‼️Harap Bijak Dalam Memilih Bacaan‼️
Series #3
Maula Maximillian dan rombongan kedokterannya dibuang ke sebuah desa terpencil di pelosok Spanyol, atas rencana seseorang yang ingin melihatnya hancur.
Desa itu sunyi, terasing, dan tak tersentuh peradaban. Namun di balik keheningan, tersembunyi kengerian yang perlahan bangkit. Warganya tak biasa dan mereka hidup dengan aturan sendiri. Mereka menjamu dengan sopan, lalu mencincang dengan tenang.
Yang datang bukan tamu bagi mereka, melainkan sebuah hidangan lezat.
Bagaimana Maula dan sembilan belas orang lainnya akan bertahan di desa penuh psikopat dan kanibal itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 : Perlawanan di Dalam Desa
...•••Selamat Membaca•••...
Semua tim Rayden membawa perlengkapan medis yang lengkap, mereka juga membawa tim dokter untuk berjaga dan merawat. Reba sudah di tangani dan Rayden kembali menelusuri hutan untuk mencari istrinya.
Harapan itu semakin ada saat Reba mengatakan Maula tadi, berarti istrinya masih hidup dan perlu bantuan. Rayden dan tim tiba di gerbang masuk ke desa kanibal tersebut, dari kejauhan, Mavros dan Anna melihat Rayden.
“Bukan helikopterku yang datang, kita harus ambil Maula segera dan jangan sampai Rayden menemukan dia lebih dulu. Aku sudah melangkah sejauh ini untuk Maula, aku tidak mau semua gagal.” Mavros mengepalkan kedua tangannya dengan rahang yang semakin mengeras.
“Jadi kita harus kembali?”
“Iya, ambil ini.” Mavros memberikan sebuah serbuk dan botol kecil pada Anna. “Nanti, kalau bertemu dengan mereka berempat, kau lemparkan serbuk ini pada Sofia, Rachell, dan Corvin. Dalam hitungan menit, mereka akan mati dan kita bawa Maula segera.” Anna mengangguk, mereka berbalik arah dan mencari keberadaan Maula dan tiga orang lainnya.
Rayden memasuki desa yang menurutnya sangat aneh, penduduk di sana menyambut mereka dengan senyum ramah seolah tak terjadi apapun.
“Ada yang bisa kami bantu?” tanya Pexir yang menyambut Rayden bersama tim dengan ramah.
Advait dan Ford saling pandang, penampilan mereka begitu aneh dengan kondisi fisik yang aneh pula. Gigi-gigi mereka kecil-kecil dan tajam tapi separuh menghitam, sedangkan kulit mereka lebih ke arah keriput karena lama di dekat api.
“Kami mencari rombongan kedokteran yang masuk ke hutan ini, apa anda melihat mereka?” tanya Rayden yang juga bersikap ramah.
“Mari ke rumah saya dulu, mereka semua aman di rumah saya karena di luar desa ini sangat banyak pembunuh dan kanibal.” Rayden memandang semua timnya dan mereka mengangguk setuju.
Para warga mengambil ancang-ancang untuk mengurung Rayden beserta tim di desa itu. Gerbang tinggi tersebut dikunci dan dikawal oleh beberapa pemuda lainnya. Advait masih menatap sekitaran, dia merasa tidak aman. Namun, Rayden lebih dulu merasa begitu saat melihat tengkorak kepala tertancap di depan gerbang masuk tadi.
Mereka semua dipandu untuk masuk ke rumah Pexir dan menuju ke lantai dua. “Istirahatlah di sini, kami akan panggilkan rombongan itu.” Pexir kemudian pergi meninggalkan Rayden dan timnya, Rayden melihat sekitaran lantai dua itu dan merasa aneh, itu rumah batu yang tak layak huni lagi, dia melirik ke ruangan tempat di mana Maula pertama kali istirahat, masuk ke dalam dan menemukan anting Maula tergeletak di sana.
“Ini punya istriku, dia ada di sini sebelumnya,” ujar Rayden pada Ford dan Advait.
“Penduduk di sini aneh, Ray. Ini tidak benar, kita masuk ke tempat yang salah,” tukas Advait.
“Aku tahu, kita akan mulai pencarian dari sini dulu.”
...***...
Anna terus mencari keberadaan empat temannya dan akhirnya bertemu. Dia mengendap mengikuti mereka semua dan langsung memukulkan kayu ke arah Rachell dan Corvin. Mereka limbung, Sofia dan Maula kaget melihat Anna.
Anna mengeluarkan serbuk yang diberikan Mavros tadi, seketika Maula merebut serbuk tersebut dan membuangnya. Tanaman yang terkena serbuk itu langsung layu dan mati.
“Kau benar-benar ingin membunuh kami hah?” Maula mengeluarkan pisau yang dia bawa dan menusukkannya ke paha Anna.
Jeritan Anna mengundang Mavros untuk mendekat. Anna tak diam begitu saja, mereka berkelahi dan Maula menggunakan keahlian bela dirinya sehingga dia bisa bertahan dan Anna akhirnya limbung.
“Kau salah cari lawan, sialan,” rutuk Maula pada Anna.
Mavros yang memang sudah membaca situasi, langsung membius Maula dan Sofia hingga keduanya pingsan. Rachell dan Corvin sudah lebih dulu pingsan dipukul oleh Anna tadi.
Mavros menggendong Maula dan Anna mengikuti dengan kondisi paha yang terluka.
Mereka pergi jauh dari lokasi itu menuju ke gedung terbengkalai, yang lembab dan rapuh. Mavros mengikat Maula di sebuah tiang dengan tangan ke belakang tubuh dan kakinya diikat rapat hingga tak memiliki kesempatan untuk kabur.
