JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN
Zhao, putri bangsawan yang terkenal cantik dan keras kepala, kembali membuat kehebohan di kediaman keluarganya. Kali ini, bukan karena pesta atau keributan istana… tapi karena satu hal yang paling ia hindari seumur hidup: perjodohan!
Dirinya dijodohkan dengan Pangeran Wang pangeran kerajaan yang dikenal dingin, tegas, dan katanya... kejam?! Zhao langsung mencari cara kabur, apalagi hatinya telah tertambat pada sosok pria misterius (pangeran yu) yang ia temui di pasar. Tapi semua rencana kacau saat ia malah jatuh secara harfia ke pelukan sang pangeran yang tak pernah ia pilih.
Ketegangan, kekonyolan, dan adu mulut menjadi awal dari kisah mereka. Tapi akankah hubungan cinta-benci ini berubah jadi sesuatu yang lebih hangat dari sekadar perjodohan paksa?
Kisah cinta kerajaan dibalut drama komedi yang manis, dramatis lucu, tegang dan bikin gemas!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Siti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RINDU YANG TAK BERUMAH
Hari berganti.
Suasana istana begitu meriah dengan berlangsungnya acara pernikahan Pangeran Yu dan Hwa Jin. Semua wajah tampak bahagia, tapi tidak dengan hati Zhao. Bukan karena pernikahan Pangeran Yu yang dulu pernah ia impikan, tetapi karena ada sesuatu yang kosong di hatinya sebuah kehampaan yang sulit dijelaskan. Ia merindukan sesuatu yang tak bisa ia jangkau. Ia merindukan seseorang yang selalu memarahinya, bersikap dingin, dan tak pernah mempedulikannya. Suaminya.
Bibirnya tersenyum, tapi hatinya terasa hampa.
Pangeran Yu dan Hwa Jin duduk berdampingan dengan ekspresi tenang, namun tidak sepenuhnya nyata. Sesekali, Pangeran Yu melirik Zhao, tatapan yang tak bisa disembunyikan, namun juga tak diungkapkan dengan kata-kata.
---
Pangeran Chun menyaksikan pernikahan itu dengan tatapan penuh amarah, tangan terkepal rapat, menahan segala perasaan yang bergolak.
“Seperti biasa, kakakku yang baik hati itu selalu bisa mengalihkan perhatian,” gumam Pangeran Chun pelan, penuh kebencian pada Pangeran Wang. Ia tahu, semua ini adalah bagian dari rencana sang kakak. Tapi tatapannya tiba-tiba berubah saat ia melirik Zhao. Senyum penuh ambisi perlahan mengembang di bibirnya.
---
Malam setelah acara selesai,
Zhao duduk sendiri di depan kediamannya, ditemani Meilan yang sabar menunggu. Pandangannya tertuju pada langit malam yang kelam, bulan tampak redup di mata Zhao. Tatapannya kosong, penuh kerinduan yang sulit dijelaskan.
"Perasaan apa ini, Meilan?" suara Zhao lirih, nyaris tak terdengar, tetapi tetap tegas dengan gayanya. "Ini menggangguku."
Meilan menatapnya sekilas, lalu menjawab dengan nada ringan, "Ada dua kemungkinan, nona. Mungkin nona galau karena pernikahan Pangeran Yu, atau... sedang merindukan seseorang."
Zhao menoleh, mengerutkan dahi, "Tapi aku tidak peduli tentang pernikahan Pangeran Yu. Hatiku biasa saja melihat dia menikah." Ia meyakinkan dirinya, seakan mencari keyakinan dalam kata-katanya sendiri.
Meilan mengangguk pelan, mengerti. "Jadi... ini berarti nona merindukan seseorang?"
Zhao memutar matanya dramatis. "Siapa? Ayahku?"
"Tapi selama ini, nona tidak pernah merindukan Tuan Besar," jawab Meilan dengan nada usil.
Zhao mendengus, "Lalu siapa lagi, Meilan?"
Meilan tersenyum genit, "Siapa lagi kalau bukan... suamimu... Pangeran Wang."
Zhao tersenyum sinis. "Sudah kuduga. Perasaan cinta sepihak ini muncul lagi. Baru sehari dia pergi, tapi rasanya seperti bertahun-tahun." Ia berbicara dengan nada dramatis, menambah kesedihan yang begitu nyata.
Meilan meliriknya dengan serius. "Nona mulai menyukai Pangeran Wang?"
Zhao menggigit bibir bawahnya, termenung. "Entahlah, Meilan. Ini perasaan yang sama seperti saat aku dulu menyukai Pangeran Yu. Lagi-lagi, cintaku bertepuk sebelah tangan."
