NovelToon NovelToon
Unexpected Love

Unexpected Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Kisah cinta masa kecil / Diam-Diam Cinta
Popularitas:364
Nilai: 5
Nama Author: Mutia Oktadila

Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.

Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.

Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.

Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.

Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.

Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 15

Zia berjalan pelan menuju ruang makan, mengikuti langkah Oma Ririn dari belakang. Meja makan besar dengan lampu gantung mewah itu tampak sedikit berlebihan bagi keluarga sekecil ini, tapi itulah ciri khas mansion keluarga mereka—elegan dan terkesan dingin.

Pelayan sudah menata makanan: sup ayam, tumis sayur, dan ikan panggang. Aksa duduk santai sambil memainkan sendok garpunya.

Zia duduk di ujung meja, berusaha sekecil mungkin gerakannya. Ia sadar dirinya masih canggung di antara keluarga ini—terutama karena apa yang terjadi tadi.

Azka mengangkat alis tipis ke arah Zia. “Jadi… lo beneran ngasih uang ke Bi Lina?”

Zia menunduk sambil memainkan ujung serbet di pangkuannya. “Iya… bibi minta… katanya butuh buat bayar sesuatu.”

Aksa bersiul pelan, nada sindiran samar terdengar. “Padahal lo yang harusnya ditolong, bukannya malah jadi ATM berjalan”

“Aksa,” tegur Oma Ririn lembut, tapi cukup untuk membuat Aksa diam.

“Bibi itu keluarga satu-satunya yang saya punya,” ucap Zia pelan, menunduk menahan emosi.

“Dia yang selama ini ngurus saya dari kecil.”

Azka yang tadinya terlihat acuh, tiba-tiba menoleh penuh perhatian. “Alasan kamu kerja di sini apa?” tanyanya pelan tapi tajam.

“Di umur segini, kamu seharusnya nikmatin masa muda, bukan kerja banting tulang.”

Zia terdiam. Tangannya mengepal di bawah meja, dan matanya mulai berkaca-kaca.

“Eumm…” gumamnya ragu.

“Bicara aja,” ucap Oma Ririn lembut, memberi isyarat bahwa Zia aman untuk bicara.

Zia menarik napas dalam-dalam. Suaranya nyaris bergetar saat ia mengucapkan.

“Kalau saya nggak cari uang buat lunasin utang Paman Ardi sama Bi Lina… saya bakal dinikahin ke Juragan Tono. Saya… saya nggak mau.”

Keheningan langsung menyelimuti meja makan.

“Ya ampun…” gumam Oma Ririn, refleks menutup mulutnya karena syok.

Azka menatap Zia dengan rahang mengeras, jelas terpukul mendengar kenyataan itu.

Sementara Aksa—yang biasanya nyolot—untuk pertama kalinya terlihat benar-benar diam.

Zia menunduk makin dalam. “Saya tahu saya miskin… nggak punya apa-apa. Tapi saya nggak mau hidup saya ditentukan orang lain. Saya cuma mau… bebas milih jalan saya sendiri.”

Beberapa detik, tak ada yang bicara. Hanya suara detak jam di dinding dan embusan pelan dari pendingin ruangan.

Lalu, Oma Ririn berdiri. Ia berjalan menghampiri Zia, lalu menepuk pundaknya dengan hangat.

“Kamu sekarang di bawah perlindungan keluarga kami, Zia. Mulai malam ini, nggak akan ada lagi yang bisa maksa kamu buat nikah sama siapa pun.”

Zia mendongak, matanya berkaca-kaca. “Tapi hutangnya—”

“Uang bisa dicari. Tapi masa depan kamu nggak bisa dibeli,” potong Oma Ririn tegas. “Masalah utang, biar Oma yang urus. Kamu fokus sekolah dan urus semua keperluan aksa dan azka.”

Zia mengangguk pelan. Tapi air matanya akhirnya jatuh juga. Ia cepat-cepat menyeka dengan punggung tangan. “Makasih, Oma…”

Azka menatap ke arah jendela, seolah menyembunyikan ekspresinya. Sementara Aksa… hanya diam. Tapi kali ini, pandangannya pada Zia tak lagi datar.

Penuh empati. Penuh marah.

Namun bukan pada Zia. Melainkan pada dunia yang sudah menyakiti gadis itu sejak kecil.

____

Setelah obrolan tadi, suasana makan malam di meja utama mansion terasa lebih tenang, tapi tetap menyisakan keheningan yang agak canggung.

Hanya ada tiga orang yang duduk di sana malam ini—Oma Ririn di posisi kepala meja, Azka dan Aksa di sisi kanan dan kiri. Sementara itu, Zia tak terlihat.

Aksa melirik ke arah dapur. “Zia nggak makan?”

“Dia bilang masih bantu bersihin piring di dapur,” sahut Oma Ririn tanpa mengalihkan pandangannya dari mangkuk sup.