Mavros mengobati luka tusukan di paha Anna. Mereka menunggu helikopter milik Mavros datang dan pergi jauh dari hutan itu membawa Maula.
Malam mulai turun, tim di sekitar helikopter masih berjaga. Reba sudah di amankan dan istirahat di dalam helikopter itu. Rayden dan yang lain masih berada di dalam rumah Pexir, dia melirik ke arah bawah dan semua sajian makanan terhidang.
“Kita pergi sekarang?” tanya Advait.
“Ya, kita keluar sekarang, mereka pasti kanibal yang dibicarakan oleh tim kita sebelumnya. Maula dan rombongannya tidak di sini.” Mereka semua bersiap keluar, namun di depan pintu sudah dihadang oleh lima pemuda dengan senjata di tangan.
“Kalian mau ke mana?” tanya salah satu pemuda.
“Menjauh atau peluruku akan menembus jantungmu,” tegas Rayden sambil menodongkan pistol pada pemuda itu, dengan gerakan cepat, mereka melakukan penyerangan lebih dulu hingga Rayden dan tim kembali masuk ke rumah tersebut.
Pintu kayu rumah Pexir mengeluarkan suara gemeretak saat Rayden mendorongnya perlahan. Bau amis dan hangus masih menempel di udara, bercampur dengan aroma anyir darah manusia yang mengering di dinding dalam.
Mereka melawan satu per satu. Ford paling depan, disusul Rayden, lalu Advait. Empat anggota lainnya menutup formasi dari belakang.
Di bawah sinar remang api obor, lima pemuda berdiri tegak di jalan yang mengarah ke luar desa. Tubuh mereka penuh tato tribal kasar. Kulit mereka diolesi lumpur hitam dan bercak darah segar. Di tangan mereka terhunus senjata rakitan, satu membawa busur dengan anak panah tulang, dua lainnya memegang tombak berujung besi karatan, dan dua sisanya menggenggam parang lebar yang ditempa dari logam bekas, semua berkilat dalam pantulan nyala obor.
Sejenak tak ada suara. Hanya detak malam dan lidah api yang menari-nari.
Rayden bergerak cepat, maju satu langkah, menyeringai dingin. “Tak ada jalan mundur,” bisiknya pelan.
Advait menjawab dengan gerakan kepala. Ford sudah menekuk lutut, posisi siap tembak.
Salah satu kanibal meneriakkan kata dalam bahasa mereka, lebih mirip raungan binatang liar. Secepat kilat, pemilik busur melepas anak panah ke arah Rayden.
Rayden menggeser tubuhnya setengah sentimeter ke kiri. Anak panah itu hanya merobek ujung rompinya. Di detik yang sama, Ford mengangkat senapan dan menembak ke arah si pemanah. Pelurunya menembus dada pria itu, membuat tubuhnya terhuyung dan jatuh ke bara api di sisi jalan.
Tiga kanibal lainnya menerjang serentak.
Tombak pertama menyasar Advait. Tapi pria itu lebih cepat, ia menyilang lengannya, menangkap gagang tombak, lalu menarik tubuh penyerangnya maju. Dalam satu putaran, Advait menghantamkan gagang pistol ke pelipis musuh. Bunyi krek kasar terdengar, tulang retak. Tubuh itu ambruk seperti karung lumpur.
Rayden tak tinggal diam. Pria kanibal bertubuh tinggi dengan parang dua sisi berlari ke arahnya dengan geraman. Rayden menghindar ke kiri, menangkis dengan laras senapan, lalu menyikut rahang lawannya. Ketika pria itu terpental, Rayden memutar tubuh dan melepaskan tendangan telak ke dada, membuatnya terhempas menabrak dinding bambu rumah terdekat.
“Dua lagi!” Ford berseru.
Salah satu kanibal, lebih kecil namun lincah, mendekati Ford dari sisi kanan. Dia berusaha menusuk dengan tombak pendek. Ford melompat mundur, membiarkan tombak itu menghantam tanah, lalu menghantam tengkuk lawan dengan gagang senjatanya. Darah menyembur dari hidung pria itu sebelum ia tersungkur tanpa suara.
Yang terakhir masih berdiri, napas berat dan mata merah seperti terbakar obsesi. Dia mengayunkan parang besar ke arah kepala Advait. Tapi Advait hanya menunduk, berputar, dan menancapkan belati ke perut pria itu, sangat dalam sekali, tanpa jeda. Tubuh musuhnya menggeliat dan terdiam dengan darah hangat mengalir deras dari luka.
Hening lagi.
Semua berlangsung tak lebih dari dua menit. Namun keringat dingin menetes di pelipis Rayden.
Ford memeriksa luka kecil di lengannya, sementara anggota lain mulai membersihkan medan. Mereka menarik tubuh para kanibal ke sisi jalan.
Rayden memandang ke arah jalanan setapak yang kini gelap dan basah. Di balik sana, suara gelegak api, gong kecil, dan sorakan liar mulai terdengar. Desa belum tidur. Dan jelas, pertarungan ini baru permulaan.
“Lima pemuda pembuka,” gumam Advait, suaranya seperti bisikan maut.
“Dan puluhan lainnya sedang menunggu di pusat desa,” lanjut Ford.
Rayden menggenggam kompas kecil yang tergantung di lehernya. Matanya gelap. Tatapannya membelah malam.
“Kalau harus dibakar semuanya... kita bakar.” Perintah Rayden mutlak. Lalu mereka melangkah ke dalam gelap yang lebih dalam, menuju jantung desa kanibal yang haus darah.
...•••Bersambung•••...