Meilan mengerutkan dahi, hampir bisu. "Bertepuk sebelah tangan? Apa nona tidak pernah menyadari bahwa kedua pangeran itu sebenarnya menyukainya?" Gumam meilan dalam hati
Zhao menoleh tajam. "Kenapa kau diam? Apa kau ikut meratapi nasibku yang ngenes ini?" tanyanya dengan nada lucu, berusaha mencairkan suasana meskipun hatinya masih bergejolak.
Meilan hanya bisa mengangguk pelan, menghibur meski dalam hati ia sendiri merasa kasihan pada nona mudanya.
---
Tak lama, langkah Pangeran Jaemin terdengar mendekat, diikuti dengan suaranya yang ceria. "Kalian sedang apa?" tanyanya dengan aegyo yang lucu, tanpa sadar ikut bergabung dalam obrolan ringan itu.
"Nona Zhao sedang sedih, dia merindukan..." Meilan tidak sengaja hampir membuka mulut, namun Zhao langsung menutupnya dengan cepat, memberi isyarat agar Meilan berhenti bicara.
Zhao tersenyum, menyelamatkan situasi. "Meilan hanya asal bicara saja, kok."
Pangeran Jaemin mendekat, menatap Zhao dengan pandangan cerdas. "Tapi aku bisa melihat kesedihan di wajahmu. Kesedihan karena rindu yang dalam, kan?" ucapnya, seakan-akan ia seorang penyair.
Zhao terpaksa tersenyum, meskipun hatinya masih penuh gejolak. "Aah, kau memang pria yang tak bisa dibohongi."
Meilan tertawa geli. "Benar juga, kau memang tak bisa bohong."
Pangeran Jaemin tersenyum lebar, melirik Zhao dengan tatapan yang menghangatkan hati. "Aku sudah berjanji pada Kakak Wang untuk selalu membuatmu tersenyum. Jadi, jangan khawatir."
Zhao memandang Jaemin sejenak, terkejut. "Benarkah? Dia memintamu menghiburku?"
Pangeran Jaemin mengangguk ceria, "Tentu saja!" wajahnya cerah bagaikan matahari pagi. "Jangan khawatir, kakak Zhao. Aku akan membuatmu tersenyum."
Zhao akhirnya tersenyum tulus, dan Meilan ikut tersenyum melihat kebahagiaan itu kembali di wajah Zhao.
“Ah iya, ini kan malam pernikahan Kakak Yu dan Nona Hwa Jin…”
Pangeran Jaemin tiba-tiba bersuara dengan nada usil, sambil menopang dagu.
“Menurut kalian, apa yang dilakukan dua sejoli pendiam itu sekarang?”
Meilan dan Zhao langsung menoleh bersamaan.
“Apa kita perlu mengendap-endap ke sana buat nguping?” sahut Meilan dengan ekspresi jahil, seolah-olah ide itu masuk akal.
Zhao melotot kecil, lalu menghela napas dramatis.
“Astaga, Meilan! Jelas-jelas kita nggak akan dengar apa pun. Mereka itu... super sunyi. Bahkan jangankan suara, mungkin napas pun pelan.”
Pangeran Jaemin tak mau kalah, ekspresinya serius tapi sengaja dibuat kocak.
“Kau betul, Kak. Bahkan... mungkin tidak pernah ada obrolan yang terjadi. Mereka pasti sama-sama diam, saling menunggu... dan saling bingung.”
Ketiganya langsung tertawa terbahak tawa yang akhirnya mengisi kekosongan malam itu. Di bawah sinar bulan, tawa itu terdengar ringan, seolah mencoba menutupi kerinduan yang diam-diam bersembunyi di hati Zhao. Meski tawanya keras, tapi hatinya tetap diam-diam menangis rindu yang tak bisa dijelaskan, tak bisa dilupakan.
Dari kejauhan, seseorang berdiri dalam diam.
Pangeran Yu masih mengenakan jubah pernikahan resminya. Ia memandang ke arah Zhao yang tertawa bersama Meilan dan Jaemin. Wajahnya tak banyak ekspresi, namun senyum kecil sempat terukir sebelum ia berbalik dan melangkah pulang.
---
Di kediaman Pangeran Yu,
Ia membuka pintu perlahan dan masuk. Di dalam, Hwa Jin sudah menunggunya. Ia masih mengenakan gaun pernikahan yang anggun, duduk dengan tenang, bahkan terlalu tenang. Tidak gugup, tidak gelisah, tapi... sunyi.
Mereka memang bukan pasangan yang pandai bicara. Sunyi bukan karena canggung, melainkan karena mereka berdua sama-sama menyimpan perasaan yang tak bisa dijelaskan.
Berbeda dengan saat Pangeran Yu bersama Zhao dengan Zhao, bibirnya lebih banyak bicara, matanya lebih sering menatap.
“Maaf, aku baru selesai,” ucap Pangeran Yu, suaranya datar tapi tidak dingin.
