NovelToon NovelToon
Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”

“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”

“Sialan lo, Sas!”

•••

Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.

Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.

Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

5. Tinggal Seatap

"Gue butuh penjelasan lo Sastra, kenapa Eyang Putri bilang seperti itu?" Maha menatap Sastra dengan wajah garang, ia benar-benar butuh penjelasan. Semuanya terasa acak di kepalanya. Dari mulai pernikahan rahasianya dengan putra tertua Hardjo ini, papa Maha yang korupsi, keluarga Sastra yang tidak terlihat risih mendapatkan menantu dari keluarga problematik. Semuanya butuh untuk diuraikan.

Sastra mengambil sikap duduk disebelah Maha, ia menyamping kan tubuhnya menghadap Maha, supaya berbicara empat mata dengan nyaman.

"Sejujurnya saya juga tidak tahu kenapa keluarga menjodohkan saya dengan kamu, entah karena orang tua kita memiliki janji atau hal lainnya, saya tidak tahu pasti, tapi yang saya tahu Pak Wirastama dan ibu Ambar teman dekat ibu dan bapak saya—"

"Itu juga gue tau PA!" Maha segera memotong pembicaraan Sastra, laki-laki itu menghela nafas pelan.

"Kamu potong pembicaraan saya, nanti salah paham kedepannya. Jangan potong-potong ucapan saya, kamu mengerti Maha?"

Maha mendengus kesal. Ia mengalihkan pandangannya, menatap lurus ke arah cermin yang memantulkan bayangan dirinya. "Salah paham, ya?" gumamnya, nada suaranya rendah namun tajam. "Dari awal semua ini memang salah, Sastra. Pernikahan kita, keluarga gue, keluarga lo... semuanya engga masuk akal."

Sastra menarik napas panjang, berusaha tetap tenang di hadapan Maha yang sedang tersulut emosi. "Saya mengerti kamu marah, Maha. Tapi kita harus bicarakan ini dengan kepala dingin. Saya tidak ingin salah paham di antara kita semakin besar."

Maha berbalik, menatap Sastra dengan tatapan penuh amarah. "Kepala dingin?" Ia tertawa sinis. "Lo ngomong kayak gini karena lo nggak ngerasain apa yang gue rasain! Lo pikir gampang buat gue, tiba-tiba jadi istri lo, tanpa tahu apa-apa soal alasan di balik semua ini? Lo tenang-tenang aja karena lo udah tau dari awal!"

Sastra terdiam, tak langsung menjawab. Ia tahu Maha sedang merasa terpojok, namun ia harus mencoba menjelaskan. "Maha, saya juga engga tahu banyak soal rencana keluarga kita. Tapi yang pasti, saya di sini sekarang. Saya suamimu. Dan bagaimanapun caranya, saya ingin kita bisa bicara, saya tahu kamu pasti marah besar."

Maha menggeleng, air mata hampir memenuhi sudut matanya, namun ia menahannya dengan keras. "Lo tau nggak sih, gue selalu ngerasa kayak pion di tengah permainan besar keluarga. Gue capek, Sastra. Capek ngerasa kayak boneka yang diatur-atur."

Sastra menatapnya, melihat kelelahan yang terpancar dari tatapan Maha. Ia mendekat, duduk lebih dekat dengannya, namun tak menyentuhnya. "Maha, saya engga mau kamu ngerasa sendirian. Dan kamu engga perlu merasa seperti itu, saya keluarga kamu, semuanya. Eyang Ti, dan ibu saya sangat sayang kamu."

"Alasannya apa? Gue aja gak merasa kenal sama mereka. Lo jangan buat-buat cerita Sas!"

"Kamu gak kenal sama mereka tapi kamu lupa kalau orang tua kita berteman dekat. That already answers, Maha."

"Terus kenapa mereka terima gue sebegitu nya padahal gue anak dari koruptor? Papa gue juga pasti main kotor di perusahaan kalian, secara kan perusahaan Papa kerja sama perusahaan Hardjo. Seharusnya keluarga lo benci banget dong sama gue."