Azka hanya diam. Tapi ada satu helaan napas pendek, yang tak luput dari perhatian sang oma.

Mereka melanjutkan makan malam dalam sunyi. Hanya terdengar denting sendok dan pisau menyentuh piring.

Sementara itu di dapur, Zia sedang membantu Mbak Rini dan dua asisten rumah tangga lainnya membereskan semua piring kotor. Tak banyak bicara, hanya senyum dan anggukan kecil yang dia berikan saat dibujuk untuk ikut makan.

“Ayo, Neng Zia. Kamu juga harus makan,” bujuk Mbak Rini lagi.

“Nggak apa-apa, Mbak. Saya kenyang kok,” jawabnya dengan suara pelan tapi sopan.

Setelah semua selesai, Zia masuk ke kamar—yang sebenarnya bukan benar-benar miliknya. Kamar itu dulunya kamar kosong di lantai dua, yang sekarang dipakai khusus untuknya agar mudah menyiapkan semua kebutuhan Aksa dan Azka.

Dia menyiapkan jas gantung untuk sekolah esok hari, mengecek sepatu mereka sudah bersih, bahkan memastikan jam tangan di meja tidak kehabisan baterai.

Baru setelah semuanya selesai, dia melangkah ke balkon kamarnya. Malam sudah larut. Udara dingin mengusap kulit wajahnya, tapi pikirannya jauh lebih dingin dari udara.

Zia duduk di pojok balkon, memeluk lututnya sambil menatap langit malam yang penuh bintang.

“Papa… Mama… apa kalian masih hidup?” bisiknya pelan.

Zia menatap langit dalam diam. Air mata jatuh pelan tanpa suara, Selama ini

yang dia tahu, dia diasuh oleh Bi Lina dan paman Ardi sejak kecil. Tapi ada banyak hal yang aneh. Kenapa Bi Lina selalu menyebutnya sebagai "anak titipan"? Kenapa tidak pernah ada foto masa kecil? Kenapa dia tidak punya akta lahir yang jelas?

Dia menangis tanpa suara, mencoba menahan napas agar tak terdengar siapa-siapa. Sampai akhirnya, kelelahan membawanya tertidur di sisi balkon, dengan tubuh masih memeluk lutut.

Pintu kamar terbuka pelan.

Azka berdiri di ambang pintu. Dia sempat mencari Zia karena tidak melihatnya di kamar biasa. Saat melihat sosok kecil itu meringkuk di balkon, dia menghela napas pelan.

Tanpa suara, dia berjalan mendekat, menunduk, lalu mengangkat tubuh Zia dengan hati-hati ke dalam pelukannya.

Wajah Zia masih basah air mata, tapi nafasnya sudah teratur—tanda dia benar-benar tertidur.

Dengan hati-hati, Azka membawanya masuk, lalu meletakkannya di atas keranjang besar rotan yang biasa dipakai untuk meletakkan bantal dan selimut. Dia menutupi tubuh Zia dengan selimut tipis, lalu duduk sebentar di sampingnya.

Matanya menatap Zia dalam diam, lama.

“...Lo cewek yang paling kuat yang pernah gue temuin,” gumam Azka pelan, hampir tak terdengar.

Ia berdiri perlahan, lalu membungkuk sedikit untuk mengusap rambut Zia dengan lembut. Gerakan yang bahkan tidak disadarinya sendiri telah menjadi kebiasaan.

Baru saja ia berbalik hendak meninggalkan kamar, langkahnya terhenti mendadak.

Aksa berdiri di ambang pintu, bersandar santai dengan tangan di saku celana, menatap Azka dengan ekspresi datar.

“Mau apa lo?” tanya Azka dengan kening berkerut.

“Gue mau nyuruh Zia beliin snack ke supermarket,” jawab Aksa santai, meski matanya sekilas melirik ke arah Zia yang terlelap.

“Jangan,” ucap Azka cepat, suaranya datar, tapi jelas mengandung peringatan.

Aksa mengangkat alis. “Kenapa?”

Azka menatapnya sebentar, lalu menjawab dengan tenang, “Dia habis nangis… gue nggak tahu karena apa. Tapi dia tidur lelap sekarang.”

Untuk beberapa detik, Aksa tak menjawab. Hanya menatap Azka, lalu kembali menoleh ke arah Zia.

Azka tidak menunggu reaksi apapun. Ia melewati Aksa begitu saja dan berjalan pergi, meninggalkan aroma dingin yang selalu mengikutinya.

Aksa masih berdiri di ambang pintu kamar. Pandangannya menatap lekat sosok Zia yang tertidur dalam balutan selimut tipis, dengan wajah yang masih tampak lelah.

Dia bersandar ke kusen pintu, menghela napas pendek.

“ternyata hidup Lo berat juga…” bisiknya lirih. Tapi tak ada jawaban, hanya desiran angin malam yang menyusup lewat celah balkon

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!