“Tidak apa-apa, Pangeran,” jawab Hwa Jin dengan nada lembut. Ia menatap wajah suaminya, mencari sesuatu di balik pandangan itu tapi tak menemukan apa pun. Hanya ketenangan. Datar.
Ia menarik napas pelan. Lalu berkata, “Tidak apa-apa. Kita bisa mulai dari awal.”
Nadanya tenang, tapi siapa pun tahu: itu kalimat yang keluar dari hati yang mencoba kuat.
Pangeran Yu menoleh, sedikit terkejut. “Kau tidak keberatan?”
Hwa Jin menggeleng pelan. “Aku akan berusaha… jika Pangeran juga mau berusaha.”
Pangeran Yu diam sejenak. Lalu tersenyum kecil senyum yang tulus, tapi mengandung banyak beban.
“Aku tidak keberatan… jika di hati Pangeran masih ada Nona Zhao,” lanjut Hwa Jin. “Tapi izinkan aku… tetap melayani sebagai istrimu.”
Diam.
Lalu Pangeran Yu menjawab perlahan.
“Maafkan aku... Tapi aku akan berusaha semampuku.”
Tak ada pelukan. Tak ada genggaman tangan. Tak ada kecanggungan yang pecah oleh tawa. Hanya dua orang asing yang baru menyandang status suami istri... mencoba memahami dan menerima apa adanya.
Malam itu mereka lewati dalam senyap.
Bukan karena tidak ada cinta. Tapi karena mereka terlalu terbiasa menyimpan semuanya dalam diam.
---
Sementara itu, di perbatasan…
Pangeran Wang duduk sendiri dalam diam. Angin malam berhembus pelan, membawa suara jangkrik dan bayangan lampu lentera yang berkedip. Tapi pikirannya tak ada di sana.
Wajah yang ia rindukan muncul terus di matanya seorang gadis keras kepala dengan mulut cerewet, yang tak pernah berhenti mengganggunya.
Pangeran Wang menatap langit malam yang kosong, lalu menarik napas panjang.
Untuk pertama kalinya…
Ia merindukan rumah.
Bukan istana.
Bukan tahta.
Bukan tempat.
Tapi seseorang.
Hari berganti.
Istana tetap terlihat sama megah, tenang, dan indah seperti biasanya. Yang berbeda hanyalah status para pangeran. Kini baik Pangeran Yu maupun Pangeran Wang sudah beristri.
Tapi di balik gelar dan mahkota itu, tak semua terasa bahagia.
Pangeran Yu tetap dengan ketenangannya, menjalani hari-harinya bersama Hwa Jin yang sibuk menyesuaikan diri.
Zhao? Ia masih terlihat ceria, masih bisa tertawa bersama Meilan dan Pangeran Jaemin…
Tapi malam-malamnya selalu sunyi.
Ia menatap langit dari ranjangnya, bertanya sendiri:
“Kenapa... seperti ada ruang kosong yang tak bisa aku isi?”
Sejak kepergian Pangeran Wang ke perbatasan, Zhao seperti kehilangan seseorang yang paling sering ia kesali tapi juga paling ia tunggu.
Sementara itu, Hwa Jin melampiaskan sepinya dengan belajar menjadi istri bangsawan sejati. Ia aktif mengikuti perkumpulan para selir dan istri bangsawan lainnya. Mempelajari aturan istana, cara bersikap anggun, merajut, menyeduh teh, membaca kitab, dan segala hal tentang wanita istana.
Zhao? Dia pernah ikut. Tapi hanya sekali. Dan langsung bosan setengah mati.
“Apapun itu… aku sudah bisa. Tapi kalau harus mengulangnya setiap hari? Tidak, terima kasih,” katanya sambil menguap besar-besaran waktu itu.
Baginya, kehidupan yang menyenangkan adalah: tertawa bersama Meilan dan Jaemin, bermain, dan menyibukkan diri dengan hal-hal yang absurd tapi membuatnya merasa hidup.
Yang tak ia sadari, dari jauh, ada sepasang mata yang selalu mengawasi.
Pangeran Yu.
Bukan karena curiga. Tapi karena… ia tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada Zhao.
Mungkin karena ia tahu, Pangeran Chun sedang mengincarnya.
---
Beberapa hari berlalu.
Zhao mulai terlihat bosan lagi. Ia merengek sambil memeluk bantal di kamar.
“Meilaaaan! Aku bosan! Dia tidak kirim surat, tidak beri kabar, tidak muncul di mimpi pun! Apa aku ini memang istri yang ditolak sebelum sempat menyatakan cinta?”
Tangannya melambai-lambai ke udara dengan dramatis.
Meilan menyodorkan buah plum ke mulut Zhao.
“Mungkin Pangeran Wang memang sibuk, Nona. Dia di perbatasan, bukan di vila istirahat.”