Sastra terdiam sejenak, mengamati ekspresi Maha yang penuh kepahitan. "Maha," katanya dengan suara lebih lembut, "keluarga saya tahu tentang semua itu. Mereka tahu apa yang terjadi dengan Papamu, tapi itu bukan alasan untuk benci sama kamu. Kamu bukan ayahmu dan kamu engga punya kendali atas apa yang dilakukan orang lain."

Maha mendengus, setengah tidak percaya. "Lo tuh pinter apa aslinya bodoh si? Lo gak takut keluarga lo bakal jadi bulan-bulanan media sama netizen kalau ketahuan putra tertua Hardjo nikah sama anak korup? Lo gak takut citra keluarga lo hancur karena gue Sas?"

"Tentu saja tidak takut, toh suatu saat, kamu akan saya kenalkan keseluruh jagat raya sebagai istri saya. Selain itu, yang korupsi kan bapak kamu, bukan kamu Maha," jawab Sastra pelan, "tapi yang jelas keluarga saya tidak memandang kamu sebagai 'anak koruptor' seperti yang kamu pikirkan. Mereka lihat kamu sebagai Maharani—istri saya, seseorang yang sekarang jadi bagian dari keluarga Hardjosoemarto."

Maha menggeleng dengan getir. "Keluarga lo emang baik, Sas. Tapi gue... gue nggak bisa terima semua ini segampang itu."

Sastra terdiam lagi, mencoba merangkai kata yang tepat untuk menenangkan perasaan istrinya, "engga apa-apa, lagipula semuanya masih awal. Saya juga tidak akan paksa kamu untuk mengakui saya suami, yang penting kamu harus tahu bahwa kamu tidak sendirian."

Maha membuang wajahnya kearah objek lain, senyum tipisnya terurai. Kini waktunya untuk ia menjalankan misi yang sudah teratur di kepalanya.

"Kalau gitu gue boleh dong manfaatin Lo?"

Sastra menarik sebelah alisnya, memasang wajah ingin tahu. "Anything,"

Maha tersenyum miring seraya menatap Sastra dengan pandangan penuh perhitungan. "Lo taukan dosa Papa gue yang di bebankan ke gue apa?"

Sastra langsung memasang raut wajah datar kembali, "utang sebesar tiga miliar."

"Betul banget, pinter juga lo ternyata. Okey, gua mau negosiasi tentang ini sama lo. Jadi...gue mau pinjem uang sebesar tiga miliar sama lo untuk bayar utang Papa gue, tapi lo gak usah takut gak gue kembaliin, gue akan cicil setiap bulannya. Gimana?"

"Kamu serius?" tanyanya dengan nada datar namun penuh rasa ingin tahu seberapa pandai gadis ini bernegosiasi dengannya. "Kamu mau pinjam tiga miliar untuk bayar utang papamu?"

Maha menatapnya dengan penuh keyakinan, senyum miringnya tidak berubah. "Actually, I don't like begging you, but this is a negotiation. Gue gak main-main, Sas. Gue butuh uang itu, dan lo yang paling mungkin bantuin gue sekarang. Lo bilang sendiri tadi, apa aja, kan?" (Sebenarnya saya tidak suka mengemis, tetapi ini negosiasi).

Sastra menghela napas panjang. "Saya ngga masalah untuk melunasi hutang tiga miliar itu. Tapi saya tidak setuju dengan kamu yang bilang akan mencicilnya setiap bulan. Saya tidak seperti itu dan kamu gak usah mengembalikan uang itu."

Maha melipat tangannya di depan dada, tatapannya tak goyah. "Gue tau lo bakal bilang kaya gini buat ngiket gue lebih kenceng lagi. Makanya gue bilang, gue bakal cicil. Gue ngga akan lari dari tanggung jawab gue. Ini kesempatan gue buat lepas dari semua masalah Papa."

Sastra menatap Maha dengan tatapan intens, seolah mencoba mencari celah dalam tekadnya. "Jadi kamu mau sekolah sambil kerja?"

Maha mengangguk pelan, senyum miringnya masih terpatri di wajahnya. "Betul banget. Justru karena itu, gue mau bayar hutang gue sendiri. Gue ngga mau diatur sama siapapun, termasuk lo. Kalau gue terima uang lo tanpa gue cicil, itu artinya gue bakal punya utang seumur hidup sama lo."

