"Mana ada. Aku bawa golok buat jaga-jaga kalau kita ketemu begal!" Mereka yang mendengar sampai tersentak.
"Memang sih kita harus siap sedia payung sebelum hujan. Tapi bukan berarti harus segala hal kamu persiapkan sebelum terjadi!"
"Kok bisa gitu kamu kepikiran kalau kalian akan di begal?!"
"Ya mana tahu kan. Aku bawa juga cuma buat jaga-jaga saja!" Mereka sampai geleng-geleng kepala mendengar alasanku membawa golok itu.
Tak lama bapakku datang dan kami pun berangkat menuju lokasi hanya berdua saja.
Sesaat setelah aku dan bapakku pergi si Karina dan Devina pun muncul dan langsung bertanya pada keluargaku.
"Permisi. Apa Raihan ada di rumah? Saya punya urusan mendesak dengannya!..." Keduanya berkata secara bersamaan.
Hingga mereka saling tatap menatap dengan raut wajah yang tidak senang karena merasa kata-kata di ikuti.
Keluargaku sendiri hanya diam melihat mereka dengan raut wajah bingung dan heran.
"Um... Maaf buat kalian berdua, tapi adik saya sedang pergi!" Ucap kakaku Adi pada mereka berdua.
"Oh... Terus kapan pulangnya?!... "Lagi-lagi keduanya dengan kompak bertanya.
"Hey! Berhenti mengikuti apa yang aku katakan itu menjengkelkan!" Bentak Devina sambil menunjuk ke arah Karina.
"Itu harus jadi kata-kataku karena kamu yang mengikuti aku!" Balas Karina dengan dingin dan acuh.
Keduanya saling menatap lagi dengan penuh amarah.
Keluargaku yang melihat mereka berdua hanya bisa saling menatap satu sama lain karena bingung harus berbuat apa di sini.
"Kami tidak tahu dia pulang kapan karena perjalanannya jauh. Paling cepat besok paling lama bisa tiga hari mungkin!" Ucap ibuku.
Keduanya langsung diam dan melihat ke arah ibuku dengan tatapan heran.
"Hah? Memangnya dia pergi kemana?..." Lagi-lagi mereka bertanya secara bersamaan.
"Pergi ke perkampungan karena bapaknya yaitu suami ibu di undang untuk mengisi pengajian di sana!" Ucap Ibuku.
Keduanya terlihat agak kecewa.
"Kapan dia berangkat!?" Untuk kali ini yang bertanya cuma Karina.
"Baru beberapa saat yang lalu perginya!" Setelah tahu kalau aku tidak ada di rumah mereka pun memutuskan untuk pulang saja.
Keduanya berpamitan namun di sepanjang jalan mereka terus saling menatap dengan tatapan permusuhan.
Dan itu hanya berakhir ketika Karina tiba di rumahnya dan mereka berpisah.