Zhao mengerucutkan bibir.
“Lalu, Jaemin juga tak datang hari ini. Aku ditinggal semua! Aku hanya punya kamu, Meilan!”
“Aku juga lelah, Nona. Jadi, bagaimana kalau ikut belajar lagi bersama Nona Hwa Jin dan para istri bangsawan?”
Usul Meilan sambil mencoba menyodorkan brosur kelas merajut.
Zhao menatapnya dengan mimik ‘plis deh’.
“No. Hidup mereka itu terlalu damai, terlalu normal. Menjahit, merajut, minum teh, menggambar daun, lalu membicarakan harga kain dan bentuk kelopak mawar.”
Ia menengadah ke langit-langit, lalu menambahkan,
“Apakah mereka tahu rasanya digantung pangeran dingin yang bahkan tidak pamit waktu pergi?”
“Jadi… Nona mau apa sekarang?” tanya Meilan dengan wajah pasrah.
Zhao berdiri.
“Aku mau menyiram bunga.”
---
Di halaman kecil depan kediaman Zhao, bunga-bunga mulai mekar. Ia tersenyum melihat kelopaknya yang lembut dan warna-warni.
“Lihat Meilan… mereka mekar tanpaku. Padahal aku yang menyiram mereka dulu.”
Meilan tersenyum dan memberikan air.
Zhao pun menyiram satu per satu dengan lembut, memejamkan mata sesekali, seperti sedang menenangkan hatinya sendiri.
Hingga tiba-tiba…
“Cantik sekali…”
Sebuah suara terdengar pelan di belakangnya.
Zhao menoleh.
Pangeran Chun berdiri di sana. Tatapannya menelusuri wajah Zhao, lalu berpindah ke bunga-bunga di sekitarnya.
“Bunganya. Cantik sekali…”
Ia melangkah pelan, mendekat.
“…Sama seperti yang merawatnya.”
Zhao menyipitkan matanya. “Apa?”
“Tak perlu tersipu. Tapi aku tahu Nona sedang kesepian,” ucap Chun, tajam tapi ramah.
“Saya tidak kesepian. Hanya… bosan,” jawab Zhao, berusaha menjaga ekspresi.
“Tapi wajahmu berkata sebaliknya.”
Zhao menarik napas.
“Pangeran Chun, saya rasa tidak ada alasan bagi Anda untuk mencampuri perasaan saya terutama setelah apa yang istri Anda lakukan pada saya.”
Pangeran Chun menunduk.
“Aku minta maaf untuknya. Tapi satu hal kumohon… jangan hindari aku lagi.”
Zhao tak sempat menjawab.
Langkah cepat terdengar mendekat.
“Kakak Chun, kenapa Kakak ada di sini?”
Pangeran Yu muncul dengan wajah tegas.
Chun menoleh santai. “Hanya lewat. Menyapa istri Kakak sebentar.”
Yu mendekat.
“Jangan buat Zhao tidak nyaman.”
Chun tersenyum licik. “Tiba-tiba kau cerewet sekali. Ini untuk Pangeran Wang... atau untuk dirimu sendiri?”
Mata mereka bertatapan tajam. Udara menjadi berat.
Zhao berbisik ke Meilan, “Apa yang mereka bicarakan?”
“Entahlah Nona. Tapi ayo pergi sebelum jadi bahan rebutan.”
Meilan menarik tangan Zhao cepat-cepat, meninggalkan dua pangeran yang kini berdiri saling menatap seperti dua harimau.
---
“Kau berani menatap Kakakmu seperti itu?” ucap Chun dingin.
“Ini tugasku.”
“Tugas? Kau pengawal sekarang?”
Pangeran Yu menahan emosi.
“Pangeran Wang tidak ingin Kakak mendekati Zhao.”
Chun menyeringai.
“Justru kepergiannya membuka jalanku. Tak ada lagi yang menghalangi aku menatapnya lebih lama. Tanpa ancaman.”
“Kakaaaaak!” Yu menahan amarah.
“Apa? Kau iri?”
Yu tidak menjawab. Tapi tatapannya cukup untuk menjawab segalanya.
Chun melangkah mendekat.
“Kau pikir aku tidak tahu isi hatimu? Tatapanmu padanya tidak bisa membohongi siapa pun, Yu.”
Yu mengepalkan tangan.
“Jauhi Zhao. Jika tidak, aku yang akan menghentikanmu.”
“Oh... jadi selama ini yang selalu menghalangiku adalah kau.”
“Siapa pun itu, aku akan tetap melindunginya.”
Yu berbalik, meninggalkan Chun yang berdiri sendiri dengan tawa dingin di sudut bibirnya.
“Jadi begini rupanya… bahkan adikku sendiri kini siap menjadi musuh.”
Bersambung...