Sastra mendesah, frustrasi karena sulit menembus tembok keras yang Maha bangun, namun pintarnya dia tetap memasang wajah datar dan pembawaan yang tenang. "Kamu mau kerja di mana?"

"Maybe... jadi pelayan lo. Oh—pelayan yang gue maksud ini sebagai pekerja biasa ya, bukan pelayan lo di ranjang."

"MAHA!"

Maha tersenyum lebar, akhirnya dia dapat menarik sedikit sentimen dari Sastra, walaupun hanya sedikit saja.

"Saya tidak mengizinkan kamu bekerja. Fokus pada sekolah dan pendidikan mu. Do you understand, huh?"

"Gue bilang Lo gak berhak atur-atur gue. This is my life, Sas!" Maha menarik kemeja Sastra cukup kencang hingga membuatnya  mendekat secara tiba-tiba. Jarak mereka kini hanya beberapa inci, dan Maha menatapnya dengan mata yang berkobar oleh emosi. "Gue engga akan pernah nurut sama permainan lo atau keluarga lo," bisik Maha dengan nada yang dingin dan tegas. "Lo pikir gue bakal diam aja di sini dan jadi istri patuh? Gue akan cari tahu sendiri alasan kenapa gue dijebak dalam pernikahan ini."

Sastra tetap menjaga ketenangannya meski Maha kini semakin mendominasi situasi. "Silahkan, saya izinkan."

Maha melepas cengkeramannya dengan kasar, "huh, jangan pernah kira lo bisa kontrol hidup gue. Lo tuh gak lebih dari cowok patriarki yang suka push perempuan semakin jatuh dibawah kekuasaan kalian para lelaki!"

Sastra menutup matanya sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Oke, kalau itu yang kamu mau, kita buat kesepakatan. Kamu bayar utang itu sesuai kemampuan kamu, tapi engga perlu cicil setiap bulan. Bayar kapan kamu mampu, tanpa tekanan. Dan ingat, saya bantu kamu karena saya peduli, bukan karena saya mau ngikat kamu."

Maha tersenyum penuh kemenangan. "Deal," katanya akhirnya, dengan nada tegas. "Gue akan bayar sesuai kesepakatan kita, tapi jangan pernah berharap gue bakal berubah pikiran soal ini. Gue akan berjuang cari pekerjaan apapun dan bayar utang gue sama lo."

"Tadi bilangnya mau jadi pelayan saya? Gimana tuh?"

Maha menatapnya tajam sekali, "yakali gue mau jadi pelayan lo Sas. Gue gak se-bego itu untuk lo manfaatin!"

Sastra menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. "Terserah kamu. Tapi saya cuma berharap kamu bisa percaya sama saya, suatu hari nanti."

•••

Maha menggerutu sambil melirik jam di pergelangan tangannya. "Duh...lama banget tuh si Sastra, gue bosen lagi." Ia mulai menggoyangkan kakinya dengan gelisah, menatap kosong ke arah jendela.

Sambil merapikan rambutnya yang mulai berantakan, Maha memutar badannya, mencari sesuatu yang bisa mengalihkan perhatiannya dari rasa jenuh yang mulai menghantui.

Ia pandangi dengan seksama kamar mewah nan elegan milik Sastra, dari perabotan hingga dekorasi, semuanya tertata sempurna, mencerminkan gaya hidup seorang anak konglomerat. Maha berjalan perlahan, jari-jarinya menyentuh rak buku di sudut ruangan. Namun, matanya tertumbuk pada sesuatu yang berbeda.

"Dia suka nonton anime juga ya, kocak juga sedatar itu ternyata wibu," gumamnya sambil tersenyum kecil melihat deretan action figure karakter anime yang tersusun rapi di rak nya.

Maha terus menyisir setiap bagian dan sudut di kamar Sastra, matanya menjelajah tanpa henti, penasaran dengan setiap detail yang tersembunyi di balik penampilan sempurna pria itu. Hingga akhirnya, pandangannya tertuju pada sebuah bingkai foto yang terletak di atas meja kecil di dekat tempat tidur.

Di foto itu, Sastra tampak berdiri bersama anggota keluarganya—Maha penasaran dengan dua sosok laki-laki dan satu anak perempuan, sepertinya itu adalah adik-adik Sastra. Mereka semua tersenyum, tampak bahagia dan Sastra terlihat masih sangat remaja.

Atensinya beralih pada foto di sebelahnya yang memperlihatkan Sastra lebih dewasa bersama tiga adik-adiknya yang tampak lebih muda. Mereka semua tampak rapi dan formal dalam foto itu.

Maha mengerutkan kening, berusaha mengingat kembali. "Gue ngga pernah liat adik-adik Sastra, sedari kecil yang gue liat dan kenal ya cuma si om-om pedo itu," gumamnya mengingat kenangan masa kecil yang tiba-tiba muncul. Ia ingat saat usianya delapan tahun, ketika Sastra pernah menggendongnya setelah ia terjatuh dari sepeda.

Namun, pikirannya segera terganggu oleh rasa jijik yang menyelip di benaknya. "Duh apasih yang gue pikirin! Najis banget gue pernah bersentuhan sama dia dulu," Maha bergidik, seolah menepis perasaan geli yang kini menyelimutinya.

Disaat sedang berkemelut dengan pikirannya, Sastra masuk kedalam dan mendapati Maha yang tengah mengomel sendiri.

"Are you okay, Maha?"

Maha tersentak kaget, tak menyangka Sastra masuk begitu tiba-tiba. Ia menoleh cepat, menatap pria itu dengan sedikit gugup. "Hah? Oh... gue baik-baik aja," jawabnya buru-buru, berusaha menutupi rasa malunya karena ketahuan mengomel sendiri.

Sastra mengangkat alis, sedikit curiga. "Kamu kelihatan lagi mikir sesuatu. Saya denger kamu sebut-sebut nama saya."

Maha berusaha menghindari tatapannya, berpura-pura sibuk merapikan rambut. "Engga kok, lo nya aja yang ke GR an, cuma... random thoughts aja."

Sastra mendekat, menyandarkan tubuhnya di sisi pintu. "Yakin?"

Maha memutar bola matanya malas. "Yakinlah, lagian mau apa gue ngomongin lo dibelakang, gue kan sukanya ngomong langsung sama orangnya."

Sastra terkekeh pelan, "yasudah. Tuan Putri, ayok kita pulang sekarang."

Maha menatap Sastra dengan tatapan bingung. "Jadi lo engga tinggal di sini?" tanyanya, masih memproses informasi baru itu.

Sastra tersenyum tipis, "tidak, saya cuma mampir ke sini sesekali buat ketemu keluarga. Di sini terlalu banyak orang, terlalu ramai buat saya. Nanti kalau saya ada waktu kita nginep disini sekalian room tour."

Maha mengerutkan kening, masih agak bingung. "Terus, rumah lo di mana?"

Sastra menatapnya dengan tenang, "Engga jauh dari sini. Rumah pribadi saya lebih kecil, lebih tenang. Saya pikir kamu mungkin lebih suka di sana juga."

"Jadi kita langsung pulang kerumah lo ni? Berdua aja?"

Sastra tersenyum tipis, menatap Maha dengan tenang. "Iya, berdua aja. Memangnya sama siapa lagi?"

Maha menatapnya dengan ragu, "hmm... lo mau ngelakuin aneh-aneh sama gue ya? Hayo ngaku lo om-om pedo!"

Sastra menghela nafas panjang mendengar tuduhan Maha. "Kalau saya punya niat aneh-aneh, kenapa harus nunggu sampai nanti dirumah saya? Sekarang juga bisa."

Maha mendengus sebal. "Siapa tahu, mungkin lo nunggu momen yang tepat. Lo kan licik."

Sastra hanya menggeleng lagi. "Saya cuma mau pastikan kamu nyaman. Lagipula, engga ada yang perlu dikhawatirin. Rumah saya aman, dan saya engga sebrengsek itu."

Maha mendelik tajam. "Awas aja ya lo kalau berani macem-macem sama gue. Kita lihat aja nanti. Gue tetep waspada sama lo."

"Iya, kamu memang perlu waspada. Sekarang ayok kita pamitan sama Eyang putri, Eyang Kakung dan orang tua saya." Sastra mengulurkan tangannya untuk digenggam Maha.

Maha memandang tangan Sastra sejenak, ragu untuk meraihnya. Namun, ia akhirnya menghela napas dan dengan enggan menerima uluran tangan itu. "Gue bukan anak kecil lagi yang perlu digandeng, Sas," gumamnya, meskipun ia tak benar-benar menolak genggaman tersebut.

Sastra tersenyum kecil. "Saya tahu. Tapi, setidaknya biar Eyang lihat kalau kita engga lagi berantem," jawabnya tenang sambil menuntunnya keluar kamar.

•••

"Rumah lo kecil dari mana Om! Inisi hampir sama kayak rumah utama, lo royal banget ya hidupnya?" Kata Maha sambil melihat rumah besar milik Sastra dari dalam mobil.

Sastra tersenyum sambil mematikan mesin mobil. "Royal gimana, Maha? Ini cuma rumah yang nyaman buat saya sendiri."

Maha menatapnya tak percaya, matanya masih terpaku pada rumah megah di depannya. "Nyaman? Ini rumah gede banget, Sas! Lo bener-bener tinggal sendiri?"

Sastra tertawa kecil. "Rumah ini besar karena kebutuhan, bukan buat pamer. Ada beberapa asisten rumah tangga, dan beberapa pengawal saja. Saya ngga sepenuhnya sendiri."

"Jadi lo bawa pasukan kecil juga ya di sini?" Maha menyahut sambil melirik kearahnya.

Sastra mengangkat bahu. "Eyang Kakung dan adik saya yang menempatkan sebagian anak buah Hardjo disini. Lagipula mereka di sini buat jaga-jaga. Saya butuh mereka cuma sekedar memastikan semuanya aman."

Maha tertawa kecil, "ah gue sampe lupa lo ini putra tertua Hardjo."

Sastra hanya tersenyum tipis, lalu keluar dari mobil. "Yaudah, ayo masuk. Kamu harus istirahat."

Maha menghela napas, lalu ikut keluar dari mobil. Langkahnya mengikuti Sastra memasuki rumah yang tidak kalah megah dari rumah utama keluarga Hardjo. Begitu pintu utama terbuka, hawa sejuk dari dalam rumah menyambut mereka. Mata Maha tak bisa berhenti berkeliling, memperhatikan setiap sudut ruangan dengan intens. Lantai marmer, langit-langit tinggi, dan perabotan mewah memenuhi rumah itu.

"Ayok saya tunjukkan kamarmu,"

Maha melirik kearah Sastra sebelum masuk kedalam lift menuju lantai dua, "jangan bilang gue sekamar sama Lo?"

Sastra segera menggelengkan kepala. "Engga, tenang aja. Kamu punya kamar sendiri."

Maha menghela napas lega meski masih sedikit waspada. "Syukurlah. Lo ternyata masih waras."

Lift bergerak naik dengan tenang, membawa mereka ke lantai dua. Begitu pintu terbuka, Sastra mengarahkan Maha ke kamar yang berada di ujung lorong. "Ini kamar kamu. Ada semua yang kamu butuhkan di dalam. Kalau ada apa-apa, panggil saja saya. Kamar saya bersebelahan sama kamu."

Maha menatap pintu kamar itu, kemudian menoleh kearah Sastra. "Jadi kita tetep bertetanggaan nih?"

Sastra mengangguk. "Iya, kenapa? Kamu tidak suka? Kamu pingin sekamar dengan saya? Kalau gitu saya seneng banget."

Maha segera menggeleng cepat, "engga mau om! Nanti gue di grepe-grepe kalau lagi tidur sama lo, najis!"

Sastra lagi-lagi hanya bisa menghela nafas, ia tidak ingin menanggapi. "Baiklah, silahkan masuk ke kamarmu dan segera istirahat Tuan Putri."

Maha membuang muka, memasuki kamar dengan gerakan sedikit kasar tanpa berkata apa-apa lagi. Sastra hanya tersenyum, lalu melangkah pergi menuju kamarnya sendiri.

Setelah pintu kamar Maha tertutup, suasana kembali tenang. Maha berdiri di tengah ruangan, memeriksa sekeliling sambil bergumam sendiri, "inisih keterlaluan mewahnya!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!